7

18 5 7
                                    

Sejak saat itu Tedi jadi lebih sering main ke rumah Raven, terkadang ikut membantu chef Ranti mengajar di kelas memasak, terkadang juga membawa makanan untuk Raven dan chef Ranti. Chef Ranti sendiri juga tampak senang dengan kehadiran Tedi yang lebih sering, ia berharap Tedi dapat memberi dampak yang baik bagi Raven.

Seperti sore ini, setelah Tedi pulang dari rumah Raven seusai membantu chef Ranti mengajar di kelas memasaknya, chef Ranti terus menerus membicarakan Tedi. Ia mungkin lebih bangga pada Tedi daripada kepada anaknya sendiri. Bukannya Raven tak suka, hanya saja ia merasa lelah dan bisan dengan topik yang tak berubah belakangan ini, meskipun kenyataannya yang Tedi lakukan bukan hanya membantu ibunya memasak--namun juga belajar bersama Revan dan Raven. Terkadang mereka juga menemani Revan latihan rutin setelah pulang sekolah. Mereka menjadi teman baik sejak mereka bertiga saling mengenal.

"Tedi masaknya pinter banget ya teh? Udah keliatan banget bakatnya dia sejak kita diundang ke rumahnya beberapa hari lalu, mama salut banget sama dia," puji chef Ranti untuk Tedi.

"Mama pala Tedi kan chef, ma." balas Raven

"Mama kamu juga chef, tapi kamu bahkan gamau masak," chef Ranti kembali membandingkan Tedi dengan Raven.

"Tapi papaku bukan chef kaya papanya Tedi," ujar Raven yang hanya mendapatkan tatapan kesal sang ibu. "Aku mau belajar ma," Raven pun meninggalkan meja makan dengan makanan separuh tersisa. Ia mengambil camilan dari Tedi yang berada di meja yang sama lalu masuk ke kamarnya.

Dikamarnya, Raven tidak belajar, ia hanya memandang kosong kepada catatan Ekonomi-nya. Sudah sejak 45 menit lalu ia mencoba berkonsentrasi belajar, namun pikirannya selalu mrmaksanya memikirkan hal lain. Sekarang ia sedang melamun, menatap foto keluarganya dulu.

Dang!! Dang!!

"Rav! Bukain woy!" teriak seseorang dari jendela. Jelas itu kebiasaan Revan, pasti itu Revan.

"Ntar!" balas Raven,

"Tarik dong!" teriak Revan lagi. Sesampainya diatas Racen membaringkan tubuhnya di kasur empuknya dengan takdiikuti oleh Revan yang sekarang mengunyah makanan yang sama. Revan terlihat bosan dengan suasana hening itu. Ia pun berinisiatif mencairkan suasana. "Lu kenapa?" tanya Revan tanpa basa basi, seperti biasa Revan selalu peka terhadap sahabatnya itu. Dia sudah hafal betul gelagat sahabatnya, pasti sedang ada sesuatu yang disembunyikan, dihindari atau ingin dilupakan jika Raven bersikap sepeti itu. Raven menatap Revan terkejut. Revan hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Males cerita," jawab Raven sambil membalik tubuhnya ke posisi tengkurap, dari situ bisa disimpulkan kalau memang ada sesuatu yang mengganjal hati Raven. Ia kembali mengunyah makanan ringannya.

"Lu sibuk mikirin apa si?" tanya Revan berusaha mencari tahu.

"Engga, biasa aja" jawab Raven dengan tatapan kosong.

"Lu ga punya bakat bohongin gua Rav," protes Revan secara tidak langsung, Raven hanya mengangkat bahu. "Tedi?" tebak Revan tanpa basa basi. Raven kembali menoleh ke arahnya, Revan pun mengangkat pundaknya. Raven menghela nafas dalam.

"Kesel gue sama nyokab!" nada kesal terdengar dari Raven, seperti biasa Revan selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. "Tiap hari yang diomongin Tediii mulu, dipuji-puji terus sama dia--wajar kan kalo gue cemburu?" Revan mengangguk pelan. "Kek secara ga langsung nyokab gue tuh bikin gue jadi benci gitu loh sama Tedi, padahal kita temenan, gue bingung maunya apa si nyokab gue?"

"Tapi kan dia juga jadi brankas penyimpanan makanan lu, keknya gamungkin lu benci sama Tedi," sedetik kemudian Raven hanya terseyum sambil menggaruk kepalanya. "Keknya si doi naksir sama lo Rav," tambahnya.

"Engga ah, kita cuma temenan," elak Raven, ia membuka bungkusan makanan yang ke dua.

"Kalo dia ga naksir sama lu ngapain dia bela belain tiap hari ke sini?"

"Ya dia kan suka masak kek nyokab, dia seneng bantuin nyokab ngurus bocah bocah itu," sambil mengunyah makanannya Raven bicara. "Dia juga suka nemenin lu latian bola Van, jangan lupain poin itu."

"Gua cowo ya, gua apal banget lah gimana gelagat cowo kalo udah naksir sama cewe," kata Revan sok keren. "Lagian kalo latian gua ga ditemenin sama lu belom tentu juga dia berangkat nemenin gua," Raven terdiam. "Frekuensi kehadiran dia di rumah ini juga menunjukkan kalo dia naksir elu Rav, its too obvious."

"Dengan sering dateng ke rumah cewe? Berarti lu naksir gua juga dong?" goda Raven yang berusaha nge-les.

"Kalo gua ke elu itu pengecualian," Revan ikut mengunyah makanan ringan itu, "Lu kan juga sering maen ke rumah gua, cuma semenjak Tedi sering maen kesini aja lu gapernah nginjek pekarangan rumah gua--lu yang secara ga langsung maksa gua buat dateng ke sini tiap harinya." Raven memasang ekspresi berfikir keras.

"Selama itu ya Van?" Revan hanya mengangguk takzim sambil terus mengunyah makanan. Memang selama itulah Raven tak menginjakkan kakinya ke wilayah milik keluarga Reynaldi, ia masih kerap bertemu dengan Revan karena Revan rutin menyambangi rumahnya setiap hari. "Yaudah deh besok-besok gue maen ke rumah lu,"

"Gabisa," kata Revan buru buru.

"Kenapa?" tanya Raven bingung.

"Lu lupa kan?--besok hari rabu, latian gua"

"Oiya, yaudah besok kita latian, maennya besok besok aja," Raven tersenyum kecut.

"yaudah gua balik dulu deh," Revan pun berdiri, ia pamit kepada Raven, "Eh snack-nya gua bawa pulang ya? Lu masih punya banyak kan?" Revan benar benar membawa sebungkus besar makanan itu, melompat dari jendela dimana ia masuk tadi.

"Dasar lu bertamu cuma mo minta makan doang," teriak Raven ketika Revan sudah sampai di halaman samping rumahnya, seperti biasa Revan menyuruh Raven menutup kembali jendelanya.

Ia kembali duduk di ranjangnya, memeluk lututnya, memikirkan kata kata Revan tempo hari lalu. Revan begitu mengerti apa yang ia rasakan jauh lebih baik daripada ibunya sendiri. Satu keunggulan Revan yang tak dimiliki orang lain, dia memiliki kepekaan yang luar biasa, ia tidak kuat, tapi ia pandai membaca situasi, menciptakan solusi dalam waktu sempit. Ia juga tidak lebih pandai daripada Raven secara akademik, tapi ia lebih pandai dalam segala hal diluar itu, ia lebih pandai mengenai kehidupan. Seorang pekerja keras yang penyabar, yang selalu meyakini kesuksesannya sendiri. Raven selalu iri dengan Revan yang dengan cepat belajar dari kesalahannya, selalu iri dengan sifat optimisnya, Revan bisa dikatakan sebagai mutiara. Sahabat yang sempurna bukan?

Malam semakin larut, perlahan mata Raven mulai lelah, tertidur.

.....

Skrrt skrrt! Saia ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada kalian yang sudah menyempatkan diri membaca sampah ini, dan memberikan vote berharga. maaf juga kalau selama kalian membaca ini ada ketidak-nyamanan yang disebebkan oleh beberapa faktor seperti typo dll. Kemungkinan setelah chapter ini di publish, chapter selanjutnya akan mengalami penundaan publish cause i'll be so busy :v harap dimengerti eaps. Pokonya keep on reading, voting and commenting.
Te amo💙

RAVEN [Completed]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang