Cover : Reta Hill
Hobi membaca membuat Fika menjadi suka menulis. Tapi, tulisan yang ia buat tak wajar karena ia menjadikan Cello, bos di kantornya menjadi tokoh utama di cerita yang ia buat hanya untuk sekedar lelucon. Setiap hari Cello pun jadi ba...
Fika tiba di kantor tepat waktu. Lalu sesampainya di ruangan, ia mempertanyakan keberadaan kubikelnya. Sekarang tempat itu justru kosong, digantikan dengan sofa mewah bewarna hitam.
"Loh, ini jadinya...kerja di sofa gitu." Fika menggaruk kepalanya bingung.
"Mbak Fika, ruangannya sudah pindah tuh!" Barno yang memegang nampan berisi beberapa cangkir teh memberi tahu Fika.
"Dimana, Mas Barno?"
"Ruang meeting lama, udah disulap sama Bos jadi ruang drafter dan Estimator."
Fika mengangguk."Makasih, Mas Barno." Ia melangkahkan kakinya ke ruangan yang dimaksud Barno. Fika terlihat takjub dengan ruangan besar ini. Di susun dengan komputer yang berhadapan, tapi dibatasi oleh dinding kaca. Fika menjadi bingung dengan konsep yang dibuat oleh bosnya itu.
"Fika! Sini!" Panggil Cello yang ternyata sudah berada di dalam.
"Pak rajin banget datang pagi-pagi."
"Suka-suka saya. Ini kantor saya," jawab Cello membuat Fika manyun.
"Basa-basi enggak berguna." Fika menggerutu dalam hati.
"Ini...ruangan drafter. Di depan, ruangan estimator. Saya sengaja menyekat dengan kaca. Tapi, di sini ada jendela sliding untuk berkomunikasi dengan estimator kalian. Tapi, ingat! Bukan untuk bergosip!"
Fika terkekeh."Iya, Pak. Tapi kalau menggosipkan pekerjaan boleh, kan?"
Cello melotot."Kamu ini ya, karyawan paling menyebalkan."
"Tapi, bisa bikin bapak enggak irit ngomong lagi, kan?" Fika terkekeh.
Cello menjadi malu sendiri menyadari selama ini ia begitu sombong dengan karyawannya sendiri."Ya sudah...hari ini, akan ada penerimaan karyawan baru. Jadi,komputer kalian...akan dipakai untuk tes keterampilan. Kalian bisa membantu saya untuk mengawasi mereka."
"Ini perintah atau pertanyaan, ya, Pak?"
"Perintah!" Sepagi ini Cello sudah harus mengetatkan urat lehernya menghadapi Fika.
Fika mengangguk cepat."Baik, Pak."
"Ya sudah, beritahu yang lain. Kamu sarapan dulu sana." Cello meninggalkan ruangan itu. Sementara Fika cengengesan mendapat perintah untuk sarapan.
Kantor mulai ramai. Zacky, Nina, dan Dewi pun datang. Fika segera memberi tahu tentang perintah Cello.
"Fika, jadi...kita enggak kerja nih?"bisik Zacky yang ikut duduk di sebelah Fika dengan membawa teh hangatnya.
"Syukurlah, saran kamu diterima ya, Fika. Kamu hebat berani ngomong gitu ke pak dese!" kata Dewi.
"Tapi, Fika...walaupun Pak Cello masih muda, kamu enggak boleh bersikap semena-mena sama dia." Nina menambahkan.
Dewi dan Zacky menatap Nina bingung."Semena-mena bagaimana, Nin?"
Nina memperbaiki duduknya."Ya lihat, cara Fika bicara sudah seperti bicara dengan sesama karyawan saja. Seburuk apapun Pak Cello, dia itu atasan kita. Harus dihormati dan enggak pantas diberi ucapan-ucapan nyeleneh kamu. Kita harus sadar diri, Fika, kalau kita cuma karyawan. Kecuali kamu itu memang pacarnya Pak Cello, ha usah terserah mau bagaimana. Aku takutnya kamu ngerasa kamu bebas bicara sama Pak Cello, terus kamu nanti kebawa perasaan. Kalau udah kebawa perasaan ini yang susah, dia itu bos, Fika. Ya paham, kan...."
Fika terdiam. Sementara Zacky dan Dewi melotot ke arah Nina agar tidak meneruskan ucapan itu.
"Hmmm...Ya, mungkin kamu bener, Nin. Aku udah kelewatan." Fika terkekeh.
Hal itu membuat Zacky dan Dewi tersenyum lega. Fika tidak ambil pusing dengan ucapan Nina. Meskipun di hatinya ia tidak terima dengan ucapan Nina, tapi ia berusaha menghargai pendapat sahabatnya agar semua baik-baik saja. Ia tidak suka perdebatan.
Beberapa menit setelah itu, kantor sudah dipenuhi oleh calon karyawan baru. Mereka harus melewati tiga tahap seleksi. Yang pertama adalah tahap ujian tertulis.
"Nina, Dewi, dan Zacky, kalian bantu awasi,ya!" Kata Doni.
"Iya, Pak."
"Terus saya, Pak?" tunjuk Fika pada dirinya sendiri.
Doni menggaruk kepalanya."Hmm ...Enggak tau. Terarah kamu lah ngapain! Bisa goyang kayang di situ, buat hiburan."
"Ih, Bapak. Aku bisanya goyang semut." Fika terkekeh.
Cello muncul."Semua sudah masuk ruangan, Pak Doni?"
Jawaban itu membuat ia mendapat lirikan tajam dari Nina yang baru berjalan beberapa meter darinya.
"Kamu, jalankan absen ini ke peserta ya. Sesuai nomor urutnya. Setelah ini mereka harus test keterampilan. Kamu bantuin Pak Doni skor nilai mereka," kata Cello.
Fika mengangguk."Baik, Pak."
"Fika!"
Fika menoleh."Iya, Pak?"
"Kamu sudah sarapan?"tanyanya.
Fika mengerjapkan mata berkali-kali."Sudah, Pak. Bapak perhatian sekali."
"Bukan, kalau pingsan ...susah ngangkatnya, Fika. Kamu berat!" Cello pun pergi usai mengatakan demikian.
Sementara Doni tertawa geli, apalagi sekarang Fika tengah menghentakkan kakinya kesal.
"Artinya aku gendut dong, Pak Doni...Pak Cello jahat banget Eh!"