Delapan.

2.1K 411 43
                                    

Makan malam bersama satu meja lagi, tak bisa Taeyong percaya. Mantan kekasihnya itu bahkan mengajaknya bicara biasa seolah tak pernah ada yang terjadi.

Pada nyatanya masih jelas dalam ingatan bagaimana dia mememergoki si pria bermarga Park berselingkuh. Tak tanggung-tanggung langsung di kamar tidur pria yang bersangkutan.

Iya, hubungan keduanya baru terbilang singkat⚊hanya sekitar tujuh bulan kurang. Namun waktu selama itu sudah cukup untuk mengembangkan perasaan nyata Taeyong pada sang sahabat semasa sekolah kedua hyeong kembarnya.

Hancur hatinya pun tak main-main. Butuh waktu untuk pulih dengan bekas yang sepertinya tak kunjung hilang bahkan sampai saat ini.

"Selamat makan."

Hidangan buatan ibunya amat banyak dan tampak lezat tak terkecuali. Satu yang patut disyukuri, nyatanya kehadiran Chanyeol tak berpengaruh signifikan pada selera makannya.

Makan malam keluarga⚊ditambah satu orang asing tak diharapkan⚊kali ini terkatakan lancar. Kecuali pada bagian persitegangan sedikit antara Ayah dan Jeno perihal kelanjutan kuliah si anak bungsu keluarga Lee. Untung saja cepat disudahi langsung sang Ibu dengan perkataan tegas; 'kita bisa bahas itu nanti.'

Setelah makan malam usai, Taeyong mengambil alih tugas membilas piring kotor sekaligus bersih-bersih. Ibunya sudah memasak banyak. Setidaknya Taeyong bisa membantu untuk satu hal ini.

Sekarang semua orang terkecuali dia sedang menonton di ruang keluarga.

"Taeyong."

Atau tidak juga sebenarnya.

Taeyong berbalik, busa dari tangan jadi membasahi lantai.

Chanyeol melenggang santai ke dapur, mengambil posisi bersandar pada meja di sampingnya. Sebuah senyum kecil ditawarkan ramah. Sayangnya, Taeyong justru mual.

"Apa maumu?"

Senyumnya melebar. "Bicara. Aku merindukanmu."

Taeyong meragukan itu dari hati. Berbalik, dia meletakkan tangan ke dalam wastafel untuk meneruskan cuci piring. Sama sekali tak menganggap yang barusan didengar.

Di sampingnya, Chanyeol bergeser lebih dekat. "Aku tidak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi hari itu."

"Itu tidak butuh penjelasan lebih lanjut, kurasa. Semuanya bisa aku simpulkan sendiri dari apa yang terlihat."

"Dia bukan siapa-siapa. Percaya padaku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kami bisa berakhir di sana⚊dengan keadaan seperti itu⚊saat kau datang, Tae."

Taeyong menghela napas. Dia pikir aku bodoh?

"Kau yang membawanya ke sana, hyeong. Agar kalian bisa leluasa senang-senang." Taeyong membilas tangan dan mengambil langkah menjauh. Nadanya tajam dan pahit. "Aku bersyukur memergoki kalian lebih cepat. Setidaknya tidak perlu menyia-nyiakan lebih banyak waktuku untuk hubungan tak berarti kita dulu."

Ekspresi Chanyeol mengeras sesaat sebelum melunak lagi.

"Kuakui, itu memang salah. Aku merasa buruk tentang apa yang terlanjur terjadi, tentang akhir kita. Bagaimanapun kita bisa memulai segalanya dari awal, bukan?"

Taeyong ingin tertawa. Betapa konyolnya.

"Aku tidak berpikiran sama, Chanyeol hyeong. Kita selesai."

"Kau benar tak mau memberiku kesempatan? Satu kalipun? Tae, aku selalu yakin kita bisa jadi sesuatu yang lebih istimewa jika mau memperbaiki ini bersama," Chanyeol memelas sambil memegang tangannya. Ada sorot memohon di sepasang matanya.

Speed Dating [19/?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang