El kembali duduk di bibir ranjang. Tatapan matanya menunjukkan bahwa ia menuruti apa keinginan Zahra. "Gue minta tolong Liza."
Menjadi sepupu dari anak pemilik SMA Torres membuat El merasa Liza bisa mengatur semuanya. Dengan cepat ia menghubungi Liza.
Liza bisa mengatur semuanya dengan cepat. Ia kembali menghubungi El 7 menit setelah El menelfonnya, berkata bahwa El dan Zahra bisa tampil pukul 17.30. Tetapi dengan catatan penampilan mereka harus berkesan di dalam benak siswa karena pukul 17.30 adalah penampilan terakhir di pementasan hari ini.
El mengiyakannya, walaupun ia tak tau bisa menampilkan yang terbaik atau tidak.
"17.30. " Ujar El singkat kepada Zahra yang hanya mendapat anggukan dari Zahra sebagai tanda bahwa Zahra mengerti dan mengiyakan.
Zahra kembali menggosok-gosokkan kedua tangannya, berusaha sekuat tenaga agar ia mendapatkan suaranya kembali. Untuk Netta. Untuk El. Untuk semua pengorbanan mereka.
"Turun dari ranjang." Titah El. Matanya menatap Zahra lekat, menandakan keseriusan atas ucapannya.
Sekarang, Zahra berdiri berhadapan dengan El. Wajahnya masih menunduk, agar El tak tau bahwa Zahra sebenarnya merasa bersalah.
"Heh petugas UKS, lo keluar sebentar." Teriak El.
Tiba-tiba saja El mendekap Zahra sangat erat. Membenamkan kepala Zahra ke dada bidangnya, dan meletakkan dagunya keatas kepala Zahra.
"Gue udah kehabisan cara buat ngembaliin suara lo, Ra. Dan ini cara terakhir gue," Nada bicara El melembut, tak seperti biasanya.
Zahra hanya mengangguk lesu. Ia sudah tak berdaya lagi. Ia mencoba sekuat mungkin untuk tidak menjatuhkan air matanya didepan El.
5 menit
10 menit
Zahra terbatuk-batuk. El melepas dekapan mereka. Tangannya menyentuh pundak Zahra, dan kepalanya sedikit menunduk untuk memastikan keadaan Zahra. "Kenapa?"
"Aaaaaa..Bbbbbb..Ccccc..." Zahra tersenyum menatap El. "Suara gue balik, El."
El tersenyum sangat manis saat itu. Senyum yang membuat lesung sebelah kanannya terlihat, menggambarkan ciptaan Tuhan yang sempurna. Setidaknya begitu menurut Zahra.
El langsung menggenggam tangan Zahra erat, mengajaknya keluar dari UKS. Mereka harus melewati lorong kelas-kelas untuk sampai di Aula.
Di sepanjang perjalanan, Tangan El selalu memegangi pundak Zahra seakan El tak mau membuat cewek yang kini berada di sampingnya terluka.
Rinai hujan makin deras di sore ini. Langit semakin gelap, dan cuaca semakin dingin juga.
Jauh didalam lubuk hati El, ia masih mengkhawatirkan cewek pecicilan bersuara emas ini.
Kini, Zahra dan El sudah berada di backstage. El terlihat biasa saja, namun Zahra sedikit gugup. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, kakinya bergetar.
Tiba-tiba salah satu panitia berjalan menuju ke arah mereka. "Kak Zahra sama Kak Adriel, ya? sepuluh menit lagi kakak tampil ya," Panitia itu terlihat menulis sesuatu di lembar kertas yang dibawanya. "Nanti Kakak tampilnya di tengah-tengah siswa-siswi, bukan di panggung. Soalnya ini udah keputusan rapat kak, penampilan terakhir harus bisa berkesan..jadi.., hmmm, nanti salah satu panitia yang mempersiapkan semuanya, kakak hanya tinggal berjalan ke tengah-tengah aja, Kak." Panitia itu tersenyum. "Apa ada yang masih belum jelas, Kak?"
Zahra mengangguk pelan, walaupun ia belum mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan oleh panitia.
"Lo siap, El?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebesleid
Teen Fiction[SEQUEL BEDA] [BOOK 2] [judul sebelumnya ; ADRIEL] Adriel Luke Siforus tak pernah mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. ia selalu mencari perantara, sebut saja dengan tuts piano juga goresan kertas. Kebebasan yang didapatkannya dari Papanya, ada...