C32 Hujan

48 1 27
                                    

"Saka Arjasa, halo? Apakah kau bisa mendengarku?" aku mencoba memberi pertolongan pertama sambil menahan tangis. Lagi, kenapa dia mau mengorbankan dirinya bagiku? Bagi kami?

"Saka.. Sakaa?" benar-benar seperti orang tanpa harapan, aku mengelus pipinya, berharap ada pergerakan yang dibuatnya

"Saka Arjasa.. jangan pergi." maaf Sak, mungkin aku bukan orang yang kau bilang. Aku tidak bisa tidak menangis melihat kau yang sekarang. Aku menaruh tanganku di dadanya, memeriksa bagian yang terluka, kemudian kembali melihat wajahnya, mendekatkan kepalanya dan memeluknya. Benar-benar sudah tidak ada pergerakan. Denyut nadanya semakin lemah seiring berjalannya waktu. Saka Arjasa, kumohon jangan pergi..

Melihat tubuhnya yang tergeletak lemah, membuat teringat ketika aku menyaksikan 'dipengaruhinya pikiran' Saka kecil ketika dia tertangkap oleh organisasi.

Ya, bukan rahasia lagi, aku menyaksikan waktu itu, dan aku tidak melakukan apapun! Malah hanya menatapnya dengan datar. Kemana perasaanku waktu itu?!

Aku tidak sadar apa yang terjadi selanjutnya hingga tim medis dan kepolisian tiba di TKP. Aku diamankan oleh tim medis dan ditenangkan.

Tapi yang paling butuh semua ini adalah, Rai. Dia yang mengikuti perkembangan pemeriksaan lebih lanjut walaupun tidak ikut menemani Saka di dalam ambulans karena harus memberikan klarifikasi di TKP. Akhirnya diputuskan bahwa Saka mengalami kehilangan darah yang cukup hebat. Kemungkinannya sangat kecil untuk selamat.

Dan di tengah hiruk pikuk itu, berdirilah Rai. Di luar rumah sakit yang sedang hujan, menatap langit tanpa berkata apapun atau pada siapapun. Tidak peduli kacamatanya basah, dia tetap diam disana. Aku menghampirinya, dan sepertinya dia menggumamkan sesuatu.

"Tante Vita meninggal disini. Om Farie kemudian menyusul." dia terhenti, seperti ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Tapi kemudian dia melanjutkannya..

"Harusnya sekarang aku saja.." aku tersentak

"Harusnya kutolak saja omongan beracun dari Pak Tua tak tahu diri itu!!"

"Kenapa aku harus lahir di keluarga itu?" hentikan Rai

"..Harusnya aku tidak membunuh Om Farie dan Tante Vita.."

"Kenapa dia? Harusnya aku yang mati.."

"Rai!" aku langsung berlari dan memeluknya dari belakang "Jangan merasa bersalah! Kau akan terlarut dalam penyesalanmu itu!" meski kata itu juga menjadi panah tajam untuk diriku.

"GIMANA NGGAK NGERASA BERSALAH, HAH?!" dia menunduk dan mengepalkan tangannya, "Harusnya aku saja yang mati!"

"KALAU KAU MENYESAL BEGITU, BUAT APA PENGORBANAN SAKA INI? HAH?! JAWAB AKU!" aku menariknya untuk menatapku dan menampar pipinya dengan keras. Dia butuh itu untuk sadar.

"Kalau kamu begitu, pengorbanannya jadi sia-sia, tahu!" dia hanya diam mematapku. Meski wajahnya diguyur air hujan, aku tetap tahu dia menangis. Aku melepas kacamatanya, kemudian menyeka air matanya. Dia yang tidak menduga hal itu, hanya memandangku dalam diam. Aku tersenyum untuk membuatnya tersenyum. Keheningan kecil itu kemudian dipecahnya

"Bodoh, kalau kau menyeka air mataku, setidaknya lakukan juga untuk dirimu sendiri." dia menyeka pipi dan mataku, lalu memelukku. Tindakan yang tidak ku bayangkan. Namun aku lega dia akhirnya mau membuka perasaannya.

Selanjutnya singkat saja. Penghormatan terakhir berlangsung begitu cepat. Rai, aku, dan Lussi memilih untuk tidak banyak mendekati 'tubuh' Saka, karena kami tahu, dari sekian korban kebengisan organisasi kami, hanya inilah kematian yang benar-benar diinginkan oleh organisasi, dan kami tidak bisa menerima kenyataan tersebut.

HUJAN DI MUSIM PANASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang