Adriel masih terdiam ketika Zahra tiba-tiba memeluknya. Sesaat, ia merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya ketika mengetahui bahwa Zahra menangis. Ia membiarkan cewek berjilbab itu menangis di bahunya, selama yang ia mau.
Zahra merasakan sedikit kehangatan setelah beberapa saat ia mendekap El. Dan disaat itu pula, suara Zahra kembali.
"Lo ninggalin gue, El." Ujar Zahra, masih dengan sesenggukan.
Zahra bisa merasakan El menghela napas panjang.
"Gue lari ngejar lo tapi gak bisa,"
Tangan El terangkat, ingin membalas pelukan Zahra. Tapi ia mengurungkannya.
"Gue jatoh, kaki gue terkilir,"
Untuk kedua kalinya tangan El terangkat, ingin menyentuh punggung Zahra agar ia tenang. Tetapi, untuk kedua kalinya juga ia mengurungkan niatnya.
"Gue takut gelap, gue kesakitan, dan gue cuman bisa nangis ngeliat punggung lo makin jauh," Zahra memukuli bahu El. "Gue kedinginan, suara gue ngilang...gue..gue gak bisa teriak, El."
Mendengar hal itu, El merasa bersalah. Dengan pasti tangan kanannya mendarat di punggung Zahra, sedang tangan kirinya mengusap lembut kepala Zahra.
"Maaf,"Ucap El singkat.
Selama ini Adriel merasa ia tidak pernah membuat seorang perempuan menangis, bahkan Netta sekalipun. Dan untuk kali ini, ia benar-benar merasa bersalah. Ia merasa hatinya sakit ketika mendengar isak tangis Zahra.
"Gue minta maaf," Pinta El sekali lagi.
"El, gue takut gelap,"
"Lo udah aman,"
"Lo tadi ninggalin gue,"
"Gak akan lagi."
Setelah mendengar kalimat yang menurut Zahra sangat menenangkan, ia melepas pelukannya. Hatinya seakan damai ketika kalimat tersebut diucapkan oleh El.
Zahra mendongak keatas, memandangi wajah El walaupun tiada penerangan. "Bantuin gue jalan, El."
-
"Udah baikan?" Tanya El.
Sekarang mereka sedang berada di rumah El, kediaman Siforus. Zahra meminta agar El membawanya kemanapun yang El mau, asal jangan ke rumahnya. Ia belum siap berharapan dengan kedua orang tuanya sendiri. Bukan..sebenarnya Zahra belum siap dengan tuntutan dari orang tuanya.
Mbok Iyem memijit kaki Zahra. Sesekali Zahra mengaduh karena kesakitan. Tetapi memang Zahra akui, setelah dipijit ia merasa kakinya berangsur-angsur pulih.
Zahra hanya mengangguk menanggapi pertanyaan El.
"Ijin?" Tanya El memastikan. Ia tak mau masalah baru muncul kembali.
Zahra membutuhkan waktu yang lama untuk memahami pertanyaan singkat dari Adriel. "Ha? Mmmmm..Udah,"
"Tidur." Titah El. Ia lalu beranjak dari sofa berwarna coklat itu.
"Oke." Zahra meraih bantal di kursi tamu itu, lalu memposisikan untuk tidur di sofa itu.
Melihatnya, membuat kening El berkerut. "Lo ngapain?"
"Katanya tidur?"
"Di kamar gue,"
"Kita sekamar? Lo gil-"
"Diem."
"Lo pikir gue gak punya harga dir-"
"Gue tidur di kamar lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebesleid
Teen Fiction[SEQUEL BEDA] [BOOK 2] [judul sebelumnya ; ADRIEL] Adriel Luke Siforus tak pernah mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. ia selalu mencari perantara, sebut saja dengan tuts piano juga goresan kertas. Kebebasan yang didapatkannya dari Papanya, ada...