Desi tersenyum melihat remaja yang duduk di sampingnya sambil menonton serial drama di televisi, tapi tatapannya menunjukkan fakta bahwa lelaki itu sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ia saksikan.
Terkekeh, Desi meraih remote berwarna abu-abu terang dari atas meja dan menyodorkannya pada Saddaru, membebaskan anak itu untuk menggonta-ganti channel agar tampangnya tidak sesuntuk itu.
Saddaru menolak. Ia membiarkan Desi menikmati acara yang wanita itu ingin nikmati, tidak mau mengganggu walau nyatanya selera tontonan Saddaru sembilan puluh sembilan persen berbeda dengan Desi.
Ketika serial drama berganti dengan iklan yang muncul bertubi-tubi, Desi kembali menatap Saddaru. Ia bertanya, "Kunaon kamu, Dar? Tumben pulang duluan nggak bareng Alan? Anak itu masih sibuk bikin lagu, nya? Pasti dia teu hayang ninggalin studio kalo belom puas."
Saddaru menggeleng. "Nggak, Tan. Tadi Alan lagi nggak begitu. Daru emang kepengen balik duluan ... bosen."
"Tumben bosen? Biasana betah di sana ... kan kamu seneng nyanyi-nyanyi," sahut Desi, seperti biasa dengan sedikit terselip logat Sunda.
Hanya dengan terkekeh kecil yang dilakukan Saddaru untuk merespons Desi, maka Desi secepat itu mengerti. Bocah yang merupakan sahabatnya Alan ini memang sudah cukup Desi kenal. Bahkan dia tahu alasan Saddaru tidak suka pada adiknya sendiri, Garrisco. Lagipula sejak dulu Saddaru suka main ke rumah ini, bahkan seringkali menginap dan sudah Desi anggap seperti keluarganya sendiri.
Setelah beberapa saat terdiam dengan pandangan kosong, Saddaru tersadar lagi dan mengusap wajahnya cepat. Dia menoleh ke Desi, melihat wanita itu masih tersenyum padanya.
Saddaru merasa beruntung bisa mengenal Alan yang membawanya bertemu dengan sosok ibu sebaik dan sehangat Desi. Karena kehadiran Desi di dalam hidupnya, setiap bertemu wanita itu Saddaru bisa melepas sedikit rindu akan sosok bundanya yang sifatnya mirip dengan Desi.
"Kamu udah makan?" tanya Desi, "di dapur ada banyak makanan. Ambil, gih."
Saddaru mengangguk. "Nanti aja, gampang itu."
Kemudian Saddaru beranjak dari sofa dan membuang napas berat. Matanya mengarah ke lantai atas rumah Alan yang begitu gelap karena lampunya selalu dimatikan. Saddaru seperti melihat sesuatu, padahal jelas tidak ada yang ia lihat, hanya kegelapan yang ada di sana.
"Tan, Daru mau ke atas." Saddaru berucap.
"Mau ngapain?" tanya Desi sedikit heran.
Saddaru membalas, "Mau liat-liat aja."
Desi tidak melarang. Ia memerhatikan Saddaru yang kini sedang berjalan mendekati tangga yang sudah lama tak ia pijak. Semenjak kejadian pilu itu menimpa keluarga Alan, lantai dua di rumah ini benar-benar sunyi, serta setengahnya dijadikan gudang.
Tiba di lantai dua, Saddaru menekan saklar lampu dan keadaan seketika menjadi terang. Sebenarnya rumah ini tidak akan terasa seram bila lantai dua selalu dinyalakan lampunya. Sayangnya, keluarga Alan sepakat untuk tidak 'menggunakan' lantai dua lagi semenjak kepergian Alina. Entah apa alasannya.
Langkah Saddaru membawanya memasuki sebuah lorong dengan jarak pendek yang ujungnya terdapat sebuah pintu berwarna putih dengan sebuah papan berukuran kecil yang tergantung di bagian depan pintu dengan tulisan:
— Alina's private room —
Stay away if you're a stranger!Mata Saddaru bergerak turun ke knop. Sebuah kunci tertancap di sana dan tanpa ragu Saddaru menyentuhnya. Segera ia putar kunci itu untuk membuka pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oscillate #1: The Big Secret
Teen Fiction[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L A T E 2018 by Raden Chedid