Terkadang, menjaga lisan adalah hal yang paling utama. Karena kita tidak tahu, hati siapa yang akan terluka.
* * *
PERGI
Rasya terkejut setengah mati pagi ini ketika Ardi dan Risya memberitahunya bahwa Nilam memutuskan keluar dari pesantren, setelah apa yang Rasya lakukan padanya.
Pria itu terburu-buru mengganti bajunya dan segera keluar dari rumah pondok santri. Ia ingin mendengar sendiri apa alasan yang sejujurnya dari Nilam.
Abah dan Bu Nyai terlihat mengantar Nilam yang sedang menyeret kopernya untuk di masukkan ke dalam bagasi taksi. Nilam pun berpamitan kepada mereka lalu segera menaiki taksi.
Taksi berjalan perlahan meninggalkan area pesantren. Rasya berlari mengejar dan berhasil menghentikan taksi itu sebelum mencapai pintu gerbang. Nilam melihatnya dan menurunkan kaca jendela.
"Apa ini? Kenapa kamu tiba-tiba pergi? Kalau kamu marah sama saya silahkan..., nggak perlu mencabut sumpahmu juga nggak apa-apa..., tapi kamu nggak perlu pergi seperti ini," Rasya berbicara tanpa basa-basi apapun.
"Kamu nggak punya hak apapun untuk menahan saya," ujar Nilam.
"Kamu juga nggak punya hak untuk membuat saya merasa bersalah seumur hidup!," balas Rasya.
Nilam memutuskan keluar dari taksi dan menghadapi Rasya. Ia menatap pria itu dengan tegas.
"Kamu meminta maaf kan? Saya sudah memaafkan..., kamu meminta saya mencabut sumpah yang saya lakukan kan? Saya juga sudah melakukannya. Tapi kalau pada akhirnya saya pergi seperti ini, itu adalah konsekuensi yang harus kamu terima dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutmu. Kamu mempermalukan saya Akh..., saya memang galak..., tapi bukan karena saya sombong terhadap orang lain, melainkan untuk mengajari mereka, agar mereka tidak menjadi lemah di tengah masyarakat ketika mereka keluar dari sini. Tapi apa yang kamu katakan pada mereka sudah membuat nama baik saya tercoreng, dan bagaimana pun kamu menjelaskan pada mereka, penilaian itu tidak akan berubah. Jadi..., jangan cegah saya pergi. Ini keputusan yang saya ambil ketika akhirnya saya memaafkanmu. Kita tidak akan bertemu lagi..., Assalamu'alaikum...," jelas Nilam.
Wanita itu kembali masuk ke dalam taksi dan meninggalkan Rasya yang masih mematung di tempatnya. Hati pria itu terpukul dengan hebat atas apa yang Nilam katakan. Ia tak pernah berpikir sama sekali, kalau akhirnya akan menjadi serunyam ini hanya karena bercanda.
"Ukhti..., Ukhti Nilam pikirkan sekali lagi..., saya mohon Ukhti...," pinta Rasya seraya mengetuk-ngetuk kaca jendela taksi.
Taksi terus melaju dan meninggalkan gerbang pesantren itu beserta Rasya dengan rasa bersalah yang dalam. Jejak terakhir yang Nilam tinggalkan di sana adalah sesuatu yang bernama..., luka.
* * *
Bali, dua bulan kemudian.
Nilam POV
"Assalamu'alaikum Bu Nilam...," sapa para siswiku yang hendak pergi ke kantin.
"Wa'alaikum salam..., setelah jam istirahat selesai kita akan adakan sesi belajar di luar ruangan ya," ujarku pada mereka.
"Baik Bu...," jawab mereka, kompak.
Aku kembali berjalan menuju ruang guru. Beberapa buku kusimpan di dalam tas dan aku pun mengambil buku lain untuk bahan ajarku di jam selanjutnya.
Sudah dua bulan aku pulang ke Kuta, kota kelahiranku. Artinya, sudah dua bulan juga aku meninggalkan kehidupanku selama ini di pesantren.
Jujur saja, aku rindu. Aku rindu masa-masa sekolahku di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, aku juga rindu masa-masa tinggal bersama dengan Diva, Kiana, Risya, Ria dan juga Salwa. Aku rindu bercanda dengan mereka.
Aku rindu Bu Nyai yang selalu bersedia memelukku, aku rindu Abah yang selalu menasehati, aku rindu Mira dan perpustakaan madrasah yang begitu dia cintai seperti anak sendiri.
Aku rindu Ardi yang konyol, aku rindu Firman yang pendiam, aku rindu Salman yang peka, aku rindu Tio yang kurang ajar sebelum mendapat cobaan fitnah dari Odi, dan aku rindu..., Rasya.
Ya..., pria yang selalu saja menggangguku saat belajar di madrasah, pria yang selalu mengajak aku ribut di kantin ketika istirahat makan siang, pria yang selalu berdebat denganku, pria yang selalu membuatku..., rindu.
Pertengkaran adalah alasanku agar bisa berbicara dengannya. Pertengkaran adalah satu-satunya alibi yang mampu menutupi kenyataan bahwa aku menyukainya sejak pertama bertemu di halaman pondok.
Aku masih ingat, perdebatan pertama yang terjadi di antara kami disebabkan oleh mangga yang jatuh dari pohon secara alami. Aku berpendapat bahwa mangga itu tetaplah milik Abah, jadi sudah seharusnya diminta terlebih dahulu sebelum dimakan. Sementara Rasya berkilah, bahwa mangga yang sudah jatuh dari pohon berarti rezeki yang tak boleh disia-siakan dan boleh dimakan tanpa meminta izin terlebih dulu.
Siapa yang menang? Tentu saja aku..., Abah membenarkan apa yang aku katakan dan menyalahkan Rasya atas pendapatnya.
Sejak itulah kami sering berdebat, dan sejak itulah aku sering memikirkannya.
Kini semua telah berubah..., aku tak lagi bisa melihatnya. Mungkin Allah tak menuliskan kata jodoh dalam hidupku dan hidupnya. Jadi..., di sinilah aku dengan perasaan yang masih saja sama untuknya, namun dengan takdir yang berbeda.
* * *
Kalimantan Timur, dua bulan kemudian.
Rasya POV
Aku duduk di tepi Pantai Melawai dan menikmati tiupan angin sore yang tidak terlalu kencang. Matahari masih terasa agak menyengat, sehingga aku harus memicingkan kedua mataku untuk menatap laut.
Sudah dua bulan aku kembali ke sini, kota kelahiranku. Seminggu sejak Nilam pergi, aku pun memutuskan hal yang sama dengannya, pergi dari pesantren.
Karena merasa bersalah?
Ya..., salah satunya adalah itu. Tapi ada hal lain juga yang menyertai kepergianku. Aku sudah tak punya semangat untuk tinggal di sana.
Kenapa?
Karena Nilam sudah pergi, dan aku tak pernah sempat mengatakan kalau aku mencintainya. Karena Nilam sudah pergi, dan aku tak sempat melamarnya dengan cincin yang kubeli bersamaan dengan Ardi ketika akan menikahi Risya.
Dia salah paham. Aku mengatakan pada santri baru kalau dia adalah santriwati paling galak karena aku tahu mereka akan mencoba mendekatinya. Aku hanya ingin dia tetap seperti itu, tidak terkontaminasi oleh hal-hal berbau pubertas.
Aku hanya ingin dia tetap menjadi Nilam-ku, yang mengajakku berdebat hanya karena perkara mangga jatuh dari pohon.
Aku hanya ingin dia tetap menjadi Nilam-ku, yang selalu galak kalau kutegur.
Aku hanya ingin dia tetap menjadi Nilam-ku, yang selalu mengeluarkan idealisme-nya ketika ada hal yang tidak sesuai dengan syari'at agama ataupun norma kehidupan.
Nyatanya..., apa yang kulakukan adalah salah. Dan kini..., di sinilah aku..., berdiri di tepi pantai dengan hati kosong..., tanpa kehadirannya.
'Kalau Allah mempertemukan kita lagi, aku tidak akan mengatakan hal lain selain 'maukah kamu menikah denganku?', aku janji, Insya Allah.'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]
Духовные[COMPLETED] Rank #1 in Salwa - 18Mei2018 Rank #34 in Spiritual - 01Juni2018 Insya Allah, aku tidak akan pernah melihatmu dari masa lalumu. Insya Allah, aku tidak akan pernah mengungkit keburukan yang pernah ada dalam dirimu. Insya Allah, aku tidak a...