9. Lebih dekat

34 0 0
                                    

"El," Zahra mengamati El sedang melamun didepan jendela dari samping. "Lo nangis?"

El tersadar dari lamunannya. Spontan ia menghapus air matanya. Tanpa menanggapi pertanyaan Zahra, El berbalik dan berjalan meninggalkan Zahra disana.

"El,"

El tetap tak menjawab.

Zahra mengikuti kemana El pergi dari belakang. Namun langkahnya terhenti saat di ruang tamu ia bertemu dengan lelaki dengan pakaian rapi yang berumur sekitar 45 tahunan.

El berjalan melewati lelaki itu seakan lelaki itu tidak ada disana. Lelaki itu memanggil nama El tapi tak mendapat jawaban.

"Eh ada temennya Adriel ternyata," Ucap lelaki itu.

Zahra berjalan mendekat dan menjabat tangan lelaki itu. "Saya Zahra, Om."

Lelaki itu membalas jabatan tangan Zahra dengan hangat, sedangkan tangan kirinya mengucap puncak kepala Zahra yang tertutup oleh jilbabnya. "Kenalin, saya Om Veka..Papanya Adriel."

Deg.

Keringat dingin langsung keluar dari pelipis Zahra. Darahnya seakan berhenti berdesir, dan jantungnya seolah berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Kamu temen satu kelasnya Adriel?" Tanya Om Veka setelah ia melepas jabatan tangannya.

"Bu-bukan om, gak sekelas kok,"

"Duduk dulu, Zahra. Om mau keatas sebentar."

Zahra mendaratkan tubuhnya dengan kasar ke sofa yang tak bersalah. Tatapan matanya kosong, seolah tak percaya tentang apa yang baru saja terjadi.

Tak lama kemudian Om Veka kembali dengan menggunakan pakaian santai. Zahra bisa melihat kekhawatiran di raut wajah yang sudah mulai berkerut itu.

"Adriel tadi kenapa? Ada masalah?" Tanyanya.

Zahra bingung harus menjelaskan darimana. "Tadi itu..Zahra main piano pake pianonya El, Om."

"Oh iya? Zahra juga bisa main piano?"

"Gak sebagus El sih om, hehehe. Pas Zahra mulai main, dia nengok ke arah Zahra sebentar, abis itu ngeliatin hujan dari jendela,"

Mata Om Veka terlihat menerawang ke atas. Mencoba mengaitkan tentang kelakuan El tadi. Tapi, ia tak kunjung menemukan jawaban.

Zahra melanjutkan ceritanya. "Zahra main pianonya gak bisa sempurna kayak El, mungkin karena itu El marah ya, Om?"

Om Veka terlihat tersenyum sambil menghela napas panjang. "Pasti ada masalah lain, ya?"

Zahra berusaha mengingat-ingat kejadian tadi, tapi ia berfikir bahwa tidak ada yang salah dari Zahra dengan Adriel. "Gak ada kok om, cuman pas Zahra udah selesai main, El kayak bengong gitu om, Zahra deketin, ternyata El nangis,"

Om Veka mengangguk-angguk. "Emangnya kamu mainin lagu apa?"
Zahra nyengir kuda setelah matanya menerawang keatas. "Lupa, om. Lesbeled kalo gak salah,"

"Liebesleid, ya?"

Zahra mengangguk dengan semangat. "Memangnya kenapa, Om?"

Om Veka pun menceritakan semuanya kepada Zahra.

"Duet Kak Adriel dan Kak Zahra nyanyiin lagu apa?" Tanya salah satu paniti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Duet Kak Adriel dan Kak Zahra nyanyiin lagu apa?" Tanya salah satu paniti.

"Dear John, Taylor Swift." Jawab Zahra dengan semangat. Sedangkan El yang duduk di sebelh Zahra memasang muka datar, seakan tak tertarik mengikuti tehnical meeting untuk acara pentas seni besok.

Merek menunggu hasil perundingan dari panitia tentang urutan tampil. El hanya terdiam sambil memandangi layar ponselnya, menonton video tentang anak kecil yang memainkan piano dengan tempo yang sangat cepat.

Sedangkan Zahra, ia memanyunkan bibir karena sedari tadi ia sudah berusaha mengajak El ngobrol tetapi tak ditanggapi.

"Baiklah, akan saya bacakan hasil perundingan panitia tentang pembagian waktu tampil untuk besok. Mohon disimak baik-baik."

Zahra menyimak apa yang disampaikan orang yang memakai kaos panitia itu. Tetapi sampai sekarang, ia belum mendengar namanya dipanggil.

"Untuk Adriel Luke S & Zahra Adelia P.W, pukul 16.55 sampai pukul 17.00. Mohon untuk dipersiapkan dengan baik."

Zahra mencatat jam dimana mereka akan tampil di ponselnya. Setelah itu ia menoleh kearah El yang masih sibuk dengan videonya, menyenggolnya dengan siku kanannya.

El menoleh dan hanya menaikkan satu alisnya.

"Pulang,"

El mencopot headset yang sedari tadi bertengger di kupingnya. "Apa?"

"Pulang, El."

"Udah selesai?"

"Kemana aja lo, hah?"

"Disini."

"Serah lo."

El beranjak dan pergi meninggalkan keramaian itu, tak peduli dengan Zahra yang mengikutinya atau tidak. Hujan di siang tadi membuat pikirannya kacau, ditambah Liebesleid yang dimainkan oleh Zahra tadi.

Disaat Zahra tersadar El sudah tak berada disampingnya, ia keluar dari aula sekolahnya. Hari semakin malam dan ia harus segera pulang. Ia mencari El ke semua tempat, namun ia tak menemukan El.

Akhirnya, dia duduk di pos satpam. Menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Berharap El berada didepannya sekarang.

"El sorry gue gak tau," Ucap Zahra.

Ya, Zahra mengakui bahwa ia salah. Seandainya saja ia tau tentang Liebesleid tadi, ia tak akan memainkan nada itu. Nada yang membuat El mengingat sosok mamanya yang sudah tiada.

Zahra mengetahui semuanya saat Papanya Adriel menceritakan kejadian dari mulai El belajar piano, sampai dengan meninggalnya Rose, Mamanya.

"Lo ngapain?"

Zahra sangat hafal dengan suara itu. Ia melepaskan tangkupan wajahnya, dan melihat seorang yang sekarang berada di hadapannya. "El?"

"Lo mau pulang apa gue tinggal?"

Zahra langsung meloncat. "Pulang lah,"

Seperti biasa, El berjalan dan Zahra mengekor dibelakangnya. Ia masih merasa bersalah karena kejadian tadi siang.

Mereka sudah di dalam mobil. El memegang kemudi dan Zahra masih takut untuk bicara.

"El," Ucap Zahra dengan kepala menunduk. "Maaf,"

 "Maaf,"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LiebesleidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang