3. Netta Phoebe

65 2 0
                                    


"Nett..Netta..Lo harus bertahan.."

Mata Netta terlihat sayu, pelipisnya terus mengucurkan darah segarnya.

El membopong Netta dalam tangan kokohnya. Ia berusaha untuk terus menjaga Netta agar kesadarannya tidak hilang sembari membawa Netta kedalam mobilnya.

El membaringkan Netta di kursi belakang mobilnya, dan El membawanya ke rumah sakit terdekat.

El melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Netta ingin membeli jajanan di seberang studio musik. Netta menyebrang tanpa melihat keadaan disekelilingnya. Dari arah barat, terlihat mobil dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh sahabatnya itu. Dan mobil itu meninggalkan tubuh Netta yang bermandikan darah itu sendirian, di tengah jalan raya yang ramai.

El tak tega melihat tubuh lemas itu. Tak terasa, ia mengeluarkan air matanya disepanjang jalan menuju rumah sakit. Ia hanya tak mau sahabatnya berakhir dengan meninggalkannya, seperti Mamanya dulu.

Perawat di Rumah Sakit itu dengan sigap membawa Netta ke ruang ICU. El hanya bisa berdoa agar Netta baik-baik saja.

Emosi El tak terkendali. Disatu sisi ia sedih melihat sahabatnya, disisi lain ia takut memberitahu orang tua Netta tentang keadaan putrinya.

Pikirannya kalut, dan ia mengucap sumpah serapah pada mobil yang menabrak Netta tadi.

Ia berjalan bolak-balik didepan ruang ICU, dengan tangannya yang mengepal. Pelipisnya mengeluarkan keringat dingin, tubuhnya gemetar.

Ia memutuskan untuk menghubungi Papa Netta.

Sudah satu jam Netta di ruang itu. Sudah satu jam pula El menunggu kabar dari perawat atau dokter yang memeriksa Netta.

El tak peduli dengan kaosnya yang berlumuran darah, sedari tadi ia mengucap doa untuk keselamatan Netta dengan sungguh-sungguh.

"Pasien ini mengalami patah tulang pada kaki kirinya,"

Perkataan dokter itu membuat El semakin menjadi-jadi. Air matanya mengucur deras, tangannya spontan mengacak rambut setengah panjangnya.

"Ya Tuhan, cobaan apalagi ini?"

Netta sudah dipindahkan ke ruang rawat inap kelas I. El masih menunggu Netta mendapatkan kesadarannya kembali. Sementara itu, Papa Netta mengurusi administrasinya.

El memegang tangan kiri Netta. Menghimpitnya dengan kedua tangannya sembari berdoa kepada Tuhannya.

Setelah 1 jam berlalu, akhirnya Netta sadar. Matanya menerawang keatas, lalu spontan tangan kanannya memegangi kepalanya yang pusing.

"Netta," panggil El lirih.

Mata Netta menutup kembali. Netta merasakan pusing yang teramat sangat. Ia mengaduh pelan.

"Ini gue, Adriel." Bisik El.

Matanya terbuka kembali. "Gue kenapa, El? Gue dimana?"

El mengusap ujung mata Netta yang mengeluarkan air mata. "Gak usah takut. Ada gue,"

Netta menatap mata El dengan sangat intens. Bersyukur Tuhan menghadirkan El disisinya, walaupun hanya sebagai sahabat. Tidak lebih.

Netta ingin beranjak dari ranjang itu, membuktikan pada El bahwa ia baik-baik saja. Namun, ia merasa kaki kirinya kesakitan disetiap Netta ingin menggerakkannya.

"Kaki gue kenapa, El?"

El merasa tidak sampai hati untuk memberitahukannya kepada Netta. Tapi bagaimanapun, Netta harus tau kondisi yang sebenarnya.

"Kaki kiri lo patah,"

Mata Netta melebar karena tak percaya. Kristal bening memenuhi pelupuk matanya lagi, mengingat tinggal 3 hari lagi perayaan ulang tahun sekolah. Latian yang setiap hari mereka lakukan akan berakhir sia-sia.

El memegangi tangan Netta kuat. Ia tak akan membuat Netta kecewa.

"Jangan khawatir," Ucap El menenangkan.

"Pentasnya? Gue ngancurin semuanya, El. Gue-"

El paham tentang bagaimana hancurnya perasaan Netta. Namun, apa yang bisa ia lakukan?

"Gue akan batalin-"

"Jangan El, lo gak boleh batalin..lo harus tetep tampil, walaupun tanpa gue. Ini permintaan dari gue, Netta Phoebe."

"Tapi-"

"Demi gue, El."

El menghela napas. Memikirkan tentang pentas yang akan dilaksanakan 3 hari lagi. Mau tidak mau ia harus mencari pengganti Netta.

"Tapi lo gak papa?" Tanya El memastikan walaupun ia yakin tidak ada yang baik-baik saja.

Netta tersenyum sayu. "Gue akan bilang sama Bu Pita kalo-"

"Ssssst," Jari telunjuk El menyentuh bibir pucat Netta. "Gue yang atur semua."

Netta merasa bahagia walau semuanya tidak baik-baik saja. El masih sama seperti El yang dulu. Perhatian, dan selalu mengerti Netta.

El selalu bisa membuat Netta aman, bagaimanapun kondisinya.

"Lo istirahat," El beranjak dari kursi, dan menyelimuti tubuh Netta yang terbalut baju khas rumah sakit, berwarna hijau.

Netta mengangguk kecil sambil tersenyum. Hatinya lega, walau ia tak tau pasti apa penyebabnya.

El segera menuju SMA Torres, meskipun ia tau di hari yang sudah mulai petang ini tak akan ada banyak orang disana. Tetapi hatinya berkata bahwa ia harus kesana.

Ia menuju ruang seni yang pintunya belum terkunci. Mencerling lukisan yang tempo hari ia buat dan belum selesai. Melihatnya, ia menjadi ingat sesuatu.

Zahra.

Zahra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LiebesleidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang