Andai Waktu Bisa Kembali

616 7 4
                                    

Diam-diam dulu aku membenci laki-laki itu setengah mati.  Pria yang sekarang sudah uzur dengan tubuh dan wajah dipenuhi keriput serta beberapa lembar uban di kepalanya yang nyaris botak.  Laki-laki yang dimasanya berjaya pernah mengataiku "si gadis tua yang tak laku!".

Namanya Bambang, belasan tahun lalu aku mengenalnya sebagai direktur perusahaan media tempatku bekerja. Lima tahun lamanya ia menjadi bosku.

Suatu ketika, setelah beberapa bulan bekerja...ia mulai berani menanyakan statusku. 

"Dith, udah punya pacar belum?"

Aku tersinggung.  Apa urusannya menanyakan itu?!.... Sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan!.

"Maaf pak, sebisa mungkin saya gak pacaran. Gak ada tuntunan itu dalam islam" jawabku ketus

"Halaaaah....sok alim kamu Dit, hari gini mana ada anak muda yang gak pacaran!.  Atau jangan-jangan kamu memang gak laku....hati-hati nanti jadi gadis tua, umurmu sudah 25 tahun!" ujarnya diselipi derai tawa. Sementara bagiku kala itu ucapannya telah mengiris-iris hati dan menyisakan kemarahan setiap kali dialog itu kuingat kembali...

Begitulah dia dulu, sok dandy, sok gaul, bicara ceplas ceplos semaunya, seakan gak perduli perasaan orang lain. 

Sepanjang pengetahuanku dia punya dua istri.  Satu tinggal di Jakarta dan sudah dikaruniai dua orang anak. Dan istrinya yang lain tinggal di kota ini, Lampung. Bersama istri kedua, mereka dikaruniai lima orang anak.

Sebenarnya saat bertugas, beberapa kali aku mendengar sepak terjangnya diluar.  Dia digambarkan sebagai laki-laki pengumbar syahwat, tebar pesona, sok kaya dan arogan. Namun aku memilih menutup telinga rapat-rapat, tak ambil pusing kebenaran berita itu. Toh...setiap manusia kelak  bertanggungjawab atas dirinya masing-masing kan?....

Meski begitu, sebagai bos dia cukup perhatian. Suatu ketika aku pulang larut malam,  Pak Bambang sudah lebih dulu pulang sejak sore.  Sebelum keluar kantor dan menyetop angkot, sebuah taxi sudah menunggu diluar.  Kata supirnya ia datang atas pesanan pak Bambang untuk mengantarkan seorang karyawan kantor bernama Yudith pulang kerumah. Yang dimaksud sopir itu adalah aku.

Selama bekerja sebagai bawahannya, tidak ada sikapnya yang kurang ajar.  Aku berfikir mungkin itu disebabkan perasaan segan karena pakaian yang kukenakan sehari-hari berbeda dengan karyawannya yang lain.  Ya Hijabku yang panjang selalu tertutup rapat...

***
Hari itu setelah belasan tahun tak bertemu, aku membawakannya semangkuk bubur ayam.  Matanya yang sudah lamur berkaca-kaca sambil menyuap sendok demi sendok bubur ke mulutnya. 

Bau apek tercium dari kamar sempit dan tubuh rentanya, entah kemana hilangnya aroma parfum seharga jutaan yang kuingat dulu selalu tergeletak dimeja kerjanya.

Usai makan, kusodorkan tissue padanya agar ia membersihkan sebagian bibirnya.

"Anakmu dua ini dit?" Tanyanya sambil menoleh kepada dua anakku yang asik bermain gadget disebelahnya.

"Iya pak"

"Sudah pada besar ya...sudah pada sekolah kelas berapa?"

"Yang besar kelas 5 SD, yang kecil kelas 3 Pak"

"Kamu tau saya tinggal disini dari siapa...?"

"Dari Om Sapri mantan satpam kantor dulu.  Tak sengaja kami ketemu di Bank, dia memberiku alamat Bapak" jawabku

"Ooohh...Sapri...siapa mengira ya, dulu hanya seorang satpam, namun sekarang..... sedikit banyak hidupku terbantu olehnya" ucapnya penuh kegetiran

"Oya, selama ini kamu kemana saja?"

Batas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang