BAGIAN 32

9.2K 715 3
                                    

Dunia sementara akhirat selamanya. Maka jangan sia-siakan kesempatan yang masih Allah berikan untuk kita, terutama untuk berbicara dengan Orang tua.

* * *

TERBUKA

Drrrtttt..., drrrtttt..., drrrtttt...!!!

Risya meraih ponselnya yang bergetar sejak tadi di atas meja. Nomor telepon yang tertera di sana tidak menunjukkan siapa nama penelepon. Meskipun enggan, akhirnya ia pun mengangkat telepon itu.

"Halo Assalamu'alaikum...," sapa Risya.

"Wa'alaikum salam Teh..., kok lama sekali diangkatnya? Aku telepon dari tadi loh...," sahut Rahman.

Risya menepuk jidatnya karena tak buru-buru mengangkat telepon itu. Seketika, ia pun merasa bersalah pada Adiknya.

"Maaf ya Dek..., Teteh nggak tahu kalau kamu yang telepon," ujar Risya, menjelaskan.

Rahman terkekeh.

"Ia nggak apa-apa Teh, mana Ibu? Aku mau ngomong...," pinta Rahman.

Risya pun buru-buru berlari ke dapur untuk menemui Marni, Ardi yang sedang membetulkan pompa air pun terkejut dan menatapnya.

"Bu..., Rahman telepon, dia mau bicara sama Ibu," ujar Risya sambil menyerahkan ponselnya pada Marni.

Marni buru-buru mengelap tangannya yang basah seraya tersenyum cerah. Ia meraih ponsel itu dari tangan Risya.

"Halo Assalamu'alaikum Nak...," sapa Marni, bahagia.

"Wa'alaikum salam Bu..., Ibu lagi apa? Kesehatan Ibu bagaimana? Aku dengar dari Teh Risya dan A' Ardi kalau Ibu sakit sampai tidak bisa datang menjenguk aku...," Rahman terdengar khawatir.

Marni menangkap kekhawatiran itu, airmatanya merebak. Ia pun pergi ke teras agar Ardi dan Risya tak khawatir melihat dirinya menangis.

"Ibu baik-baik saja Nak, Ibu hari ini niatnya mau jenguk kamu sama Risya dan Ardi. Ibu juga sudah memasak untuk kamu," jawab Marni.

"Jangan Bu..., Ibu istirahat saja, jangan terlalu capek. Aku baik-baik saja di sini, Ibu nggak perlu datang setiap hari. Aku yang akhirnya was-was karena Ibu sakit," cegah Rahman.

Marni terisak.

"Ibu cuma mau melakukan hal yang benar dalam hidup Ibu Nak. Ibu mau mengurusmu dan Risya seperti layaknya Orang tua lain di dunia ini, Ibu merasa gagal di masa lalu, dan sekarang Ibu ingin memperbaikinya," jelas Marni.

Rahman menghela nafasnya dalam-dalam.

"Bu..., aku tahu kalau Ibu mau melakukan yang terbaik untukku dan juga Teh Risya, tapi jujur saja Bu..., semuanya sudah terlambat...," ujar Rahman.

Perih rasanya hati Marni ketika mendengar penuturan Rahman. Anak itu benar, semua sudah terlambat. Sangat terlambat.

"Saat ini sudah waktunya bagi kami, anak-anak Ibu yang gantian mengurus Ibu. Ibu sudah seharusnya beristirahat dan tidak lagi memusingkan apapun. Aku nggak mau Ibu sakit-sakitan, karena aku nggak ada di samping Ibu, nggak bisa ngurus Ibu. Teh Risya juga gelisah setiap kali membicarakan kesehatan Ibu. Apakah Ibu nggak sayang sama Teh Risya? Apa Ibu tega membuat Teteh khawatir terus? Begitupula denganku Bu..., aku juga sama..., khawatir sama kesehatan Ibu," lanjut Rahman.

Seketika ada perasaan lega yang menjalar di hati Marni. Ia salah, anak-anaknya tidak pernah merasa tak diurus selama ini. Mereka malah sangat khawatir terhadap kondisinya yang kian hari kian menua.

"Nak..., terima kasih ya, karena kamu sudah mau berbicara lagi dengan Ibu. Ibu kangen sama kamu Nak," ungkap Marni, atas kelegaannya.

Rahman membiarkan wajahnya basah oleh airmata karena rasa bersalahnya yang menggunung.

"Bu..., aku minta maaf karena terus menerus diam dan tidak bicara apapun pada Ibu. Aku menyesal Bu."

"Menyesal? Kamu nggak buat salah apapun Nak, kamu nggak perlu merasa menyesal."

"Aku salah karena terus berdiam diri, bertingkah seakan aku bukanlah anak Ibu karena berada di dalam penjara. Aku nggak menyadari kalau Ibu memang sayang padaku, hingga ketika seorang gadis menyadarkan aku bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh membenci orang lain, terlebih jika itu adalah Orang tua kita sendiri. Aku terpukul oleh apa yang dia katakan Bu...," ungkap Rahman.

Marni mendengarkan semuanya dengan baik.

"Siapa yang menasehatimu begitu Nak? Gadis mana yang kamu maksud?," tanya Marni.

Rahman menatap langit-langit ruang telepon di penjara dengan perasaan damai.

"Dia..., yang mengatakan padaku bahwa identitas narapidana hanyalah masa lalu, dan masa lalu itu adalah acuan untukku agar bertaubat serta memperbaiki diri. Dia..., yang mengatakan padaku bahwa tidak perlu merasa malu dengan masa lalu, tidak perlu menutupi dari orang lain, karena hanya Allah yang berhak menilai setiap umatnya. Dia..., yang masa lalunya jauh lebih buruk dari aku tapi tetap tertawa bahagia dan berbakti pada kedua Orang tuanya. Dia..., yang berhasil menerapkan semua ajaran yang diajarkan oleh Ummi-nya meskipun Ummi-nya bukanlah wanita yang melahirkannya. Dia betul-betul membuat aku berpikir semalaman tentang Ibu, dan membuatku merasa semakin sayang sama Ibu. Dia..., dia Bu...," Rahman benar-benar terisak hebat.

"Siapa dia yang kamu maksud Nak? Katakan pada Ibu?," tanya Marni dengan lembut.

Dalam hati ia merasa penasaran dengan siapa yang dibicarakan Rahman sejak tadi. Dan bagaimana bisa, gadis itu membuat Rahman membuka hatinya untuk bicara lagi dengannya seperti ini?

Rahman menyeka airmatanya dari wajah. Ia kembali berbicara dengan Marni.

"Bu..., janji sama aku, kalau Ibu akan jaga kesahatan Ibu sampai tiba waktunya aku pulang. Aku akan mengurus Ibu sebaik mungkin, aku janji..., Insya Allah," pinta Rahman.

Marni tersenyum.

"Iya Nak, Ibu juga janji akan memenuhi keinginanmu. Tapi tolong, sering-seringlah menelepon seperti ini, biar Ibu bisa dengar suaramu," pinta Marni.

"Iya Bu, Insya Allah aku akan selalu telepon Ibu. Sudah dulu ya Bu, waktuku sudah habis. Besok Insya Allah aku telepon lagi," pamit Rahman.

"Baiklah, kamu juga istirahat dan jangan lupa shalat ya Nak. Oh ya..., kamu belum jawab pertanyaan Ibu, siapa gadis yang kamu maksud?."

Rahman tersenyum.

"Namanya Syifa Bu..., gadis yang diajak oleh Teh Risya dan A' Ardi kemarin," jawab Rahman, akhirnya.

Marni mengingatnya.

"Sudah ya Bu, Assalamu'alaikum... ."

"Wa'alaikum salam... ."

Sambungan telepon pun terputus. Marni menatap ke arah halaman yang dipenuhi bunga-bunga segar dengan wangi yang semerbak. Ia tersenyum.

"Seindah itukah jika kita bisa saling mengingatkan terhadap satu sama lain?," batinnya.

Risya keluar dan menemui Marni di teras.

"Ibu sudah selesai menelepon? Rahman bilang apa?," tanya Risya.

Marni tersenyum.

"Rahman bilang Ibu harus istirahat dan jaga kesehatan sampai dia pulang nanti. Dia mau mengurus Ibu kalau sudah keluar dari penjara," jawab Marni.

Risya tersenyum dan memeluk Marni dengan hangat.

"Insya Allah, Risya juga akan jagain Ibu..., kapan pun itu," janji Risya.

Senyuman Marni semakin melebar.

"Boleh..., Ibu ketemu Syifa?," tanya Marni.

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang