Laki-laki itu duduk di kursi yang bersebelahan dengan brankar yang ditempati oleh seorang pria tua dengan rambut yang hampir setengahnya mulai memutih.
Ia memandang lesu Andra, ayah kandungnya yang sedang terkapar lemas di sana. Tadi ia sudah berdoa, meminta kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan pada ayahnya.
Saat ini, yang Andra bisa lakukan hanyalah tidur, melamun, mendengarkan siapapun yang bicara tanpa memberi respons, dan hal-hal lain yang terlihat menyedihkan.
Seharusnya Andra berada di kantor, memimpin jalannya perusahaan, memerintahkan ini itu, dan sebagainya. Sayang sekali Andra harus menderita seperti sekarang, membuatnya tak berdaya dan merasa dirinya tidak berguna.
"Semangat, ya, Yah. Isco bakal tetep ada di sini, nemenin Ayah biar Ayah nggak kesepian." Garrisco tersenyum getir.
Andra tidak bisa mengeluarkan suara. Tapi, terlihat adanya gerakan kecil di sudut bibirnya yang mengartikan ia sedang tersenyum. Walau terlihat samar, Garrisco bisa merasakan hangat senyuman itu.
Melihat kilat mata Andra yang seperti mengartikan sesuatu, Garrisco pun membuang napas berat seraya mengusap wajahnya. Ia paham apa yang Andra ingin katakan padanya.
"Bang Daru sibuk, Yah," ucap Garrisco, terdengar pelan. "Tapi, tadi dia bilang bakal ke sini, kok, jenguk Ayah."
Antara percaya dan tidak percaya, Andra hanya bisa diam. Ia sangat berharap apa yang Garrisco katakan itu benar, walau kenyataannya Saddaru tak pernah berkata seperti yang tadi Garrisco bilang.
"Ayah istirahat aja, ya. Jangan terlalu pikirin Bang Daru. Tenang aja," tutur Garrisco, berusaha membuat Andra tidak pusing karena Saddaru. Garrisco tidak akan mau bila kondisi Andra semakin drop. Ia tentu sangat menyayangi ayahnya.
Detik demi detik berlalu. Garrisco meraih ransel miliknya yang ia letakkan di lantai, tepat di dekat nakas. Seperti biasa, semenjak Andra masuk rumah sakit dan harus diberi pelayanan khusus, Garrisco jadi lebih banyak menghabiskan waktunya di sini.
Kini, anak itu meraih sebuah buku tebal, buku tulis, serta pulpen dari dalam ransel dan mulai membuka halaman yang ia tandai dengan lipatan pada salah satu kertasnya.
Di sekolah tadi ia mendapatkan tugas dari guru matematika dan harus dikumpulkan besok pagi sebelum jam tujuh, alias sebelum bel berbunyi. Maka, ia akan menyelesaikannya sekarang.
Andra sudah biasa melihat anaknya seperti itu. Di manapun Garrisco berada, pasti anak itu selalu menyempatkan waktu untuk belajar walau hanya sebentar. Berbanding terbalik dengan Saddaru yang hampir tak pernah Andra lihat melakukan hal yang sama seperti Garrrisco.
Ketika Garrisco langganan menjadi juara di kelas, baik peringkat satu maupun dua, Saddaru malah tidak pernah menjadi juara.
Meski begitu, Andra tetap menyayangi dua jagoannya tersebut.
Ceklek.
Suara handle pintu yang bergerak membuat Garrisco menoleh ke sana. Pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan seseorang yang baru saja datang.
"Halo," sapa Irene, wanita cantik berambut panjang sebahu yang wajahnya selalu terlihat awet muda.
Ia menghampiri putra itu dan langsung mengecup keningnya tanda sayang. Lalu ia beralih menatap Andra dengan senyuman lebar yang sangat tulus. Kedatangannya membuat Andra maupun Garrisco merasa lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oscillate #1: The Big Secret
Teen Fiction[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L A T E 2018 by Raden Chedid