Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Andra diperbolehkan pulang. Dengan syarat dan ketentuan yang wajib dipenuhi —seperti tetap rajin terapi dan pengobatan, Irene serta Garrisco setuju merawat Andra di rumah.
Irene sekarang lebih banyak di rumah karena kandungannya yang sudah makin besar dan harus banyak-banyak istirahat sesuai apa yang dikatakan oleh dokter. Jadi, Garrisco bisa menjaga kedua orang tuanya sekaligus dengan cara memindahkan Andra ke rumah.
Garrisco berharap saat Saddaru pulang dan tidak menginap di rumah Alan, kakaknya itu bisa memahami situasi dan kondisi. Yang Garrisco takutkan adalah Saddaru merokok di dalam rumah karena Andra tidak boleh menghirup asap rokok. Tapi, Saddaru pasti akan sangat marah bila dilarang olehnya.
Bisa-bisa Saddaru mengancam akan membunuh Garrisco lagi.
Senyuman Irene nampak lebar kala ia lihat suami yang begitu ia cintai terbaring di kasur king size itu. Kasur yang biasanya ditempati oleh mereka berdua, namun beberapa bulan lamanya Irene selalu sendirian. Tapi, sekarang Andra sudah kembali dan akan selalu menemaninya di rumah.
Sambil mengusap perutnya yang besar, Irene menghampiri Andra. Terlihat adanya senyuman kecil di bibir Andra. Dia pasti amat sangat senang karena akhirnya bisa kembali ke rumah, serta pastinya Andra sudah tak sabar menantikan kelahiran buah cintanya bersama Irene.
"Tetep semangat, ya." Irene berucap. "Yakin kamu pasti bisa sembuh. Asal kamu sabar ... karena semuanya butuh proses."
Akhir-akhir ini Andra sulit bicara. Maka dari itu ia hanya diam, tapi Irene ataupun Garrisco paham akan apa yang ingin Andra sampaikan. Mereka sudah peka.
Irene baru saja duduk di tepi kasur ketika ia mendengar suara gaduh dari luar kamar. Irene mengerutkan kening, telinganya menangkap suara Garrisco yang sedang berbincang entah dengan siapa. Intonasi tinggi yang Garrisco ucapkan menyatakan anak itu tidak senang akan kehadiran tamu yang Irene tak tahu siapa.
"Sebentar, ya," ucap Irene pada Andra yang langsung beranjak dari tempat dengan langkah yang terbilang lamban.
Ketika sudah tiba di luar kamar, Irene melihat Garrisco sedang berdiri di ambang pintu bersama lelaki berjaket hitam yang ada di hadapan anaknya itu. Lantas Irene menghampiri. Kedatangan Irene membuat perhatian dua lelaki itu teralihkan padanya secara serempak.
"Ma," sebut Garrisco.
Irene sejenak menatap Garrisco. Tapi, arah pandangnya kini beralih ke cowok yang juga menatapnya itu. Cowok dengan tudung hitam, nampak misterius, tapi Irene mengenal siapa dia.
"Davila?" Irene menyebut nama cowok itu.
Senyuman miring muncul di wajah Davila. Cowok dengan rambut pirang yang selalu berantakan itu melepas tudungnya dan menyapa Irene. Irene tersenyum, tapi nyatanya ia sedikit merasa ngeri pada Davila.
Apalagi Davila sempat dipenjara atas perbuatannya yang telah membuat nyawa orang melayang, walau sebenarnya cowok itu tidak sengaja.
"Tante, gimana kabarnya?" tanya Davila dengan manis.
"Baik." Irene menjawab.
"Itu udah berapa bulan, Tan? Kapan lahirnya?" Davila kini melirik perut Irene yang dilindungi oleh daster biru pastel yang Irene kenakan.
"Nggak usah kepo!" Garrisco menyentak Davila. "Gue tau lo cuma pura-pura baik di depan nyokap gue. Gue tau lo cuma caper! Pergi sana, nggak usah balik ke rumah gue lagi!!! Lo itu pembunuh, penjahat!"
"Isco," bisik Irene, menegur anaknya untuk tidak berbicara seperti itu.
Davila kali ini tidak membalas celotehannya Garrisco. Bila Irene tidak ada di sini, pasti remaja di hadapannya itu sudah ia hajar habis-habisan tanpa ampun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oscillate #1: The Big Secret
Teen Fiction[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L A T E 2018 by Raden Chedid