{Bukan} Sahabat Jadi Cinta Part 13

1.5K 61 0
                                        

Arsyil tampak mengantungkan ucapannya, matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya. Menanti kalimat lanjutan dari pria itu. Tapi Arsyil justru masih terdiam sampai kemudian mulutnya kembali terbuka.

"Ishida, sebenernya selama ini loe anggap gue itu apa sih?"

"Ya?" Ishida mengernyit. Tidak menduga kalau pembicaraan mereka akan berbelok setajam ini. Padahal tadinya ia sudah sangat berharap mendengar pengakuan jujur dari mulut Arsyil.

"Maksut loe?" tanya Ishida lagi tapi Arsyil memilih bungkam. Menanti jawaban dari Ishida yang ia yakini mendengar pertanyaannya.

"Kenapa loe tiba – tiba nanya aneh gitu dah?" tanya Ishida kemudian.

Kepala Arsyil mengeleng. "Bisa nggak loe jawab aja pertanyaan gue tanpa perlu nanya balik?"

Ishida sedikit mengernyit mendengarnya. Terlebih ketika menyadari raut serius di wajah Arsyil. Setelah jeda sejenak guna menarik nafas dalam, Ishida menjawab.

"Tentu aja loe itu sahabat gue. Dari dulu sampe sekarang loe itu adalah sahabat gue. Jadi..."

"Gimana kalau gue nggak mau jadi sahabat loe?" potong Arsyil cepat.

"Ya?!" tidak ada yang bisa Ishida lakukan selain memberikan ekpresi kaget di wajahnya.

"Enggak," Arsyil tampak mengeleng – gelengkan kepalanya. "Maksut gue, gimana kalau mulai sekarang gue nggak mau lagi jadi sahabat loe?" tambah Arsyil lagi.

Ishida terdiam walau mulutnya sempat tebuka, namun tiada kata yang terlontar. Sepertinya ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja di dengar olehnya.

"Kenapa?" tanya Ishida lirih, nyaris tak terdengar.

"He, kenapa?" ulang Arsyil tampak mencibir. Entah itu mencibir Ishida atau justru mencibir dirinya sendiri. "Loe beneran pengen tau kenapa?"

Sejenak Ishida menoleh kearah Arsyil sebelum kemudian kepalanya mengeleng perlahan. Walau dadanya terasa sesak dan matanya terasa sedikit perih, namun bibirnya masih mampu melontarkan sebuah senyum. Senyuman yang Ishida sendiri tidak tau apa maksudnya.

"Jadi loe bener-bener berharap kalau persahabatan kita berakhir?"

Arsyil yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu gantian pasang tampang terkejut. Sungguh, bukan reaksi seperti ini yang ia inginkan. Walau ia juga tidak tau ia berharap gadis yang berada dihadapannya akan bereaksi seperti apa.

"YA!" Arsyil sendiri hampir tidak mempercayai kalimat tegas yang baru saja meluncur dari mulutnya sendiri.

"Oke deh kalau gitu, gue setuju."

Seiring dengan kalimat Ishida barusan, suasana mendadak hening dan sepi. Masing – masing tengelam dalam pemikirannya sendiri. Sampai kemudian Arsyil kembali memecah kesunyian.

"Kalau gitu gue pulang dulu. Ma kasih atas jamuan makan siang nya."

Ishida hanya membalas dengan anggukan kepala. Tanpa kata lagi, Arsyil segera berlalu. Melangkah meninggalkan Ishida yang masih terduduk dalam diam. Bahkan sampai suara pintu yang tertutup, Ishida masih berada dalam posisi yang sama. Barulah setelah terdengar bunyi motor yang meninggalkan rumahnya, tubuh Ishida sedikit bereaksi. Kepalanya menoleh kearah pintu. Yakin kalau yang terjadi barusan bukanlah mimpi. Secara berlahan tangannya mengusap pipi yang entah sejak kapan terlihat basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak. Dengan berlahan di hembuskannya nafas dalam dalam sebelum kemudian mulutnya bergumam lirih.

"Gue emang pernah berharap kalau persahabatan kita bisa berakhir, tapi gue nggak pernah berharap kalau akhirnya jadi kayak gini."

Deringan suara telpon yang bordering nyaring menyadarkan Ishida dari lamunannya. Dan gadis itu baru menyadari kalau ternyata sedari tadi ia masih duduk diam. Entah berapa lama ia berada dalam posisi itu, yang jelas sepertinya itu sudah cukup lama. Lebih dari cukup untuk membuat tubuhnya terasa pegal, terlebih ketika matanya menoleh kearah jam di dinding. Waktu sudah menunjukan hampir pukul 5 sore. Wah hebat, sepertinya ini akan jadi record terlamanya yang bisa menghabiskan waktu tanpa perlu melakukan apapun.

Sebelum deringan itu benar – benar berhenti, dengan cepat Ishida menyambar gangang telponnya.

"Halo?"

"Ishida?" suara yang Ishida kenalai sebagai miliki mamanya terdengar dari seberang.

"Iya ma?"

"Kamu kemana aja, mama telpon kehanphon kamu sedari tadi kenapa nggak diangkat?"

Handphon? Pikiran Ishida segera bekerja mengingat benda itu. Dan gadis itu segera menyadari kalau benda itu masih berada di kamarnya.

"Oh handphon Ishida di kamar ma. Nggak kedengeran, soalnya Ishida lagi nonton TV di luar. Emangnya ada apa ma?"

"Kirain kamu kemana. Ya sudah. Mama cuma mau ngasi tau. Kalau malam ini mama sama papa nggak pulang. Masih ada kerjaan yang harus di selesaikan. Tadi mama sudah telpon kakakmu untuk langsung pulang setelah kuliah biar kamu nggak di rumah sendirian."

"Iya ma," balas Ishida sambil mengangguk. Sama sekali tidak terkejut dengan berita yang ia dengar. Terlebih hal itu adalah hal yang biasa di lakukan orang tuanya.

"Ya sudah. Hati – hati dirumah."

Lagi – lagi Ishida hanya membenarkan. Setelah berbicara untuk beberapa saat sambungan pun diputus. Mata gadis itu mengamati sekeliling. Tubuhnya benar – benar terasa lemas. Sama sekali tidak bertenaga. Tapi gadis itu tetap yakin, kalau hal itu bukan karena ia terlalu lama duduk berdiam diri. Akhirnya walaupun dengan berat hati, Ishida bangkit berdiri, berjalan menuju kearah kamarnya. Sepertinya mandi sore bisa membantu memulihkan tenaganya.

To Be Continue

{Bukan} Sahabat Jadi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang