Alirattar - 17

2.4K 109 2
                                        

Attar meneguk teh yang baru saja ia sajikan tadi. Menikmati suasana malam yang indah dari atas sini. Balkon kamar adalah salah satu tempat favorit Attar ketika dirinya sedang bingung harus melakukan apa dan ketika dirinya harus memikirkan sebuah jawaban. Bukan jawaban soal, hanya jawaban-jawaban yang menjadi masalah bagi hidupnya. Dengan gitar yang berada dipangkuannya, Attar sedikit demi sedikit menggesek jari-jarinya ke senar gitar itu. Hingga mengeluarkan alunan lambat.

Sambil sedikit merambas, Attar memikirkan sejenak obrolannya dengan ketiga sahabatnya beberapa hari yang lalu. Tidak ada salahnya untuk memikirkan ucapan Dema, yang sebenarnya juga tidak masuk akal. Namun, Attar juga tidak bisa tidak mempercayainya, bagaimanapun ucapan Dema ada juga betulnya. Bahwa, Hasan dan Rito sedang bermain dibelakangnya.

Lalu, apa alasan Hasan menyuruh Rito? Mengapa harus melalui Rito? Hasan punya anak buah yang banyak, yang bahkan jauh lebih hebat ketangguhannya dari pada Rito. Bahkan, keadaan fisik saja Rito kalah dengan anak buah Hasan. Semua pertanyaan-pertanyaan itu membuat Attar menghentikan jari-jemarinya. Meneguk kembali tehnya yang bersisa setengah.

Rasa penasaran akan sebuah jawaban, Attar berpikir tidak ada salahnya ia menanyakannya langsung pada Hasan. Attar yakin, malam-malam begini Hasan tidak dirumah justru cowok berandalan seperti dirinya sedang berada dijalanan atau arena balapan liar.

Setelah mengunci pintu kaca yang membatasi balkon dengan kamarnya. Attar memakaikan hoodie biru navy'nya dan buru-buru meninggalkan rumah. Attar menancap gas setelah dirinya berhasil keluar dari rumah tanpa ada yang lihat.

• • •

Mata kecoklatan Attar menatap liar disekelilingnya. Dari sana-sini terdengar suara teriakan menyemangati dan juga suara motor yang berderu-deru sekuat mungkin. Seperti ingin membuktikan 'bahwa aku adalah raja balap'. Attar tahu kata-kata itu, karena salah satu temannya juga senang berada disini dan sangat jarang untuk tidak hadir.

Attar mematikan motornya, mengitari tempat sambil mencari keberadaan cowok yang ia cari sedari tadi. Tidak perlu lama, Attar mendapatkan Hasan tengah duduk diatas motornya. Dengan cewek-cewek andalannya yang selalu mengenakan baju tak layak pakai. Attar berjalan santai kearah Hasan, membuat cowok itu yang merasakan kehadiran Attar berdiri. Antek-antek Hasanpun ikut berdiri.

Dengan tatapan datar namun tajam itu, Attar berjarak beberapa senti dari Hasan. "Gue mau tanya sesuatu sama lo." ucap Attar lebih dulu.

Hasan terkekeh, "silahkan, semua orang bebas bertanya, bro." ucapnya sambil mengangkat pundaknya.

Attar memasukkan tangannya kedalam kantong hoodie-nya,"bukan disini, terlalu banyak pasang mata."

Hasan mengangguk, lalu ia dan Attar pergi kekawasan yang lebih sunyi. Tidak terlalu sunyi, hanya orang-orang yang tidak terlalu mengawasi mereka berdua.

"Tujuan lo bawa Alira, apa?" tanya Attar dengan wajah datarnya.

Hasan berdecak, sambil menggaruk keningnya dengan jari telunjuk. "Kalau gue kasih tau, gak ada lagi dong namanya permusuhan diantara sekolah kita?" Hasan menekan kata 'permusuhan' dengan sengaja.

"Apa lo lihat kita lagi pakai baju sekolah? Kita ada diluar sekolah."

"Dan lo kira kita jadi bakal temanan dan sahabatan diluar sekolah? Your wish, Attar."

Attar masih bisa menahan amarahnya. Walaupun tidak meledak-ledak seperti seharusnya. "Rito, antek lo juga, kan?"

Hasan meneguk salivanya yang sedikit tercekat. Bagaimana bisa mereka tahu itu secepat mungkin? Keadaan Hasan membuat Attar semakin yakin dengan pernyataannya. Namun, secepat mungkin Hasan menyangkal. Walaupun memang Rito adalah anteknya, tapi tidak bisa Hasan biarkan Rito berada dalam masalah. Secara, Hasan tahu Rito tidak akan tenang hidupnya jika sudah berurusan dengan Attar.

"Kalau ngomong suka salah deh. Rito? Rito siapa? Rito anak pak dadang?" Hasan menunjuk bapak-bapak yang berada dipinggiran arena balapan. Pak Dadang memang sering datang untuk melihat kemampuan anaknya yang bernama Rito. "Rito Hartono, maksud lo?"

"Rito Ersan." Attar membenarkan. Tidak berniat melihat kearah yang ditunjuk Hasan.

Jemari-jemari Hasan yang berada didalam saku celananya terkepal begitu erat hingga kukunya terlihat memutih. "Anak orang mana lagi sih yang lo sebut, Tar?" Hasan meredakan perasaan tegangnya. Dalam hatinya, mengapa ia harus tegang begini tiba-tiba.

Attar maju selangkah, membuat Hasan mundur selangkah juga. Dengan tatapan tajam dan menusuk itu, Attar yakin ada sesuatu yang disembunyikan Hasan. Attar yakin, Hasan berbohong padanya mengenai Rito. Namun, percuma. Terlalu cepat bagi Hasan untuk memberitahu Attar yang sebenarnya biarkan saja cowok itu yang mengetahuinya sendiri. Attar pergi dari hadapan Hasan, membuat cowok itu bernafas lega.

• • •

Kala bel istirahat telah berbunyi, Alira senantiasa duduk manis dibangkunya tanpa berniat untuk keluar kelas. Sejak tadi, ia tidak fokus pada pelajaran. Sesuatu mengganjal dalam pikirannya, terlintas nama Attar. Iya, si cowok ganteng yang berandalan. Alira teringat, pertama kali ia bertemu dengan Attar.

Bagaimana cara cowok itu memperlakukannya, Alira juga teringat kejadian di depan koperasi. Attar lucu, seperti termakan api cemburu.

"DOR!" kejut Safin tepat didepan Alira. Pada saat Safin masuk kelas, ia sudah menemukan Alira tersenyum-senyum sendiri, "duh, ada yang senyam-senyum sendiri nih. Kenapa? Cerita dong!" selepas berbicara, Safin memasukkan satu tusuk batagor kedalam mulutnya.

Alira tersenyum, lalu menggeleng. "Gak, gak ada."

Safin menyenggol lengan Alira, "ah! Bohong aja lo!" ada jeda sebentar setelah Safin menelan batagornya, "tadi gue lihat kak Attar tuh, barengan ama kakak kelas kita."

"Siapa?"

"Itu, tu, kakak centil. Siapa lagi kalau bukan Kak Mega?"

Segelintir perasaan tidak enak tiba-tiba saja melahap hati Alira, "oh." ucapnya lalu menulis sesuatu diatas kertas yang entah kapan ada kertas diatas mejanya.

Safin merasakan perubahan mimik wajah Alira, "tapi, kak Attar bilang. Kalau dia udah punya orang lain." lanjut Safin.

Alira memalingkan wajahnya kembali, "terus? dia bilang apa lagi?" tanyanya.

"Ya gitu, teman-temannya nyahut bilang nama lo."

Alira tersipu malu, menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Ia juga mengigit bawah bibirnya menahan bibirnya yang ingin sekali tersenyum. Ah! Jantungnya sudah tidak terkontrol. Alira melirik kearah pintu kelas tiba-tiba saja sosok yang ia pikirkan tadi lewat dan melihat kearahnya. Datar memang, namun tatapannya membuat Alira senang dua kali lipat.

"Kayanya aku suka sama Attar." ceplos Alira tanpa sadar Safin disampingnya.

Safin tersedak dan terbatuk-batuk, ia lalu mengambil minuman terdekatnya dan meneguknya. "Apa lo bilang? Su-suka ama Attar?" ucap Safin setelah merasa lega.

Alira mengangguk.

Safin tersenyum, lalu memeluk Alira kuat. "Gue harap perasaan lo terbalaskan!" ucap Safin ikut merasa senang. Safin yakin, Attar adalah cowok yang paling tepat untuk Alira. Dapat menjaga Alira dari bahaya, dan semoga dapat memberi kenyamanan pada temannya itu. Semoga.

• • •
mwehehehehehehehe

Alira untuk AttarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang