BAGIAN 29

9K 736 10
                                    

Dalam keadaan apapun, sesulit apapun, kita tetap harus menggunakan kesabaran.

* * *

MENERIMA

Flashback On

"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini adalah hal yang tidak bisa diusahakan ataupun diperbaiki," kata-kata Dokter itu membuat Risya tak mampu untuk membuka matanya dan menerima kenyataan.

Ardi terus memeluk Risya kuat-kuat untuk memberikan kekuatan pada isterinya itu.

"Rahim Ibu Risya sudah rusak total sejak awal ketika mendapat penyerangan seksual bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang, tidak ada jalan keluar untuk memperbaikinya."

Lagi-lagi kenangan pahit itu harus ia ingat dan terima secara bersamaan. Airmata yang lalu belum mengering, kini telah datang airmata yang baru bersama sebuah kata bernama luka.

Flashback Off

Ardi dan Risya tiba di rumah setelah selesai membantu Rasya di rumah barunya. Marni menyambut mereka berdua di teras rumah.

"Assalamu'alaikum Bu...," ujar Risya seraya mencium tangan wanita yang melahirkannya itu.

"Wa'alaikum salam..., bagaimana rumahnya Rasya? Sudah beres?," tanya Marni.

"Alhamdulillah Bu, sudah selesai semuanya. Tinggal pernikahan mereka saja yang kami tunggu," jawab Ardi.

Seseorang keluar dari dalam rumah dan langsung membentangkan kedua tangannya ke arah Risya seraya tersenyum.

"Menantu Ibu dari mana? Ibu sudah nungguin kamu dari tadi...," Rahma memeluk Risya dengan erat.

Risya berusaha tersenyum sambil menahan perasaan sakit yang ia derita sejak berada di mobil tadi. Airmatanya begitu sulit untuk dikendalikan.

Ardi masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan shalat Ashar, sementara Marni mulai merebus jamu yang akan dijualnya.

"Kamu kenapa Nak? Dari tadi wajahmu tidak secerah biasanya?," tanya Rahma, khawatir.

Risya memberanikan diri menatap Rahma, airmata itu kini tak mampu lagi terbendung.

"Bu... ."

"Ris... ."

Mereka terdiam beberapa saat, Rahma pun merangkul Risya dengan lembut dan hangat.

"Ibu tahu perasaanmu Nak, Ibu sangat mengerti. Tapi meratapi kenyataan bukanlah jalan keluar yang Allah ridhai. Ibu dan Bapak tidak akan mempermasalahkan jika kamu dan Ardi tidak bisa memiliki anak. Bagi kami, memiliki kalian berdua sudah merupakan kebahagiaan terbesar dalam kehidupan kami," ujar Rahma.

Wanita itu menghapus airmata dari wajah Risya yang terus saja mengalir.

"Ibu bahagia sekali, waktu Ardi akhirnya bicara dengan Ibu tentang seorang wanita yang dia suka. Itu adalah awal kebahagiaan dalam hidup Ibu dan Bapak Nak, awal di mana Ardi bersedia berbicara dengan kami setelah kami mengecewakannya bertahun-tahun yang lalu. Dia membicarakanmu...," ungkap Rahma yang sedang mengingat momen itu.

Risya berbaring dipangkuan Rahma dengan airmata yang belum juga berhenti.

"Kamu adalah alasan utama yang paling penting bagi Bapak dan Ibu. Karena melalui kamu, Allah membuka hati Ardi yang sudah tertutup untuk tidak memaafkan kami menjadi terbuka dan menerima segalanya. Kamu yang setiap malam dia ceritakan pada kami, bagaimana sikapmu, bagaimana kepribadianmu, dan bagaimana baiknya hatimu pada siapapun. Kami mendengarkannya dengan baik Nak."

Ardi berdiri di balik tembok dan berdiam di sana.

"Setelah kematian Nia, adik kesayangannya, Ardi begitu menyalahkan Bapak dan Ibu yang selalu tidak punya waktu. Ardi selalu saja berdiam diri dan menganggap seakan kami ini tidak ada dalam kehidupannya. Tapi semuanya berubah saat malam itu dia mulai ikut makan di meja bersama kami dan menceritakan tentangmu. Ardi bilang, 'Bu..., anak perempuan di rumah yang berpintu hijau itu sering dipukuli sama Bapaknya.' Ibu dan Bapak kaget, tapi tetap mendengarkannya bercerita  tentangmu. Hingga suatu hari Ardi menelepon kami dan meminta datang ke puskesmas. Kamu kritis, kamu diserang secara seksual, dan Ardi menangisi keadaanmu seperti dia menangisi Nia ketika meninggal."

Ardi mengenang hal itu dengan jelas.

"Jadi saat Ardi meminta Ibu dan Bapak untuk membawamu dan juga dia ke pesantren, kami tidak berpikir panjang Nak. Yang terpikir oleh kami hanya satu, bahwa pusat kebahagiaan Ardi harus kami selamatkan. Dan kebahagiaannya adalah kamu."

"Apakah Ibu tidak membenci saya? Saya ini kotor Bu..., saya masuk ke dalam hidup anak Ibu dan bahkan sekarang saya membuatnya menderita karena tidak bisa mempunyai anak. Apa Ibu tidak membenci saya?," tanya Risya.

"Ris..., kamu adalah alasan Ardi bisa tersenyum lepas tanpa beban apapun dari masa lalu. Kamu adalah alasan dia bisa bahagia. Bagaimana Ibu bisa membenci wanita yang membuat hidup anak Ibu bahagia lahir dan batin Nak? Sudah Ibu katakan padamu..., jangan sesali. Kalau kamu dan Ardi nggak bisa punya anak, bukan berarti kalian nggak bisa bahagia. Kamu nggak perlu merasa tertekan, karena Bapak ataupun Ibu tidak akan menuntutmu untuk memberikan Cucu," jawab Rahma.

"Tapi saya merasa malu Bu...," ujar Risya.

"Malu pada siapa? Di dunia ini banyak wanita yang memang tak bisa memiliki anak, kamu nggak perlu merasa malu Ris..., kami tidak akan pernah mengungkit kekuranganmu," tegas Rahma, agar Risya tak lagi berpikir yang macam-macam.

Risya bangkit dan menatap Rahma, mereka saling memeluk dengan erat.

"Sudah ya..., jangan diingat-ingat lagi. Insya Allah, selama kamu dan Ardi bersabar maka Allah akan memberikan yang terbaik," saran Rahma.

Ardi masih terdiam di balik tembok yang membatasi ruang tengah dan ruang tamu. Ia mengusap airmatanya yang entah sejak kapan telah mengalir di wajahnya.

'Sudah kubilang..., aku sudah merasa lengkap karena memilikimu. Dan itu cukup.'

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang