10

8 4 3
                                    

Hari hari menuju ujian nasional, tepatnya satu minggu lagi ujian dilaksanakan. Semua murid belajar keras demi nilai yang bagus dan bisa diterima di universitas impian mereka, begitupun Raven, bahkan di malam minggu pun dia tak juga libur belajar.

Raven memperhatikan jam yang ada di sampingnya saat ia sedang belajar di kamarnya. Waktu berjalan begitu lamban akhir akhir ini, terlebih setelah beberapa hari ia tak bicara pada ibunya, dan sekarang ia juga tak saling bicara pada Revan sahabatnya. Ya, ia dan Revan tak saling bicara sejak pertengkaran kecil di kantin pada siang itu, bahkan ia pun tak saling bicara ketika mereka diantar ke sekolah oleh ibunya sehingga membuat suasana di mobil lengang sepanjang jalan menuju sekolah.

"Mungkin bener kata Revan, gue jahat," gumam Raven, ia sering terfikir kata kata Revan di kantin saat itu, ia merasa bersalah, baik pada ibunya maupun Revan. Tapi yang jelas Raven merindukan mereka. "Gue harus minta maaf, ya. Besok gue harus minta maaf." Raven menguatkan tekadnya untuk meminta maaf kepada Revan, kemudian ia pun beralih ke ranjangnya untuk segera tidur.

.....

Raven berdiri disamping Revan yang masih melambaikan tangan ke arah mobil chef Ranti yang sudah pergi menjauh, tekadnya yang sudah bulat semalam ternyata cukup sulit untuk dikatakan. Ia tak pernah se canggung ini dengan Revan, sebelum menyadari betapa payahnya dia, ia menoleh kearah Revan tadi berdiri, dia sudah tidak ada. 'Sialan, pake ninggalin gue lagi,' batinnya mengumpat pada Revan.

Ia terus berjalan di belakang Revan, sampai di dalam kelas. Satu lagi, mereka tidak duduk bersebelahan lagi setelah itu, karena keegoisan Raven, ia meminta teman sekelasnya untuk bertukar tempat. Sepertinya gadis itu tidak keberatan untuk duduk di dekat Revan, justru dia senang.

"Perhatian, pengumuman ditujukan kepada Seluruh siswa/siswi kelas 12 diminta segera ke aula untuk doa bersama, sekian terima kasih."

Pengumuman terdengar setelah Raven duduk di tempat barunya. Ia menoleh ke arah Revan yang sudah beranjak dari tempat duduknya, hendak ke aula, Raven pun segera menyusul. Saat Raven tiba di aula, aula sudah sangat ramai dan semua murid sudah duduk dengan rapi. Raven masih mencari Revan yang ternyata duduk di barisan depan. 'Tumben tu anak duduk di depan?' Batinnya.

Acara doa bersama itu berlangsung sangat emosional dan berhasil membuat beberapa, bukan beberapa, tapi hampir semua murid menangis, mereka semua diminta untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Setelah acara di tutup oleh para guru, tangisan tertahan pun semakin tersedu ketika guru guru sudah tidak ada di ruangan itu.

Raven sadar inilah saat yang tepat untuk meminta maaf pada Revan, seketika ia berdiri dari tempat ia duduk hingga teman yang tadinya sedang menangis bersandar padanya tersentak kaget. Ia melihat ke barisan depan dan tak menemukan Revan disana, ia mulai mengedarkan pandangan berharap menangkap sosok Revan.

Ternyata Revan sudah berdiri tak jauh darinya, ternyata lagi, dia juga mencari Raven, mereka saling melempar senyum. "Hi!" Sapa Revan canggung, kemudian menggaruk kepalanya.

Raven terdenyum, matanya berbinar melihat sahabatnya, ia pun menyampaikan kata kata yang sudah disusunnya. "Gue mau minta maaf, Van. Gue tau gue salah, dan ga seharusnya gue-" kata kata Raven terputus.

"Gue juga salah Rav, lu bener gue gapernah ngerasain pisah sama orang tua gue. Dan gue mau lu lupain semua kejadian kemaren. Gua gabisa bohong gua kangen sama lo, gua jadi borung banget pas ga duduk lagi sama lo dikelas," potong Revan panjang lebar. Raven pun memeluk sahabatnya itu, Raven sangat menyayangi Tetangganya, Sahabatnya, sekaligus adiknya, yaitu Revan. Ia bahkan tak pernah terbayangkan akan terpisah jarak dengan Revan selama berbulan bulan, bahkan bertahun tahun lamanya. Tak pernah terbayangkan di benk Raven. Namun tekadnya sudah bulat, ia akan tetap pergi, karna ada hal baru yang harus ia lakukan, hal baru itu sudah menunggunya.

Seketika detak jantung Revan mendadak tak beraturan, namun Raven tak merasakannya meskipun wajahnya berada tepat di dada kiri Revan. Sama halnya seperti Raven, Revan pun tak pernah membayangkan berada jauh dari Raven untuk waktu yang lama, ia berusaha untuk mencegahnya pergi. Tapi dia sadar tidak seharusnya ia mencegah Raven menemui ayahnya, ia tak berhak mengatur hidup Raven, ia tau Raven bisa membuat kebahagiaannya sendiri, dengan caranya sediri. Begitupun dengan semua orang, mereka punya cara sendiri untuk bahagia.

"Tedi!" Teriak Raven ketika melihat Tedi berdiri tak jauh di belakang Revan dengan wajah nelangsa, Raven melambaikan tangannya memanggil Tedi, Tedi pun datang.

"Ted, gue mau minta maaf banget sama lo kalo selama gue jadi temen logue suka jahat sama lo. Makasihjuga lo udah mau jadi sahabat gue," kata Raven sambil menjabat tangan Tedi yang tersenyum kaku, Tedi tak menjawab ia hanya mengangguk.

Berbeda dengan Revan yang tau ada sesuatu yang salah dengan Tedi, ia memeluk Tedi, dan membisikkan kata maaf dan dukungannya kepada Tedi. Revan masih berusaha mencari tau perasaan apa yang tumbuh pada Raven, ia tau Tedi menyukai Raven. Sebagai sahabat ia tak ingin menyakiti hati Tedi, ia tak ingin kehilangan Tedi saat Raven pergi nanti.

"Good luck ya, kalian berdua" kata Tedi setelah melepas pelukannya dari Revan. Lalu ia pergi begitu saja.

.....

"Teh Raven ujiannya kapan?" Tanya bi Asri ketika makan malam hampir selesai, saat itu chef Ranti juga disana, tapi ia sama sekali tak bersuara.

"Senin depan bi, doain ya biar sukses ujian Raven," jawab Raven. Diujung kalimatnya tiba tiba chef Ranti meninggalkan meja makan dengan piringnya yang masih terisi, makanan itu seperti masih utuh. Raven menatap punggung ibunya yang semakin menjauh.

"Sabar ya teh, ibuk mungkin lagi gaenak badan," bi Asei yang tau masalahnya pun berusaha menghibur Raven. Raven hanya menunduk menahan air matanya, setelah bi Asri beranjak dari duduknya Raven memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

Jauh dalam hatinya ia ingin meminta maaf kepada ibunya, ia ingun bicara pada ibunya, ia bosan saling diam seperti ini. Tapi ibunya beraikap terlalu dingin hingga Raven tak berani menyentuhnya. Hal itu membuat Raven berusaha mengingat kata kata apa saja yang sudah dia lontarkan sehingga ibunya semarah itu.

Ia kembali menatap foto keluarga bahagianya dulu, air matanya yang sejak tadi tertahan pun akhirnya menyeruak keluar, ia mulai terisak sendirian dikamar, tidak ada Revan yang datang menghibur karena mungkin dia sedang sibuk belajar. Raven juga harus belajar, ia juga harus sukses dalam ujiannya agar orang tuanya bangga, meskipun mereka tak saling bicara ia masih punya ayahnya yang mungkin akan membanggakannya. Hingga hari itu tiba, ia akan terus berjuang, berjuang meraih mimpinya, berjuang untuk orang tuanya, berjuang untuk semuanya.

.....

Untuk kalian yang udah baca part ini, its ok kalo kalian ga kasih komen, tapi plis jawab pertanyaan saya yang satu ini.

Apakah kalian bahagia?

Jawab pertanyaan ini dengan perasaan yang kalian rasakan saat kalian baca pertanyaan ini, saat itu juga, whenever that is, dari tanggal berapapun kalian baca, from present or future, please just answer me.

RAVEN [Completed]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang