Suasana hening seperti biasa. Keempat penghuni Kubikel pun disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar ponsel mereka berbunyi, atau terdengar senandung dari mulut Zacky. Hal seperti itu tak begitu memecahkan perhatian mereka.
"Fika, kamu ngerjain project Hotel Milenial II, kan?" Pak Haris tiba-tiba muncul.
Fika mengangguk."Iya, Pak. Sudah selesai. Bapak mau lihat desainnya?"
Haris menggeleng."Bukan. Pagi pula...itu bukan tugas saya. Pak Cello mau cek hasil kerja kamu."
Ketiga temannya itu bertukar pandang.
"Kok tumben Pak Cello yang cek, Pak? Bukannya biasanya untuk pemeriksaan gambar dilakukan oleh Manager?" Tanya Nina.
Haris mengangkat kedua bahunya."Mungkin karena ini project milik teman dekatnya. Jadi, dia pengen cek langsung. Ya udah kamu print terus bawa ke ruangannya."
Fika mengangguk saja. Tak ada waktu untuk berpikir kenapa dan mengapa. Ia harus bergegas. Setelah semuanya selesai, ia segera membawa beberapa lembar kertas berisi desainnya. Pintu ruangan Cello yang terbuka cukup menguntungkan dirinya karena tak perlu susah payah mengetuk pintu.
"Pagi, Pak."
Cello menoleh sekilas."Masuk."
Fika melangkah dengan gontai, tubuhnya terasa lemas sekali."Kata Pak Hari, Bapak minta desain hotel Milenial."
Cello mengangguk."Duduk."
Fika duduk di kursi yang ada di hadapan Cello. Bosnya itu tengah memeriksa desain Fika dengan detail.
"Desain kamu rendah hati banget ya, Fik," kata Cello sambil terus memerhatikan kertas itu.
"Ehm...kurang terlihat mewah gitu, Pak maksudnya? Bukankah Klien minta yang simple tapi elegan." Fika mulai panik karena hasil pekerjaannya tidak memuaskan.
Cello menggeser lembaran kertas itu ke hadapan Fika."Desain kamu rendah hati banget. Enggak suka dipuji."
"Apa!" Fika berteriak miris di dalam hati. Ia baru saja merasa terbang ke angkasa karena dianggap rendah hati. Tapi, ternyata pria itu sedang mengejek desainnya."Jadi, desain saya buruk, Pak?"
"Ya. Tapi kamu bisa belajar jadi lebih baik lagi, kan. Kayaknya kamu enggak pernah dapat pelatihan kerja ya?" Cello menatap Fika tajam.
Fika meringis."Iya, Pak. Enggak pernah."
Cello mendecak kesal."Besok kamu ikut training. Kamu itu adalah salah satu drafter yang diunggulkan di sini. Tapi kenapa saya lihat kamu begini terus sementara jaman terus berkembang. Saya ingin kamu berinovasi."
"Iya, Pak. Saya akan terus belajar." Fika menundukkan wajahnya karena kepalanya mulai terasa pusing.
"Kamu kenapa menunduk saja? Kamu enggak mau lihat saya? Apa saya jelek?" Tatap Cello kesal.
Fika langsung mengangkat wajahnya."Enggak kok Bapak ganteng banget!"
Cello mematung tak percaya."Hah?"
Fika menepuk bibirnya sendiri, merutuki kebodohannya yang mudah spontan mengeluarkan kejujuran.
Tapi, diam-diam Cello merasa bangga karena ada seorang wanita yang mengatakan dirinya sangat tampan. Fika terlihat menunduk lagi, perutnya terasa perih dan mual. Kepalanya juga pusing.
"Fika?"
Fika terdiam. Ia terlihat menahan sakit."P...pak saya permisi dulu." Fika bangkit dan hendak berjalan. Tapi, kemudian ia terjatuh.
Cello panik, ia membantu Fika berdiri. Wajah wanita itu sangat pucat. Cello membopong tubuh Fika dan membaringkannya di sofa." Diam di sini." Cello menghubungi Office boy untuk membawakan teh hangat dan bubur ayam.
"Kau tidak sarapan ya!" Tebak Cello.
Fika mengangguk lemah."Iya, Pak."
Cello menghela napas berat."Fika, kamu bekerja di perusahaan besar. Kamu juga bekerja di bidang arsitek yang dimana kamu akan mendapatkan tekanan besar dalam pekerjaan. Dateline... Dan juga jam kerja yang panjang. Kamu harus menjaga kesehatan kamu. Bukankah aku sudah mengatur semuanya agar karyawan itu mendapatkan makanan sehat dan bergizi tiap pagi?"
Fika menggeleng."Kami tidak pernah mendapatkannya."
"Serius?" Tatap Cello tak percaya.
Fika menatap Cello kesal."Apa Bapak pernah melihat kami sarapan pagi di kantor ini? Atau mendapatkan fasilitas-fasilitas yang Bapak maksud?"
Cello tertegun. Selama ini ia memang tak pernah mengetahui hal itu. Padahal setiap bulannya ia menganggarkan dana untuk masalah gizi dari karyawannya. Sebab ia tahu kalau bekerja dalam dunia konstruksi tidaklah mudah. Tidak semua orang bisa. Kalau pun banyak yang bisa. Hanya akan ada sedikit yang mampu dan mau bertahan."Terima kasih atas informasinya. Nanti akan saya evaluasi lagi mengenai hal itu. Maafkan kelalaian saya."
Fika tertegun melihat ketulusan di mata Cello. Sebuah permintaan maaf seorang bos terhadap karyawannya. Tapi, dalam hati ia bersyukur kalau Cello akan mengevaluasi mengenai kecukupan gizi karyawan. Sebab bekerja begitu keras begitu menguras energi dan pikiran. Harus diimbangi dengan gizi dan intensif yang besar tentunya.
"Ya sudah,kamu tunggu di sini saja. Sebentar lagi sarapan kamu datang," kata Cello.
"Maaf merepotkan, Pak," kata Fika malu.
Cello tersenyum."Tidak apa. Ini juga terjadi karena kelalaian saya sebagai pemimpin. Saya juga minta maaf. Sementara Fika menganga tak percaya dapat melihat senyuman pertama Cello selama ia bekerja di sini.
"Senyumnya itu ya Tuhan, kayak air minuman kemasan. Ada manis-manisnya," jerit Fika dalam hati.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Boss
Literatura FemininaCover : Reta Hill Hobi membaca membuat Fika menjadi suka menulis. Tapi, tulisan yang ia buat tak wajar karena ia menjadikan Cello, bos di kantornya menjadi tokoh utama di cerita yang ia buat hanya untuk sekedar lelucon. Setiap hari Cello pun jadi ba...