Pagi itu, Ishida tampak uring - uringan. Pasalnya hari sudah siang, tapi kakaknya masih belum muncul juga sementara ia sendiri sudah menunggu rapi didepan rumah. Siap untuk berangkat sekolah.
"Kakak, lama banget sih. Udah siang nih. Ntar gue telat," teriak Ishida akhirnya.
"Ia sebentar. Gue pake baju dulu," Vano balas berteriak dari dalam kamarnya.
"Ih lama kali. Dari tadi di bangunin susah banget," gerut Ishida sendiri. Secara perlahan ia duduk di kursi depan teras rumahnya sembari menunggu kakaknya berpakaian. Karena hari ini kakaknya kuliah siang makanya ia bangun siang seperti biasanya. Tapi karena mulai sekarang ia harus mengantar jemput dirinya makanya pria itu harus bangun lebih pagi.
Ketika Ishida sedang sibuk dengan gerutannya sendiri, suara klakson didepan rumah menyadarkannya. Secara refleks Ishida menoleh, keningnya sedikit berkerut samar ketika melihat Arsyil sudah ada disana. Lengkap dengan seragam sekolah yang ia kenakan. Lho, bukannya pria itu bilang sendiri kalau mereka udah nggak barengan lagi. Kenapa sekarang ia muncul.
"Udah siang nih. Loe mau berangkat sekolah nggak? Ntar telat tau," kata Arsyil setengah berteriak.
"Arsyil, loe ngapain disini?" tanya Ishida sambil melangkah menghampiri.
"Ya jemput loe donk. Gimana sih."
"Tapi bukannya loe kemaren bilang kalau kita nggak bisa pergi bareng lagi ya?" tanya Ishida lagi.
Arsyil tidak langsung menjawab. Sekilas Ishida menangkap raut ragu di wajah Arsyil.
"Lho, Arysil. Loe kok ada disini?"
Ishida dan Arsyil secara refeks menoleh kesumber suara. Tampak Vano yang sudah rapi sedang berdiri didepan pintu dengan perhatian terjurus kearah kedua orang yang ada di hadapnnya.
"Pagi kak," Arsyi tidak langsung menjawab sebaliknya ia malah menyapa hormat. "Biasalah kak, mau jemput Ishida buat berangkat bareng. Nggak papa kan?"
"Nggak papa sih harusnya," sahut Vano setengah bergumam. "Cuma kemaren Ishida bilang loe udah nggak bareng sama dia lagi."
"Itu cuma kemaren aja kok kak. Soalnya kemaren memang ada urusan," balas Arsyil, Vano tampak mengangguk - angguk paham sementara Ishida justru malah melemparkan tatapan heran.
"Ya udah deh kak. Berhubung sekarang sudah siang kita berangkat dulu ya," pamit Arsyil lagi.
"Iya deh. Hati - hati. Jangan lupa, jagain adek gue."
"Syip," balas Arsyil sembari mengangkat tangannya. Setelah terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Ishida untuk duduk nyaman di belakangnya, keduanya pun melaju di jalan raya.
Selama perjalanan, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut keduanya. Walau sejujurnya Ishida merasa sedikit penasaran dengan tingkah Arsyil yang berubah pendapat semaunya, tapi gadis itu tetap memilih bungkam. Mempertahankan gengsinya sendiri mengambil alih. Bahkan sampai keduanya tiba dihalaman sekolah.
Begitu turun, Ishida melepaskan helm yang di kenakannya sebelum kemudian menyodorkan kearah Arsyil. Masih tanpa kata gadis itu berbalik untuk menuju kekelasnya.
"Ishida," panggilan Arsyil menghentikan langkahnya. Dengan perlahan ia berbaik sambil melemparkan tatapan penuh tanya walau bibir tetap terkunci.
"Loe kenapa diem aja?" tanya Arsyil lagi.
"Ya loe aja sedari tadi diem, masa ia gue harus teriak teriak," balas Ishida santai.
Arsyil kembali terdiam. Pria itu tampak menghela nafas untuk sejenak. "Oh iya. Ntar siang loe nggak usah minta kakak loe buat jemput loe. Kita pulang bareng."
Mendengar itu Ishida hanya membalas dengan anggukan.
"Okelah kalau gitu. Gue kekelas dulu," selesai berkata, Arsyil segera melangkah melewati Ishida guna menuju kekelasnya. Terlebih sebentar lagi waktunya bel berbunyi. Tapi Ishida masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap lurus kearah punggung Arsyil yang semakin melangkah menjauh. Tanpa sadar, Ishida mengigit - gigit kuku jarinya sembari menyipitkan mata. Pasang pose sedang berpikir.
"Ssh... Tu anak kenapa ya? Kok gue ngerasa ada yang aneh," gumam Ishida lirih tanpa jawaban. Karena nyatanya ia memang sendiri.
"Dooorr."
"Mama tolooong," teriak Ishida sepontan tanpa memperdulikan orang - orang disekeliling yang kini menatapnya aneh, saat berbalik gadis itu segera pasang tampang kesel begitu melihat Arumy yang sedang tertawa lepas.
"Loe pengen bikin gue mati muda ya. Kalau tadi sampai kena serangan jantung gimana?" sergah Ishida yang di balas cibiran tak bersalah Arumy.
"Makanya, pagi - pagi jangan bengong. Ngapain juga loe sedari tadi berdiri kayak patung di situ. Kelas udah mau mulai tau."
Ishida tidak membalas. Walau kesel ia tau apa yang di katakan sahabatnya barusan memang ada benarnya. Apalagi saat beberapa saat kemudia ia mendengar suara bel.
"Ih, dia bengong lagi. Kekelas yuk," kata Arumy lagi yang kini sudah melangkah di depannya.
"Nyapanya biasa aja kenapa sih," gerut Ishida tak urung mengekor di belakang.
To Be Continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
{Bukan} Sahabat Jadi Cinta
Teen Fiction"Gimana? loe mau kan temenan sama gue?" "Boleh, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa?" "Loe nggak boleh jatuh cinta sama gue. kalau sampai loe jatuh cinta sama gue, maka persahabatan kita akan berakhir. Deal?" "Deal!"