El membuka pintu rumahnya kasar. Ia berjalan menuju kamar Papanya dengan langkah yang terburu-buru. Zahra harus sedikit berlari untuk menyamai langkah El.
Tanpa permisi, El langsung membuka pintu kamar Papanya. Terlihat Papanya sedang memandangi figura berukuran 20R yang didalamnya terdapat foto keluarga dengan wajah yang kesemuanya terlihat bahagia.
"El,"
"Gue gak tau apa yang ada di pikiran Papa,"
"El..."
"Gue gak tau kenapa Joe sampe kabur ke rumah Kakek,"
"Papa bisa jelas—"
"Gue gak tau kenapa Papa ngasih perlakuan kita berbeda,"
"Ini semua buat—"
"Tapi tolong, Joe juga anak Papa." Rahang El mengeras. "Dia juga butuh kasih sayang."
"Papa merasa Papa udah—"
"Gak." Potong El. "Papa selalu menuntut Joe,"
"Ini semua—"
"Ini semua buat kebaikan Joe? Iya?" Emosi El mulai naik.
Melihat suasana yang semakin memanas, Zahra yang semula hanya berdiri di depan pintu kamar itu mulai memberanikan diri untuk masuk, menenangkan El dengan cara memegangi tangannya. "Udah, El,"
Zahra mencoba menarik tangan El untuk keluar dari kamar itu, tetapi ditepis oleh El.
Zahra masih belum menyerah. Ia mengusap pundak El, untuk mengingatkan El bahwa ia harus tetap bersabar. Namun, untuk kedua kalinya El menepisnya. Kali ini matanya menyorot tajam mata Zahra. "Lo!" Tangan kirinya menunjuk ke arah wajah Zahra. "Pergi."
"El, Om Veka Papa lo, lo gak boleh bentak Om Veka,"
"Pergi!!!" Titah El dengan nada sangat tinggi.
Zahra tersentak mendengar perkataan El barusan. Ia menunduk dan langsung meninggalkan El dengan berlari.
Hatinya merasa sakit, karena selama ini ia tidak diperlakukan seperti itu.
El melihat punggung Zahra semakin menjauh, disaat yang sama Papanya berujar.
"Kamu boleh benci Papa, tapi kamu gak boleh nyakitin hati cewek, El." Papanya berjalan mendekati El. "Sekali kamu nyakitin hatinya, bisa jadi dia gak akan percaya lagi sama kamu,"
Entah mengapa perkataan Papanya kali ini membekas di hati El. Seketika ia merasa hatinya kosong, seperti ada sesuatu yang hilang di dalamnya. El menoleh ke wajah Papanya, masih dengan sorot mata tajamnya dan rahangnya yang masih mengeras. "Urusan kita belum selesai."
El berlari meninggalkan Papanya, dengan membawa perasaan bersalahnya untuk Zahra.
Tanpa sadar, Papanya tersenyum melihat putranya.
"Zahra!" Teriak El ketika ia sampai di depan gerbang rumahnya, melihat Zahra berlari menjauh dengan tangan yang menutupi wajahnya.
Zahra tak menghiraukan El. Ia berlari lebih kencang dari yang sebelumnya.
El harus berlari dengan cepat untuk mengejar Zahra yang semakin jauh darinya. Dengan waktu yang singkat, El berhasil memangkas jarak antara dia dengan Zahra.
El berada satu meter di depan Zahra. Ia berdiri menunggu Zahra yang masih menutupi wajahnya mendekat.
Zahra yang berlari dengan tidak melihat jalanan sontak menabrak El. Ia mendongak dan mendapati wajah El didekatnya.
Zahra membuang muka dan melanjutkan untuk berlari, tetapi tangan El ternyata sudah lebih dulu menggenggam tangan Zahra.
Zahra mencoba melepas tangan El dengan sekuat tenaganya, namun ia kalah dengan tenaga El yang lebih besar darinya.
Dengan membuang muka, Zahra bertanya. "Mau apalagi?"
Jalanan kompleks itu sangat sepi, angin berhembus sangat kencang.
"Liat gue."
Zahra menggeleng.
"Liat."
"Enggak mau."
El meraih pundak Zahra dan memegangnya dengan kedua tangannya, sedangkan Zahra masih menunduk.
"Liat gue."
"Gak."
El berjongkok dan wajahnya sedikit mendongak untuk bisa melihat wajah Zahra. Ia bisa melihat air mata Zahra yang membasahi wajahnya.
"Hei," El memegang kedua tangan Zahra. "Jangan nangis,"
Zahra hanya diam tetapi bahunya masih bergetar.
"Gue minta maaf,"
"Lo tadi nyuruh gue pergi, El."
"Gue minta maaf,"
"Lo tadi bentak gue, El."
"Gue—"
"Gue gak pernah di bentak, El. Bahkan Papa pun gak pernah bentak gue,"
"Zahra, gue minta maaf,"
"Gue capek, El."
El berdiri, menangkup wajah Zahra. Mengarahkannya agar sedikit mendongak, agar El bisa mengusap air mata di wajahnya.
"Kenapa?"
Tangan Zahra memukuli dada El. "Lo pikir lari dari rumah lo ampe sini gak capek? Hah? Gak peka amat sih jadi cowok?"
"Lo pms?"
Zahra mengerucutkan bibirnya, wajahnya menoleh ke arah lain. "Gak."
"Gue minta maaf,"
"Lo harus ngelakuin sesuatu biar gue bisa maafin lo."
El menatap langit yang perlahan menjatuhkan rinainya. "Kita pulang."
Zahra masih diam.
"Ujan, Ra."
Zahra masih mengacuhkan El.
"Oke," El membuang napas kasar. "Gue gendong lo sampe rumah."
Zahra nyengir kuda. "Oke. Ini baru satu dari 10 ya, inget."
"Jadi, gue harus ngelakuin 10 hal?"
Zahra mengangguk penuh kemenangan.
-
"Gue heran," Ujar Zahra sembari membuka satu persatu music sheets yang berada di rak buku di ruang musik rumah El. "Partitur yang lo punya temponya lambat semua, ya?"
El masih fokus memaikan Liebesleidnya, untuk kesekian kali. Membiarkan satu per satu kenangan tentang Mamanya datang, mengingat tentang bagaimana ia pertamakali belajar musik, sampai menikmati kesakitan-kesakitan setelah Mamanya pergi.
"Gue juga heran," Zahra berjalan mendekat ke piano. "Setiap lo megang piano, lo mainin Liebesleid terus,"
"Duduk." Titah El yang masih memainkan pianonya sambil sedikit menggeser pantatnya agar bangku piano itu bisa di duduki untuk 2 orang.
Zahra duduk di bangku itu dan terus saja memperhatikan jemari El yang dengan lihainya menekan tuts-tuts piano dengan apik.
Tanpa sadar, tangan Zahra ikut menari-nari di atas pahanya, mengikuti gerakan El.
"Lo tau kenapa gue suka Liebesleid?"
Zahra menggeleng.
"Karena Liebesleid adalah music sheet yang pertama kali gue mainin,"
"Cuma itu?"
El menghentikan permainannya lalu memandang tuts piano itu. "Kata Mama gue, gue harus terbiasa dengan kesedihan,"
"Kenapa? Jadi lo gak percaya bakal ada kebahagiaan di suatu saat nanti?"
El mendongak, matanya menatap langit-langit kamar. "Setelah Mama gue pergi, gue gak percaya lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Liebesleid
Teen Fiction[SEQUEL BEDA] [BOOK 2] [judul sebelumnya ; ADRIEL] Adriel Luke Siforus tak pernah mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. ia selalu mencari perantara, sebut saja dengan tuts piano juga goresan kertas. Kebebasan yang didapatkannya dari Papanya, ada...