Fika mendengarkan musik sambil menghitung hasil tes calon karyawan. Sementara itu di depannya, Doni melakukan hal yang sama.
"Pak, udah, nih." Fika menyodorkan kertas.
Doni mengangguk."Iya. Saya juga udah selesai. Kamu enggak makan siang?"
"Nanti aja, Pak. Belum lapar." Ponsel Fika berbunyi. Tiba-tiba matanya terbelalak menerima pesan masuk. Dengan cepat ia membalasnya spai-sampai tak sadar Cello masuk. Cello berbincang-bincang dengan Doni cukup lama, tapi itu tidak membuat Fika sadar juga.
"Ya udah, Pak. Saya makan siang dulu." Doni pamit keluar karena Cello memerhatikan Fika tanpa henti.
Cello menoleh sekilas."Baik. Silahkan." Ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan cepat ia mengambil ponsel Fika.
"Hei! Apa-apa...an, sih...." Fika meringis malu."Eh, Bapak."
"Ini udah jam berapa? Sana makan siang! Saya enggak mau, ya...karyawan saya penyakitan karena malas makan," omel Cello.
"Iya, Pak. Maaf...saya makan deh. Tapi, hape saya, Pak," kata Fika memelas.
Cello menyerahkan ponsel Fika."Ini!"
"Terima kasih, Pak. Oh, iya, Pak. Memangnya bener...Chica mau nikah sama Pak Delta?" Fika memberanikan diri bertanya pada Cello yang merupakan sepupu dari Delta, pria yang akan menikah dengan Chica, sahabatnya.
Cello yang sudah hendak keluar menghentikan langkahnya."Katanya, iya."
"Loh, kok katanya, sih!" Wajah Fika kebingungan.
"Kamu mau makan atau mau banyak tanya?" Suara Cello meninggi.
"Eh, iya saya mau makan, Pak." Fika langsung berlari kecil meninggalkan Cello.
"Galak amat, sih," gerutu Fika sambil berjalan. Ia mencari ketiga temannya itu. Tapi, tidak ada. Sepertinya mereka sudah pergi makan duluan. Terpaksa ia harus makan di sekitaran kantor atau ia minta tolong sama Barno untuk membelikan makan siangnya. Ia segera mencari Barno, tapi ternyata Barno juga sedang keluar.
"Kamu enggak makan,Fika?" Cello menatap Fika yang masih berkeliaran di kantor.
"Enggak, Pak. Soalnya sudah kenyang," jawab Fika asal. Padahal perutnya sekarang sedang keroncongan.
"Kenyang? Makan apa?"
"Makan hati! Permisi, Pak." Fika melengos pergi. Ia benar-benar karyawan yang berani bersikap seperti itu pada bos sendiri. Ia bahkan tidak pernah takut dipecat.
Cello terdiam melihat sikap Fika yang ia rasa tidak lazim. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tepukan seseorang di pundaknya.
"Heh, ngapain di tengah jalan bengong?" kata Quin.
"Bikin kaget aja," protes Cello.
Quin mengangkat bungkusan yang ia bawa."Pesanannya, memangnya enggak sempet keluar, Kak?"
"Enggak. Ada penerimaan karyawan baru. Thanks, ya, Quin."
Quin mengangguk."Oke. Sambil lewat ini. Ya udah, aku balik, ya, kak. Mau kerja lagi."
"Hati-hati, Quin!" teriak Cello yang kemudian membawa bungkusan itu ke ruangan Doni. Fika ada di sana dengan wajah yang masam.
"Kenapa kamu?"
"Enggak apa-apa, Pak."
"Saya mau numpang makan di sini." Cello meletakkan bungkusan ke hadapan Fika. Gadis itu langsung meneguk air liurnya. Aroma makanan itu semakin membuatnya kelaparan.
"Ya silahkan, Pak. Saya...keluar, ya. Takut bikin Bapak enggak nyaman."
"Jangan dong, saya mau makan sama kamu. Duduk aja!" Cello mengeluarkan isi bungkusan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Boss
ChickLitCover : Reta Hill Hobi membaca membuat Fika menjadi suka menulis. Tapi, tulisan yang ia buat tak wajar karena ia menjadikan Cello, bos di kantornya menjadi tokoh utama di cerita yang ia buat hanya untuk sekedar lelucon. Setiap hari Cello pun jadi ba...