BAGIAN 7

12.8K 928 15
                                    

Airmata bukanlah penyelesaian, karena airmata tercurah untuk menyesali sesuatu bukan merenungi sesuatu.

* * *

BERSAMA BU NYAI

Hujan turun perlahan membasahi tanah-tanah yang kering. Menumbuhkan sesuatu yang baru, pucuk-pucuk hijau dedaunan, bunga-bunga merekah penuh kesegaran.

Aroma petrichor menguar di udara bersama dengan hembusan angin pagi yang dingin. Salwa begitu menikmati semua itu dari samping teras madrasah, tempatnya mengajar.

Sebuah sentuhan lembut di pundaknya membuat ia membuka matanya perlahan untuk melihat siapa yang menyapanya.

Bu Nyai tersenyum dari balik niqob berwarna hijaunya. Salwa pun membalas senyuman itu.

"Apakah Ukhti merasa nyaman selama tinggal di sini?," tanya Bu Nyai.

Salwa mengangguk.

"Iya Bu..., saya merasa nyaman," jawab Salwa, jujur.

"Alhamdulillah..., saya senang mendengarnya," ungkap Bu Nyai.

Bu Nyai pun ikut menatap ke arah tetesan hujan yang jatuh perlahan-lahan.

"Saya dengar dari beberapa santri dan santriwati, kalau Ukhti Salwa sering sekali melamun setelah peristiwa telepon dari Bu Isma beberapa hari yang lalu. Apa itu benar Ukhti?," tanya Bu Nyai lagi.

Salwa menundukkan kepalanya sesaat.

"Benar Bu Nyai..., saya memang sempat terlalu memikirkan hal itu. Saya tahu bahwa saya pernah melakukan kesalahan, tapi apakah saya harus dihukum seumur hidup untuk menebusnya? Jika memang demikian, saya ikhlas Bu..., saya akan terima semua perlakuan itu sampai saya dimaafkan," jawab Salwa.

Bu Nyai memeluk Salwa dengan hangat.

"Anakku..., kita boleh ikhlas menerima sesuatu, tapi bukan dalam bentuk penghinaan. Allah tidak pernah memperbolehkan manusia menghina manusia lainnya, itu perbuatan tercela. Ukhti boleh merasa bersalah, tapi tidak boleh pasrah jika dihina," jelas Bu Nyai.

Salwa membalas pelukan itu, ia menangis diam-diam. Saat ini, ia memang sangat membutuhkan sandaran.

"Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di sebutkan, 'tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa yang menimpanya itu.' Jadi..., jangan pernah menyerah Ukhti, teruslah berjalan di jalan yang sudah Ukhti yakini saat ini. Insya Allah, akan ada kemudahan untuk Ukhti."

"Apa Ibu tidak merasa malu, karena memiliki santriwati seperti saya? Saya ini mantan narapidana Bu..., dosa saya besar dan banyak."

Bu Nyai tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia mengusap lembut punggung Salwa yang masih berada dalam dekapannya.

"Ukhti Salwa yang Shalehah..., di dunia ini tidak ada satu manusia pun yang boleh menimbang dosa manusia lainnya. Hanya Allah yang berhak atas hal itu, dan saya tentunya tidak merasa malu atas apa yang pernah Ukhti Salwa lakukan. Sudah tanggung jawab saya untuk membimbing Ukhti agar tidak melakukan hal itu lagi. Di sini, semua setara..., siapapun itu, tidak ada yang berbeda. Ukhti Salwa, adalah puteri saya juga, seperti santriwati yang lainnya di sini," jawab Bu Nyai.

Salwa menghapus airmatanya. Bel telah berbunyi, waktu istirahat untuk anak-anak pun sudah tiba.

"Ayo, kita sambut anak-anak yang sudah selesai mengerjakan tugas mereka," ajak Bu Nyai.

Salwa mengangguk dan mengikuti langkah Bu Nyai menuju kelas yang diajarnya. Firman keluar dari tempat persembunyiannya di samping lorong kelas sebelah dan melihat langkah Salwa yang menjauh.

'Teruslah berusaha untuk bangkit..., aku bersamamu.'

* * *

Diva berusaha menghubungi Salwa, namun ponsel wanita itu tak pernah dijawab. Ia merasa ada sesuatu yang Salwa sembunyikan, sehingga perasaannya tak pernah tenang selama beberapa hari ini.

Tuut..., tuut..., tuut...!!!

"Halo, Assalamu'alaikum...," sapa Ria, yang akhirnya mengangkat telepon dari Diva.

"Wa'alaikum salam..., Ukhti Ria??? Kenapa ponsel Kak Salwa ada padamu?," tanya Diva, bingung.

Ria menutup matanya dan merasa menyesal karena sudah mengangkat telepon itu.

"Anu Ukhti..., begini..., sebenarnya...," Ria kebingungan.

"Ada apa Ukhti? Tolong katakan dengan jujur...," pinta Diva.

"Beberapa hari yang lalu, Ibu mertua Ukhti menelepon pada Ukhti Salwa, Ukhti Risya dan Ukhti Nilam yang mengangkatnya. Lalu Ibu mertua Ukhti langsung marah-marah dan mencaci maki Ukhti Salwa. Kami semua mendengarnya, bahkan Abah dan Bu Nyai. Hal itu membuat Ukhti Salwa terguncang, dan kami memutuskan untuk menyimpan ponselnya agar Ibu mertua Ukhti tidak lagi mengganggu Ukhti Salwa," jelas Ria dengan jujur.

Diva menghela nafasnya dengan berat, hatinya terasa sakit. Mengapa Ibu mertuanya sendiri yang harus menyakiti hati Kakaknya?

"Baiklah Ukhti, terima kasih atas penjelasannya. Nanti saya telepon lagi, Assalamu'alaikum...," ujar Diva.

"Wa'alaikum salam...," Ria pun menutup telepon itu.

Kiana menatap Diva dengan serius.

"Jadi..., apakah benar yang Ummu Zahra katakan kemarin di telepon mengenai perkara Kak Salwa?," tanya Kiana.

Diva menganggukan kepalanya, Kiana pun merangkulnya dengan lembut.

"Kita harus membicarakannya dengan Ibu, hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Akan terjadi hal yang buruk bagi batin Kak Salwa jika tidak diselesaikan," saran Kiana.

"Kamu benar Kia..., tapi aku belum tahu cara apa yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Ibu. Aku tak mau membuat Beliau tersudut," ujar Diva.

"Div..., kita akan minta bantuan Bu Nyai, Beliau adalah orang yang tepat untuk membantu menyelesaikan masalah ini," ujar Kiana.

"Masalah apa yang kalian bicarakan???," tanya Daniel yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar.

Salman yang juga berada di belakangnya pun terlihat ingin tahu. Diva dan Kiana hanya bisa saling menatap satu sama lain.

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang