Bab 9

6.6K 613 43
                                    

Novel ini sudah tamat di google play book dan karyakarsa. Yanh mau baca duluan bisa ke sana ya.

Di sini dipublish ulang pelan-pelan.

Sejak kejadian saat itu, Cello tak pernah lagi memanggil Fika ke ruangannya. Fika sedikit bertanya-tanya, tapi ia bersyukur karena ia terbebas dari bosnya yang menyebalkan. Kalau saja Cello bersikap biasa saja, mungkin ia tak akan menjadi bahan cerita wattpad Fika. Atau paling tidak wanita itu bersikap layaknya manusia normal.
Seminggu sudah berlalu. Semua keadaan kembali seperti biasa, seperti saat sebelum Fika tau sedikit jauh tentang Cello. Untuk urusan pekerjaan pun sekarang berurusan dengan sang Manager.

Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Fika karena sahabatnya, Chica, sudah bangun dari tidur panjangnya. Dan ia membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Maka, sebagai sahabat Fika pun berinisiatif membantunya mencari kerja

"Permisi, Pak." Fika mengetuk ruangan Manager.

Doni, sang Manager mempersilahkan Fika masuk."Iya, Fika. Silahkan masuk."

Fika tersenyum dengan manis."Maaf, Pak mengganggu. Mau nanya kira-kira di sini menerima pekerja baru enggak?"

Manager Doni menaikkan alisnya."Karyawan baru? Sepertinya kemarin Pak Cello bilang butuh, sih. Tapi enggak tau kalau sekarang."

"Pak, tanyain dong. Kalau memang ada posisi kosong saya mau rekomendasikan temen saya," mohon Fika.

Doni tampak berpikir sejenak."Tapi,Fika...."

"Pak, saya mohon...." Fika memelas.

Doni mengangguk, ia tak ingin berdebat panjang."Kamu tunggu di sini, ya. Saya tanyakan ke Pak Cello."

Fika kegirangan dalam hati."Iya, Pak."

Sekitar sepuluh menit kemudian, Doni kembali."Fika."

"Eh bagaimana, Pak?" Tanya Fika penuh harap.

Doni menggeleng."Kalau di kantor kita ini enggak ada, Fika. Tapi, kalau di kantor pusat ada. Kamu bisa suruh teman kamu masukkan lamaran ke sana."

"Beneran, Pak? Syukurlah kalau begitu." Mata Fika berbinar.

Doni mengangguk."Iya. Tapi, Pak Cello minta kamu temui dia, Fika."

"Loh kenapa harus nemui beliau, Pak?" Perasaan Fika mulai tak enak.

"Karena nanti beliau yang akan memberi tahu ke pusat langsung untuk mempertimbangkan teman kamu itu. Kamu temui deh," saran Doni.

Fika mengigit bibirnya dengan risau. Ia ingin Chica diterima di sana, tapi dia juga takut menghadapi Cello sejak kejadian waktu itu. Hatinya menjadi dilema. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Cello. Ia ingin membantu Chica yang semasa kuliah dulu sangat membantunya dalam segi keuangan. Kini saatnya ia membalas segala kebaikan sahabatnya itu.

"Permisi, Pak." Fika menunjukkan kepalanya dari balik pintu.

Cello menoleh ke arah pintu."Ya, masuk."

Fika mengembuskan napas berat. Dengan perlahan ia berjalan dan duduk di depan Cello."Maaf, Pak mengganggu."

Cello mengangguk, ia meletakkan pekerjaannya, kemudian menatap Fika."Ada yang bisa saya bantu, Fika?"

"Pak, tadi saya baru bicara sama Pak Doni masalah penerimaan karyawan baru di kantor pusat. Apa itu benar, Pak?" Tanya Fika takut.

Cello menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi."Ya itu benar. Di ALTA, tapi itu bukan di bawah kepemimpinan saya. Kakak sepupu saya yang menjadi direktur di sana. Mereka sedang membutuhkan resepsionis."

"Kalau begitu boleh teman saya mengajukan lamaran kerja di sana, Pak?" Tanya Fika penuh harap.

Cello mengangguk."Saya akan rekomendasikan teman kamu itu."

Mata Fika langsung berbinar."Yang benar, Pak?"

"Iya. Tapi...." Cello menggantung kalimatnya dengan wajah iseng. Sementara perasaan Fika mulai tak enak. Ia menatap Cello dengan jantung berdebar, ia menanti Cello melanjutkan ucapannya.

"Kamu nyanyi." Cello tersenyum menyeringai.

Fika tersentak, kemudian ekspresinya berubah menjadi kebingungan."Nyanyi? Nyanyi apa, Pak? Waduh suara saya kayak suara tikus kejepit pintu, Pak."

"Terserah kamu mau nyanyi apa." Cello tersenyum geli. Ia mulai merasa puas karena bisa membalas Fika yang suka sekali mengata-ngatai dirinya di hadapan karyawan yang lain.

Fika berdehem."Tapi kalau nanti gendang telinga bapak rusak jangan tuntut saya, ya." Fika tampak mengambil suara.

"Topi saya bulat....bulat topi saya...kalau tidak bulat, bukan topi saya."

Cello menatap Fika dengan datar."Kenapa lagu anak-anak! Kamu pikir saya anak TK!"

Fika memanyunkan bibirnya."Kan Bapak juga enggak bilang nyanyi lagu apa. Lagian kok gini banget, Pak. Enggak ikhlas nolongin."

Cello menaikkan sebelah alisnya."Kalau kamu keberatan juga tidak apa-apa, Fika. Saya tidak perlu capek-capek merekomendasikan teman kamu itu, kan."

Fika menggigit bibir bawahnya, ia mulai panik. Ini tidak boleh terjadi, ia harus berusaha bagaimana pun caranya agar Cello mau merekomendasikan Chica."Ehmm...Iya, Pak. Jadi lagu yang bagaimana, Pak?"

"Yang romantis!" Cello mengambil sebuah map dan membacanya.

Fika merenung sejenak, akhirnya ia mengingat sebuah lagu.

Seperti yang biasa kau lakukan
Di tengah perbincangan kita
Tiba-tiba kau terdiam
Sementara kusibuk menerka
Apa yang ada di pikiranmu

Sesungguhnya berbicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita
Mungkin tentang ikan paus di laut
Atau mungkin
Tentang bunga padi di sawah
Sungguh bicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita...
Selalu bisa membuat semuanya bersahaja... Ooo...
Malam jangan berlalu (jangan datang dulu terang)
Telah lama kutunggu (kuingin berdua denganmu)

Biar pagi datang, setelah aku memanggil...terang (Hai kau pencuri hati)
(Payung Teduh-mari Bercerita)

Fika mengakhiri lagunya dengan senyum sumringah."Udah, Pak. Maaf kalau setelah ini Bapak harus ke Dokter THT. Jadi, gimana, Pak? Apa ada lagi syaratnya?"

Cello meneguk salivanya, sedikit mengendurkan dasi. Ia berdehem pelan."Hmm...Oke. masih ada satu lagi syaratnya. Tapi, belum ingin saya katakan sekarang. Mungkin besok-besok saya tagih. Saya akan hubungi pihak kantor sana untuk menghubungi teman kamu. Tolong tinggalkan nomor yang bisa dihubungi."

Fika memekik kegirangan. Lantas dengan santainya ia mengambil kertas kosong di meja Cello, menuliskan sederet nomor lalu menyerahkannya."Ini, Pak. Ini beneran kan, Pak?"

"Iya. Saya usahakan," jawab Cello.

"Terima kasih, Pak." Fika membungkukkan badannya.

"Terima kasih aja?" Tatap Cello.

"Hmmm...Memangnya apa lagi, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Fika mulai kebingungan.

"Mungkin kamu mau kasih saya kecupan terima kasih," kata Cello dengan wajah yang terasa panas.

Fika menganga tak percaya. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya langsung merona."Wah, untuk saat ini saya belum punya keinginan itu. Tapi, enggak tau kalau nanti sore."

Cello tertawa kecil."Ya sudah Kamu kembali bekerja."

Fika mengangguk, ia membalikkan badannya perlahan. Ia berteriak dalam hati."YES...YES...YES!"

****

Crazy BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang