Dengan mengerahkan semua tenaga yang ia punya, Ishida berlari menuju kearah gerbang sekolah yang mungkin saat ini sudah di tutup. Entah hari ini memang sial atau nasip buruk sudah di jadwalkan untuknya. Yang jelas motor yang ia tumpangi tadi pagi bersama kakaknya mendadak bocor di tengah jalan. Karena menunggu di bengkel terlalu lama, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum saja.
Sayangnya, seiring waktu berlalu entah kenapa tidak ada taxsi, angkot maupun tukang ojek yang lewat. Hingga akhirnya di putuskan, Ishida akan berangkat dengan cara berlari. Lagi pula jalan yang harus di tempuh sudah tidak terlalu jauh. Tinggal satu belokan lagi. Hanya saja, masalahnya saat ini hari sudah siang. Tambahan, ini merupakan hari pertama masuk sekolah.
Dengan nafas yang masih tampak ngos ngosan, Ishida menatap lurus kearah gerbang di hadapannya dengan tatapan nanar. Sepertinya percuma usaha yang ia lakukan tadi. Gerbang itu telah tertutup dengan kokohnya. Lebih jelasnya, ia terlambat.
“Telat juga ya?”
Secara spontan Ishida menoleh. Dan untuk beberapa detik yang terasa sedikit lebih lambat dari biasanya, gadis itu terpaku. Kini di hadapannya tampak sosok pria dengan seragam SMA yang sama sedang menatapnya dengan tampang yang tak beda jauh darinya. Masih ngos – ngosan. Bedanya, pria itu terlihat ‘menyilaukan’ sementara ia sendiri justru malah terlihat kusut.
“Yah, padahal ini hari pertama masuk sekolah,” sambung pria itu lagi dengan raut gelisah.
Ishida mengedipkan matanya sebelum kemudian kembali sadar dari keterpesonaannya. “Loe kelas satu juga?” tanya Ishida yang hanya balas dengan anggukan.
“Ah, penjaga sekolahnya nggak tau kemana lagi.”
“Hufh,” gantian Ishida yang mengangguk membenarkan. Untuk beberapa saat keduanya terdiam sampai kemudian.
“Ke.. kenapa loe menatap gue kayak gitu?” tanya Ishida gugup ketika melihat senyum misterius di wajah pria di hadapnnya dengan tatapan yang terjurus padanya.
“Gue punya ide.”
“Maksutnya?” tanya Ishida tidak mengerti.
“Gimana kalau kita panjat pagarnya aja?”
“Ha?” Ishida melotot kaget.
Memanjat pagar? Yang benar saja lah.
“Ayolah. Dari pada kita harus terjebak di luar sini. Lagi pula ini kan hari pertama, itu bisa menjadi kesan yang buruk untuk sekolah kita.”
Tapi memanjat pagar di hari pertama masuk sekolah juga tidak lebih baik bukan? Gerut Ishida dalam hati.
“Gimana? Lagian tujuan kita kan baik. Kita pengen masuk kelas, bukan pengen bolos,” bujuk pria itu lagi.
Untuk sejenak Ishida terdiam sambil menimbang – nimbang saran tersebut. Sepertinya pria itu ada benarnya juga.
“Sudahlah, nggak usah kelamaan mikir. Ayo, gue bantuin,” tanpa menunggu kalimat balasan dari Ishida, tau tau tangan nya sudah berada dalam gengaman pria tersebut. Dan sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada dalam halaman sekolah walau dengan perjuangan yang tidak mudah. Yah secara Ishida kan cewek. Jujur saja, seumur hidup memanjat pagar baru pertama kali ini di lakukannya.
“Nah, gue bilang juga apa, ini bukan ide yang buruk kan?”
Ishida tidak menjawab, walau tak urung ia membenarkan dalam hati. Dan mengingat waktu yang kini tertera di jam yang melingkar dipergelangan tangannya, ia segera mengisaratkan untuk segera kekelas. Namun saat berbalik.
“Kalian pikir apa yang baru saja kalian lakukan?”
Ishida hanya mampu menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Dengan segera ia menarik kembali pendapatnya barusan. Ini sama sekali bukan ide yang bagus. Bahkan sangat buruk, seburuk raut garang yang tertera diwajah Guru yang ada di hadapannya.
“Maaf pak. Ki… kita….”
“Kalian berdua, sekarang ikut saya,” potong pak Guru terdengar tegas.
****
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
{Bukan} Sahabat Jadi Cinta
Teen Fiction"Gimana? loe mau kan temenan sama gue?" "Boleh, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa?" "Loe nggak boleh jatuh cinta sama gue. kalau sampai loe jatuh cinta sama gue, maka persahabatan kita akan berakhir. Deal?" "Deal!"