Pagi ini Fika memasuki kantor dengan perasaan bahagia. Entahlah, kenapa hari ini ia begitu bersemangat. Di depan lift ia bertemu dengan Nina.
"Nin, kusut banget wajah kamu?" Sapa Fika.
Nina yang tengah fokus menatap layar ponselnya menoleh."Iya. Kurang tidur."
Fika hanya mengangguk saja, sambil terus menunggu pintu Lift terbuka sementara Nina kembali fokus ke ponselnya. Tiba-tiba Fika mencium aroma yang ia kenal. Lalu menoleh ke belakang.
"Eh, Bapak." Fika menggeser tubuhnya dan memberi jalan pada Cello agar nantinya masuk duluan.
Cello tersenyum tipis ke arah Fika."Morning, Fika."
Fika mengerjapkan mata berkali-kali. Ia sampai mencubit pipinya sendiri."Duh sakit."
Cello menempelkan punggung tangannya ke kening Fika. Gadis itu malah cengengesan."Enggak, Pak. Yang sakit itu pipi saya. Bukan kening."
"Kenapa pipi kamu sakit?"
"Saya cubit, Pak," jawab Fika polos.
Cello menaikkan sebelah alis tebalnya."Nah, makanya saya cek suhu badan kamu. Pengen tau kamu masih sehat atau lagi sakit. Jiwanya!"
"Hah?" Fika menganga. Tak peduli betapa jeleknya ia saat itu.
Lift terbuka, Cello menarik kerah blazer Fika seperti kucing sedang menggendong anaknya.
"Bapak kejam! Saya ini bukan anak kucing." Fika mendengus sebal. Padahal saat itu lumayan ramai. Beberapa yang ada di sana tampak menahan tawa melihat Fika diperlakukan seperti itu oleh Cello.
"Habis ini kamu ke ruangan saya!" Kata Cello datar.
Mata Fika membulat."Ngapain, Pak? Materi kemarin aja belum selesai saya makan."
"Saya nyuruh baca, bukan makan! Secepatnya kamu ke ruangan saya." Suara Cello terdengar sedikit kesal. Sekarang pria itu melangkah duluan keluar dari Lift.
Nina menyenggol lengan Fika."Kamu, sih, suka banget cari gara-gara. Sengaja ya?"
Fika menggeleng."Enggak lah. Buat apa juga sengaja bikin Pak Cello kayak gitu."
Mereka berdua melangkah beriringan. Zacky dan Dewi sudah duduk di sana dengan tenang. Di meja mereka masing-masing ada secangkir teh, dua potong cake kecil dan sepotong buah."Loh, ada acara apaan nih kok ada makanan." Nina meletakkan tas mahalnya dan meraih cake tersebut.
Zacky mengangkat kedua bahunya."Kata Barno sih buat sarapan kita. Siapa tau ada yang enggak sempet sarapan. Lumayan lah buat ngeganjel perut nunggu makan siang."
"Iya. Apalagi aku suka ngemil," kata Dewi yang sudah menghabiskan sepotong Cake.
"Ya udah disyukuri aja. Kita jadi enak toh." Fika menarik kursinya.
"Jangan-jangan ini karena kamu sakit perut kemarin, Fik. Pak Cello jadi kepikiran buat kayak gini," ucap Dewi.
"Jadi, Pak Cello perhatian gitu sama Fika? Wah ada apa, nih. Kemarin jangan-jangan beliau terpesona sama lu." Zacky terkekeh.
Fika menoleh dan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya."Pokoknya, nih, ya kalau tentang Pak Cello, jangan main klarinet, jangan pernah memainkan lampu senter dengan cepat, lampu senter itu dianggap undangan. Jangan berhenti menatap sekitar, jangan makan keju (bagaimana kalo yg kotak)? Kotak tidak apa apa. Jangan pakai topi sombrero! atau baju bodoh! atau topi merah! atau rok panjang! Jangan pernah! Selamanya jangan, Jangan pernah! Jangan menari dan berteriak seperti keraaa!"
Nina, Dewi, dan Zacky mematung sesaat. Ketiganya saling bertukar pandang.
Dewi menggaruk-garuk kepalanya."Hmmm, Fika kamu kenapa ya? Apa pagi ini mandimu kurang bersih?"
"Atau...mimpimu kurang basah?" Tambah Zacky.
Fika menaikkan kedua tangannya ke atas membentuk lingkaran, menjinjitkan kakinya lalu berputar seperti seorang balerina."Aku hanya kurang cinta dan kasih sayang darinya."
"Fika!"
Mendengar namanya dipanggil oleh pemilik suara itu, Fika langsung terjatuh menyenggol pegangan kursi. Kursi itu pun terjatuh menimpa dirinya.
"Lu apaan, sih, bikin malu aja," bisik Zacky yang langsung membantu Fika bangkit.
"Maaf, Pak. Ada apa?" Fika meringis kesakitan.
"Saya sudah suruh kamu langsung ke ruangan saya kan?!" Katanya sedikit keras.
"I...Iya, Pak. Fika merapikan pakaiannya lalu berjalan ke arah Cello.
"Bawa sarapan kamu!" Kata Cello lagi membuat seisi ruangan kaget.
Fika kembali ke mejanya untuk mengambil secangkir teh dan sepiring kecil cake. Tangannya gemetaran karena kaget dengan teriakan Cello. Cello pun berjalan setelah yakin Fika akan mengikutinya ke ruangan. Tapi tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca.
"Aduh!" Fika mengusapkan tangannya ke blazer yang ia pakai.
Cello menoleh dan langsung menghampiri Fika. Pria itu membawa Fika ke wastafel terdekat. Tangan Fika langsung kena aliran air dari keran. Panasnya berkurang. "Panggil Barno untuk rapiin ini!"
Zacky mengangguk dan pergi menemui Barno meskipun perintah itu tak ditujukan padanya. Dewi dan Nina menatap Fika dengan miris. "Ada-ada aja, sih kamu, Fika."
Fika meringis, panasnya masih berasa. Ia tak menyangka kalau teh itu panas, bukan hangat. Saat ini Cello tengah berdiri menatapnya. Raut wajahnya sulit diartikan."Ma...Maaf, Pak."
"Kalau sudah baikan segera ke ruangan saya," perintahnya.
Fika langsung mematikan keran, mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya, lalu masuk ke ruangan Cello.
"Masih sakit?"
Fika mengangguk."Iya, Pak. Tapi sudah berkurang."
Cello membuka lacinya, lalu menghilang sebuah obat luka bakar."Pakai ini biar agak mendingan. Kenapa bisa jatuh minumnya?"
"Gemetaran, Pak."
"Gemetaran karena lapar? Kamu belum sarapan?"
"Gemetaran karena suara Bapak kenceng."
"Masa?"
"Ya iyalah masa bergetar karena berada di dekat Bapak. Memangnya aku lagi jatuh cinta," jawab Fika sambil mengolesi obat di kulitnya yang terkena teh panas.
Cello terdiam sejenak."Hmm, maafkan saya."
"Belum lebaran, Pak, jadi belum boleh maaf-maafan," jawab Fika sambil tersenyum lebar. Seolah ini adalah pembalasan ucapan Cello kemarin.
"Dosa apa aku sampe punya karyawan kayak kamu!" Cello mengacak-acak rambutnya.
"Pak, mau saya bantuin?"
"Bantuin apa?"
"Ngacak-acak rambutnya. Kayaknya asik." Fika menatap tampilan Cello yang kini semakin terlihat keren, seperti anak muda masa kini.
"Fika, kamu pernah dicium sama direktur enggak?" Cello mendekat ke arah Fika.
Fika menggeleng."Belum pernah,sih, Pak. Tapi itu salah satu cita-cita saya. Dicium direktur sepeti Bapak."
Jantung Cello berdebar kencang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Fika. Perasaan Fika mulai tak enak, ia beringsut mundur lalu pergi dari sana."Ehmmm nganu, Pak. Kayaknya cita-cita saya berubah. Nyium tembok kamar saya aja. Permisi, Pak!"
Cello tertawa geli melihat tingkah Fika. Sebenarnya tadi juga ia sempat benar-benar mencium Fika. Untungnya Gadis itu melarikan diri. Kalau tidak, entah bagaimana nasib selanjutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Boss
ChickLitCover : Reta Hill Hobi membaca membuat Fika menjadi suka menulis. Tapi, tulisan yang ia buat tak wajar karena ia menjadikan Cello, bos di kantornya menjadi tokoh utama di cerita yang ia buat hanya untuk sekedar lelucon. Setiap hari Cello pun jadi ba...