5 | Leaving [hunhan]

139 15 0
                                    

Sehun's point of view.

Tak apa bila kita berdiam untuk saling memaafkan,

Maka aku berdiam, tidak mencoba membuat keadaan canggung menjadi sedikit agak cair.

Tidak mencoba membuatnya lebih baik, dengan sebuah pelukan penenang.

Aku mendiamkannya. Berharap dia mendapat ruang untuk dirinya sendiri, agar dapat memulihkan hatinya sendiri.

Aku tak bisa membantu. Cukup banyak percobaanku untuk membantu, yang hasilnya tak jauh-jauh dari semakin buruk dirinya.

Maka aku mendiamkannya.

Mencoba memberinya ruang.

Meski aku membutuhkannya di ruangku.

Dia sesegukan, meskipun tubuhnya membelakangiku. Bahunya yang bergetar menjelaskan semuanya.

Dan hanya orang bodoh yang tak mengerti bahwa Luhan sedang menangis, hingga tersedu-sedu.

Dan aku membiarkannya.

Aku menunggunya menuntaskan kepatah-hatiannya. Meski sakit, karena seperti orang bodoh yang hanya melihatnya sedang menangis dan tanpa bisa melakukan apapun.

Sekitar 2 jam ia menangis.

Aku sungguh tak kuasa melihatnya menangis seorang diri, tanpa bahuku untuk sandarannya, tanpa pelukanku untuk menenangkannya, tanpa diriku sebagai sandarannya yang juga penenangnya.

Hingga tak terdengar suara sesegukannya. Dia telah berhenti menangis, sedang aku hanya berdiam diri, tanpa memberinya apapun. Bahkan untuk sekedar berkata 'semua akan baik-baik saja.'

Dia berdiri, memutar badannya hingga menghadapku.

Wajahnya merah, matanya bengkak, banyak air diwajahnya. Entah air mata atau apapun.

Ia melewati tangisannya di malam itu sendirian.

Dia berjalan pelan kearahku. Jarak kami yang tak begitu jauh membuatku merasa akan baik-baik saja jika tidak berjalan untuk mendekatinya juga.

Hingga Luhan kini telah di depanku.

Dia memelukku erat, membenamkan wajahnya di dadaku. Tangannya melingkar di tubuhku.

Biasanya ia melingkarkan tangannya di leherku. Katanya, itu bentuk bahasa tubuh bahwa seluruh dari diriku adalah miliknya.

Namun aku tak keberatan jika tangannya melingkar di tubuhku.

Aku senang tangannya melingkar di bagian manapun di tubuhku. Asalkan itu tangannya, aku senang.

"Kita sudah sampai disini." Katanya, suaranya terdengar serak. "Dititik dimana kita harus memilih untuk melanjutkan atau menyudahkan."

Aku mulai mengerti kearah mana ia berbicara, maka aku membalas pelukannya.

Terdengar suara isakan lagi.

"Pada awalnya, aku bangga memilikimu. Namun tidak pada akhirnya. Ketika menyadari bahwa kau tak sepenuhnya seperti yang ku inginkan," katanya, "karena yang tersulit dalam hidup, bukanlah memilih, Hun. Tetapi bertahan pada pilihan."

"Lu, Lu, dengar. Dengar. Ak-aku ..." tak sempat melanjutkan kalimatku.

"Kita sudah di titik akhir. Dimana kecocokan tak lagi ditemukan. Dimana rasa cinta bukan hal yang utama. Dimana kebohongan adalah hal yang biasa. Dimana saat namamu terucap, hatiku biasa saja."

Bibirku kelu,

"Kau sudah berhenti mencintai, sedangkan aku mencintaimu seperti tak akan pernah habis." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku, hanya kata-kata itu.

"Banyak gadis yang mencintaimu sepenuh hati, yang tak akan jenuh dengan sikapmu, dan membebaskanmu sepenuhnya." Jawabnya, "percayalah, aku bukan salah satu gadis tersebut."

"Tidak, Han. Kumohon, jangan seperti ini." Aku mengeratkan pelukanku.

Namun ia melepaskannya dengan perlahan.

Dan aku terbangun.

Seketika mataku terbuka, seolah tadi aku berkedip menutup mata untuk dua jam.

Infus, selimut biru, dan beberapa buah dimeja nakas samping kasurku.

Ternyata aku memimpikan malam itu lagi.

OmniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang