"Lo kenapa, sih? Kerasukan? Makanya banyak-banyak doa, Dar!"
Alan berucap pada lelaki yang duduk di hadapannya sambil bersandar pada kepala sofa itu. Saddaru terlihat tidak minat menanggapi Alan, dan tentu tak mau mengeluarkan suara. Ia membiarkan Alan berceloteh dan menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi tanpa mau menjawab.
"Gue nggak kebayang gimana jadinya kalo nyokap lo nggak bangun, Bi Idah juga nggak bangun," celetuk Alan.
Karena yang ada di bayangan Alan, Garrisco pasti sekarang sudah mati mengenaskan bila dua wanita itu tidak bangun saat Saddaru kalap.
Mendengar omongan Alan membuat Saddaru tertawa kecil. Sangat kecil dan singkat, bikin Alan menaikkan satu alisnya tanda bingung.
"Garrisco mati ya gue seneng," cetus Saddaru tiba-tiba.
"Sadar, Dar. Garrisco adek lo. Adek kandung lo," balas Alan dengan nada bicaranya yang khas, yaitu santai dan lugas.
Senyuman sinis Saddaru lenyap ketika kenyataan itu lagi-lagi menamparnya. Wajah kusutnya makin kusut, auranya juga terasa tidak enak.
Sebetulnya Alan sangat tahu Saddaru paling tidak suka dengan topik seperti ini. Tapi, bagaimana pun juga Saddaru seharusnya bisa terima kenyataan bahwa Garrisco memang adiknya.
Menyadari perubahan raut muka Saddaru yang makin menyeramkan, Alan akhirnya menghentikan perbincangan ini. Waktu juga sudah semakin larut, rasa kantuk itu pun semakin memaksa Alan untuk segera pergi ke kamar.
"Kamar tamu nggak dikunci. Lo kalo masih mau di sini, ya udah." Alan berujar seraya beranjak dari sofa. Kemudian ia meninggalkan tempat sambil berkata, "Gue duluan. Lo nggak usah kebanyakan bengong, mereka udah pada ngeliatin lo. Cepet-cepet tidur."
"Ya." Saddaru merespons dengan sangat jutek ditambah lirikan tajamnya itu. Alan menggeleng samar sekaligus terkekeh kecil dan mempercepat langkahnya menuju kamar.
Sesungguhnya Saddaru tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Kejadian di rumahnya tadi masih terus terngiang di otak, seperti rekaman video yang tak mau berhenti berputar.
Apalagi momen saat Saddaru mengejar Garrisco sambil membawa pisau. Ia ingat persis setakut apa Garrisco dan sepanik apa Irene. Padahal, pisau yang Saddaru pegang tadi hanyalah pisau berukuran sedang yang biasa digunakan untuk memotong sayur. Gagangnya pun berwarna pink. Tidak semenyeramkan pisau pembunuh di film action.
"Lebay," celetuk Saddaru, mengingat kehisterisan orang-orang rumah akan perbuatannya tadi.
Lagipula, tampang malaikat kayak Saddaru mana mungkin mau membunuh.
Tapi, hal itu tak berlaku untuk manusia bernama Garrisco. Karena Garrisco terlalu menyebalkan di mata Saddaru. Kalau Garrisco berwujud semut, pasti semut itu sudah Saddaru pencet kemudian ia bakar.
Dan pada akhirnya, Saddaru terus melamun hingga hampir satu jam. Sendirian, sepi, hanya lampu ruang tamu yang menyala, lampu-lampu lain tidak.
• • 🌸 • •
Alan sudah berpakaian rapi, sementara Saddaru masih terlelap. Laki-laki itu menghampiri sahabatnya yang masih anteng di kasur, menggoyangkan bahunya sambil memanggilnya berkali-kali agar bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oscillate #1: The Big Secret
Teen Fiction[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L A T E 2018 by Raden Chedid