3

16 5 8
                                    

Suara gaduh seperti biasa selalu terjadi pada siang menjelang sore di rumah chef Ranti, murid muridnya yang rata rata berusian 4-8 tahun itu sekarang sedang diajarkan bagaimana cara membuat minuman enak dan sehat dari berbagai macam buah.

Raven baru saja pulang dari sekolah. Dilihatnya Anak anak itu tampak sangat senang dengan hasil mereka sendiri, tawa bahagia terpancar dari wajah wajah polos mereka. Raven sempat berdiri termangu memandangi punggung rendah sang ibu yang dengan sabarnya mengajari sekitar 15 anak itu memasak seorang diri sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

....

"Jadi udah fiks nih teh tanggal tanggal ujian kelas 12?" tanya chef Ranti di sela sela makan malam bersama Raven dan satu asisten rumah tangganya.

"Udah, minggu depan simulasi terakhir ma, abis itu ujian praktik, USBN, baru deh UN." jawab Raven dengan mulut penuh.

"Kalo makan jangan sambil ngomong ah!" tegur ibunya.

"Yah kan mama nanya, kalo aku ga jawab dikira ngacangin lagi," jawab Raven ketika makanannya berhasil ditelan.

"Maaf maaf," kata ibunya sambil menyodorkan tisu untuk Raven "Ga kerasa ya kamu bentar lagi udah lulus SMA," tambahnya yang hanya direspon anggukan oleh Raven. "Terus rencana kamu, kamu mau lanjut kemana teh?" tanyanya lagi. Raven pun sejenak menghentikan aktifitasnya, ragu ragu ingin menjawab, takut menyakiti hati ibunya. "Teh?" Raven terkesiap, "Malah bengong,"

"Nghh... Kalo aku pengen kuliah ke Inggris mama setuju kan?" tanya Raven dengan hati hati, ekspresi wajah sang ibu seketika berubah, jelas ia akan menolak mentah mentah permintaan anaknya itu.

"Inget ya Raven, kamu boleh kemana aja--asal bukan Inggris, mama izinkan" balas chef Ranti dingin. Asisten rumahnya yang merasa ini adalah masalah serius pun segera meninggalkan meja makan, sibuk kepada hal lain.

"Yaudah kalo gitu liburan pasca ujian ini Raven boleh ya traveling ke Inggris?" pinta Raven lagi. Kali ini chef Ranti menatapnya.

"Untuk tujuan apapun itu, Raven. Mama ga akan mengizinkan kamu ke sana, sampai kapan pun." jawab chef Ranti dengan tekanan di setiap katanya.

"Tapi mama kan tau aku pengen ke Inggris ma, nonton Liverpool live di Anfield, klub favorit aku di Inggris ma, yang katanya mama suka sama Robbo, left-back barunya itu," Raven berusaha meyakinkan, "Papa juga disana--mama juga tau kan kalo aku kangen sama papa?" kata Raven, justru itulah yang ditakutkan oleh chef Ranti, ia tak ingin Raven bertemu dengan Danny.

"No means no, Raven!" Putus sang ibu kemudian pergi dari meja makan. Raven sama sekali tak menyangka bahwa ibunya benar benar akan mengatakan hal demikian, dia masih duduk di meja makan dengan separuh makanan di hadapannya. Ia sudah kehilangan nafsunya untuk makan, ia pun memutuskan pergi ke kamarnya.

Di meja belajarnya terpampang sebuah foto tua, ada Danny, chef Ranti dan Raven kecil dengan wajah khas Eropa, diambilnya foto itu, sedetik kemudian tangisnya pecah tak bisa ditahan. Bagaimana tidak? Dulu ia merasa sangat beruntung masih sempat mengenal sang ayah, karena tak sedikit dari temannya yang sama sekali tak mengenali ayah atau ibu mereka. Tapi sekarang Raven merasa begitu sial karena meskipun dengan adanya seratus persen kemungkinan bertemu dengan ayahnya, pada saat yang sama ibunya menentang dan menutup semua kemukinan itu.

Suara ketukan terdengar di jendela Raven, itu pasti Revan. Raven mengusap air matanya, membuka jendelanya dan menemukan Revan disana.

"Tarik gue dong!" pinta Revan seperti biasa. Setelah sampai di atas Raven pun kembali duduk di meja belajarnya.

"Lu ngapain kesini coba?" tanya Raven dengan nada dingin, mencoba menghentikan air matanya yang belum sepenuhnya tumpah, berusaha menstabilkan suaranya yang masih goyang karena tangis.

"Gua mau nginfo--sabtu nanti kan ada derby North West, nah ini tadi anak anak Manchunian nitipin undangan ke gua buat dikasih ke anak anak Kopites buat nobar, sekarang gua titipin ke elu deh," jelas Revan yang tak di tanggapi oleh Raven.

"Yaudah taro situ aja," balas Raven singkat setelah terdiam beberapa saat.

"Lu kenapa si Rav, lu bahkan ga mau ngeliat gua, lu marah sama gua?" tanya Revan yang merasa diabaikan. Raven tak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya, menutup wajahnya dengan kaus bergambar The Beatles yang dikenakannya. Revan paham betul pasti ada sesuatu yang disembunyikan Raven. "Rav, lu nangis?" tanyanya setelah ia melihat tubuh Raven bergetar, "Cengen ih!" Revan pun bangkit menuju meja belajar Raven, sekarang ia berdiri tepat dihadapan Raven, isaknya semakin terdengar jelas. Dengan ragu perlahan lahan dipeluklah Raven, Raven membalas pelukan itu dan menangis sejadi jadinya di pundak tetangganya, temannya, adiknya.

"Lo pernah ga si ngerasa jadi orang paling sial di dunia ini?" tanya Raven disela tangisnya, Revan terdiam sejenak, menarik napas dalam sebelum menjawab.

"Pernah." jawabnya mantap, "Lo inget ga waktu kita masih SMP?" tanya Revan, "Waktu sore sore di belakang rumah gua, gua maksa maksa elu buat nendang bola, terus kena pas my lil' bruno?" lanjutnya membuat Raven memutar ingatannya kepada kejadian 5 tahun silam. "Bukan cuma ngerasa sial Rav, gue juga merasa berdosa dan nyesel banget waktu itu--fiks, mulai saat itu gua mutusin kalo lo gaboleh nendang bola lagi karna gua takut korban berjatuhan kalo sampe lu nekat," tambahnya yang langsung dihadiahi pukulan telak di kepalanya.

"Lu bisa aja ya, dasar!" Raven mulai tergelak, perlahan lahan mengusap air matanya. Kemudian saling diam.

"Jadi lu udah bilang sama nyokab lu?" tebak Revan seaakan Raven sudah mengatakannya. Raven hanya mengangguk lemah. "Terus kenapa nangis? Bukanya lu udah berekspektasi soal jawaban yang bikin nyesek itu?" lanjutnya. "Dan lu masih punya plan B kan?" sekarang ia bertanya.

"Gue kawatir kalo Plan B itu juga bakalan gagal Van," jawab Raven putus asa

"Sejak kapan lu jadi pesimis gini?" tanya Revan dengan nada sok-dingin. "Rav--c'mone!"

"No means No, Van!" Mata mereka bertemu, "No means No!" ulangnya. Revan pun hanya menghela napas,

"Mendingan lu istirahat aja deh Rav, lain kali lu ngomong lagi sama nyokab. Lu fokus dulu sama ujian ujian yang akan datang biar bisa kuliah di kampus bagus" cetus Revan. "Gue mau balik dulu--jangan lupa itu undangan lu sampein ke anak anak Kopites," kemudian dia kembali melompat lewat jendela kamat Raven, "Jendelanya lu tutup sendiri ya Rav" katanya setengah teriak, Raven masih terduduk di kursinya, kembali memandangi foto keluarga bahagianya dulu.

....

*Manchunian: sebutan untuk fans Manchester United
*Kopites: sebutan untuk fans Liverpool FC, beberapa orang juga menyebut fans The Reds dengan sebutan Liverpudlian.

Voment napa voment oi!! Diem diem bae
Wkwk :v
Fyi itu yang di mulmed Juanpa Zurita sama Lele Pons :D

RAVEN [Completed]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang