Tiga.

2.4K 343 10
                                    

Perjalanan pulang menembus malam itu sangat dingin. Taeyong jadi sedikit menyesal tak mengindahkan peringatan adiknya sebelum pergi⚊tentang jaket lebih tebal ataupun tambahan syal. Tapi apa boleh buat. Sifat keras kepala Taeyong seringnya memang berbalik menyerangnya.

Dengan langkah dipercepat, dalam lima belas menit dia sudah berada di depan gedung dua lantai yang bagian bawahnya merangkap sebagai toko donat.

Dia meniti anak tangga tanpa menyentuh pegangannya yang beku. Kedua tangan kedinginannya masih setia tenggelam dalam saku.

Begitu sampai di atas, tepat di ambang pintu, dia berhenti demi menutup mata dan mengambil napas dalam-dalam.

Ada suara nyaring dari dalam⚊sound effect ledakan, tembakan, dan yang paling keras tentu saja teriakan berisik anak laki-laki.

Setidaknya jangan sampai dia mengacau terlalu parah saat aku tinggal tadi

Membuka mata, Taeyong masuk ke dalam dengan kunci miliknya. Dia melepas sepatu dan  dan berjalan menyusuri lorong sempit. Adiknya, Lee Jeno, tengkurap di sofa, memainkan game tembak-temakan dari ponselnya. Volume full.

Melihat kehadiran Taeyong, dia mendongak. "Hyeong sudah pulang?"

Dia menepuk kaki sang adik agar bergeser sedikit agar memberinya tempat. Jeno mengerti, langsung mengambil posisi duduk.

"Terima kasih tidak terlalu mengacau selama aku pergi."

Taeyong menenggelamkan punggung ke sofa dan memejamkan mata.

"Aku sudah bereskan tadi karena tidak mau mendengar ocehan hyeong lagi hari ini. Bisa-bisa telingaku berdarah."

"Yang pagi itu karena kau memang pantas dapat ocehan."

Bagaimana tidak mengoceh jika ruang tamunya berubah sepenuhnya jadi kapal pecah penuh sampah, piring kotor, kaleng kosong, bungkus dan remah makanan hanya dalam satu malam akibat ulah adiknya begadang main game dan nonton bola. Lee "clean freak" Taeyong tidak bisa mentolelir itu. Jadilah lidah tajamnya bergerak sendiri tanpa kontrol.

"Acara kencannya gagal, kan? Hyeong perlu aku hibur tidak?"

Taeyong membuka matanya untuk memelototi sang adik. "Jangan sok tahu."

Jeno memutar matanya. "Terlihat jelas dari wajah hyeong tahu."

Dia mengerang dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. "Terserah."

Selama beberapa menit, tidak ada suara selain backsound game yang dimainkan Jeno. Taeyong sudah hampir terbuai dan masuk alam mimpi jika bukan karena teriakan kesal adiknya.

"Berisik."

"Aku sudah mencobanya hampir sepuluh kali sejak tiga jam lalu dan tadi itu hampir saja menang hyeong! AHHHH!"

"Itu hanya game ya tuhan, Jeno. Jangan teriak-teriak."

Sekarang giliran Taeyong yang memutar mata. "Harusnya habiskan waktumu dengan sesuatu yang lebih berguna. Seperti, oh, entahlah⚊mungkin mencari pekerjaan?"

Jeno menatap si kakak dengan cemberut sebelum mengalihkan perhatian lagi pada game. "Aku punya pekerjaan."

"Sebuah pekerjaan yang lebih baik dari kerja part time menjaga toko donat di lantai bawah."

"Itu hanya sementara! Lagipula pekerjaan bagus apa yang mau menerima mahasiswa putus kuliah sepertiku?"

Taeyong melirik adiknya dan mendesah. "Kau tidak akan tahu jika mencari saja tidak, Jeno. Ada  banyak pekerjaan bagus diluar sana yang tak terlalu mementingkan gelar sarjana."

Speed Dating [19/?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang