Tepat jam satu lewat empat puluh lima menit, Saddaru baru tiba dan memarkirkan motornya di depan rumah. Ia mematikan mesin motor, melepas helm, dan menyabut kunci dari motor sebelum meninggalkan kendaraan tersayangnya itu.
Dilihat dari celah jendela-jendela, rumah besar di hadapan Saddaru dalamnya gelap, hanya lampu luar yang menyala. Berjalan ke pintu utama yang lumayan besar, Saddaru menyentuh handle dan mencoba membuka pintu. Sayangnya, tak berhasil. Orang-orang di dalam rumah pasti sudah terlelap.
Saddaru yang tak banyak bicara itu hanya mencebik dan memukul permukaan pintu dengan satu tangan. "Babi!"
Sebal, Saddaru akhirnya menggedor-gedor pintu sampai terdengar sangat berisik. Padahal, tombol bel tersedia tepat di samping kiri pintu. Ini bukan yang pertama kali Saddaru pulang pada dini hari seperti ini. Hampir setiap hari Saddaru melakukannya dan berakhir dengan menggedor-gedor pintu seperti ingin ngajak ribut semua orang yang ada di dalam rumah.
Lebih dari sepuluh menit Saddaru berada di luar rumah, menunggu pintu dibuka. Sampai akhirnya yang ia harap pun terwujud. Pintu putih itu bergerak ke belakang dan muncullah figur seorang lelaki dari dalam sana.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Saddaru langsung menerobos masuk ke dalam rumah dan tidak peduli akan kehadiran Garrisco di sana. Bahkan, Saddaru menabrak keras bahu Garrisco sampai adiknya itu mundur secara spontan.
"Bang!" panggil Garrisco seraya berbalik badan dan menatap Saddaru yang berjalan ke arah dapur.
Setelah mengunci pintu, Garrisco kini mengejar Saddaru. Cowok itu terus memanggil sang kakak tapi Saddaru enggan menoleh sama sekali.
"Bang! Lo kebiasaan banget pulang jam segini! Inget waktu, Bang!" seru Garrisco sambil terus mengikuti langkah Saddaru yang kini sudah tiba di dapur.
Garrisco memerhatikan Saddaru yang tengah membuka kulkas, mengambil sekaleng minuman soda dan langsung membuka penutupnya. Kemudian, Saddaru menempatkan diri di kursi seraya meletakkan minuman tadi di atas meja makan.
"Bang," panggil Garrisco lagi ketika tangan Saddaru merogoh saku celana untuk mengambil sesuatu.
"Bang!" Garrisco semakin panas. Apalagi saat Saddaru mengeluarkan sebuah benda kecil yang sangat anti bagi Garrisco.
Beberapa detik setelah mengeluarkan benda tadi, Saddaru mulai menghisap satu ujung benda itu dan mengembuskan asap putih di udara.
Bau rokok yang menyiksa hidung membuat Garrisco berdecak. Ia berkata lagi, "Lo nggak inget apa yang Ayah bilang ke lo? Berenti ngerokok!"
"Nggak." Saddaru menyahut tanpa sedikit pun melirik Garrisco.
"Lo udah gila, Bang? Lo udah terlalu sering nyusahin Ayah Mama dan sampe sekarang lo tetep nggak sadar diri?!" papar Garrisco dengan nada bicara yang meninggi.
Saddaru masih diam, tak ingin terpancing dengan kata-kata yang Garrisco lontarkan untuknya. Walau ucapan anak itu bagai godam yang menampar keras Saddaru, dia tetap mencoba untuk tidak peduli.
"Lo tau Ayah masuk rumah sakit gara-gara apa?" Garrisco bersuara lagi. "Gara-gara lo! Pusing mikirin lo sampe Ayah stroke kayak sekarang!"
Mendengar ujaran yang membuat telinga Saddaru terasa ingin meledak, akhirnya lelaki itu bangkit dari kursi dan berdiri tepat di hadapan Garrisco. Ia mengembuskan asap tepat ke wajah Garrisco, kemudian maju selangkah yang membuat Garrisco refleks mundur.
"Lo ngomong apa tadi?" Saddaru mengangkat dagu, memandang Garrisco dengan kilat mata penuh rasa benci. "Lo bilang gue yang bikin Ayah stroke? Mikir! Ayah emang udah sakit dari lama! Nggak ada hubungannya sama gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oscillate #1: The Big Secret
Teen Fiction[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L A T E 2018 by Raden Chedid