"Gorila siapa?" Tanya El penasaran. Matanya menyorot tajam ke arah Liza. Bukti bahwa ia benar-benar penasaran.
Tetapi, Liza mengabaikannya. Matanya tertuju pada pelayan yang berjalan mendekati meja mereka dengan membawa burger pesanannya.
Wajahnya terlihat bahagia. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum yang manis, persis seperti Mamanya, Lala.
Merasa diabaikan, El mendengus kesal.
Mengapa ia bisa mempunyai sepupu semacam Liza?
"Jadi, gorilla itu dia?" Tanya El kepada Liza sesaat ia melihat Zahra di ruang musik.
Liza tersenyum bangga dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya. Merasa bahwa ia sudah berhasil membantu sepupunya.
"Jadi gue harus duet sama dia?" Tanya Zahra dengan semburat kebingungan di wajahnya.
Masih dengan teka-teki yang Liza belum menjawabnya, ia berlalu pergi. Meninggalkan El dan Zahra yang masih mempertanyakan semuanya.
Pintu telah tertutup selepas Liza keluar dari ruang musik yang sebagian besar bendanya berwarna putih itu. El masih dalam posisi duduk didepan piano, dan Zahra masih memandangi keluar jendela, melihat punggung Liza yang perlahan menjauh.
"Jadi," Zahra memulai pembicaraan. "Kemaren gue lagi mood buat nyanyi, lo pergi gitu aja. Sekarang? Lo mohon-mohon lewat Liza yang ternyata sepupu lo, minta biar dicariin temen duet buat acara sekolah," Zahra menghela napas. "Gue gak mau."
Mendengar hal itu, mata El sedikit terbelalak. Ia sudah tidak punya pilihan lain lagi, yang berarti ia harus bisa mempertahankan Zahra. Bagaimanapun caranya. Demi Netta, sahabatnya.
Zahra mulai melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu. Tak lupa ia membawa tas ransel berwarna abu-abunya, menuju taman belakang sekolah.
Karena setiap kali Zahra merasa kalut, kesendirianlah yang menjadi obat penawarnya.
El masih terdiam dengan wajah tertunduk. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Netta seandainya ia tak jadi tampil.
El belum menyadari, bahwa yang harus ia fikirkan bukan hanya perasaan Netta saja.
Zahra menapaki lorong sekolah dengan mata kosong. Ia merasakan sunyi di hatinya. Menjadi anak tunggal bukanlah suatu yang mudah. Ia harus bisa membahagiakan kedua orang tuanya, karena hanya dialah yang menjadi harapan orang tuanya kelak.
Ia merasa tanggung jawabnya begitu berat. Ia harus menuruti kemauan Mamanya, yaitu menjadi model. Tapi disisi lain Papanya juga berharap agar ia menjadi penerus dari pemilik toko baju muslim "Zaskia" yang sudah dirintis oleh kakek dari Papanya.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan keinginan Zahra, yaitu menjadi penyanyi sukses.
Zahra duduk dibawah rindangnya pohon di taman belakang sekolah. Menyaksikan senja yang perlahan mulai menampakkan warna indahnya. Berharap semua perasaan kalut yang bersarang di hatinya sejak kemarin malam ikut tenggelam bersama sang dewi terang.
Tanpa Zahra sadar, El memandanginya dari kejauhan.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu terus saja memenuhi benak El setelah ia melihat betapa berbedanya sikap Zahra tempo hari bila dibandingkan dengan hari ini.
Walaupun El sudah berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi entah kenapa otaknya melakukan hal yang bertolak belakang dengan kehendak empunya.
El penasaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Liebesleid
Teen Fiction[SEQUEL BEDA] [BOOK 2] [judul sebelumnya ; ADRIEL] Adriel Luke Siforus tak pernah mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. ia selalu mencari perantara, sebut saja dengan tuts piano juga goresan kertas. Kebebasan yang didapatkannya dari Papanya, ada...