Sang Pemimpin

103 1 0
                                    

Andai semua orang tahu beratnya beban dan konsekuensi yang harus dipikul seorang pemimpin di yaumil akhir, tentu saja kalian tidak akan memperebutkan jabatan sebagaimana serigala yang berebut sekerat daging.

RAsulullah SAW bersabda “Sesungguhnya kalian akan berebut untuk meraih jabatan (pemimpin), tetapi akan menjadi penyesalan besok di hari kiamat,” (HR. Bukhori).

"Te, tante ada keinginan gak balik kampung dan mencalonkan diri jadi kepala desa?", sebuah pertanyaan menggelitik dari seorang keponakan yang baru menikah dan beberapa tahun lalu lulus kuliah dari sebuah universitas ternama..

Aku menggelengkan kepala dalam benakku yang sudah belasan tahun merantau ke kota, perantauan sudah seperti rumah sendiri dimana masa tua akan kuhabiskan disini....

"Tante berpegang, selagi sebuah wilayah masih memungkinkan ada pria yang cakap memimpin...maka  sebaiknya kepemimpinan diserahkan kepada kaum laki-laki saja"

"Ah...pendapat kuno itu tan, tante kan lulusan fakultas pertanian, suka diajak diskusi dan pandai berdiplomasi, menurut Beno cocoklah kalau bisa memimpin kampung kita...kampung kita butuh penyegaran, sosok baru dalam kepemimpinan, Te"

Aku tersenyum, ucapannya terdengar sejuk bagai sanjungan namun sayang aku sama sekali tak tertarik menjadi pemimpin sebuah wilayah, "kenapa gak kamu aja Ben?, masih muda, pinter, supel, banyak pengalaman organisasi lagi.  Figur yang pas sebenarnya buat calon pemimpin masa depan". Ujarku balas memuji.

Ia tertawa

"Pengen sie Te, tapi apa figur seperti saya bisa dipandang cakap memimpin?", ucapnya setengah ragu

"Bukankah kamu dikenal dekat dengan para tetua adat kampung juga masyarakat desa, ketimbang saya yang sudah lama dilupakan masyarat sana?. Menurut tante itu peluang. Tinggal luruskan niat, arahkan saja visi misimu ke pembangunan desa dengan program yang merakyat, inshaAllah akan banyak yang milih kamu pada pemilihan langsung beberapa bulan lagi"

Kulihat sinar mata itu berubah dipenuhi gairah dan semangat menyala

***

Lama keponakanku yang satu itu tak menelpon. Apa kabarnya?

Telponku berdering. Kulihat sebuah nama muncul dilayar ponselku. Beno.  Senyumku mengembang. Ah seperti telepati saja, baru dipikirkan orangnya langsung menghubungi.

"Assalamualaikum te, Beno mau kasih kabar...Alhamdulillah saya menang di pemilihan kepala kampung kita untuk periode 6 tahun kedepan" suara diseberang terdengar riang

Ya Allah dalam hati hanya bisa mengucap istigfar.

"Itu amanah yang berat Ben...semoga Allah memampukanmu", doa tulus kupanjatkan untuknya.

Kami kemudian berbincang panjang lebar, tentang ambisinya membangun kampung, tentang impiannya melihat infrastruktur mulus sebagai awal modernisasi desa, tentang upaya peningkatan taraf hidup petani dengan extensifikasi lahan sawit, jagung dan singkong sebagai komoditi andalan desa....dan masih banyak lagi program kerjanya dalam peningkatan sumber daya alam desa. Semua terdengar logis dan menjanjikan, penuh optimisme.

Tapi sayang,

Belum ada setengah periode memimpin, kudengar sepak terjang keponakanku yang satu itu melalui kerabat yang masih tinggal di desa, mulai goyah.  Ia berkeinginan mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah meski baru sebatas wilayah Kabupaten.

Pengalaman berorganisasi dan kesupelannya dimasa kuliah benar-benar menjadi modal memuluskan langkahnya menaklukkan birokrasi pemerintahan dan politik praktis disana. Ia mulai penuh ambisi, kehilangan arah.

"Sebenarnya apa motivasimu dulu menjadi seorang pemimpin?" Tanyaku suatu hari ketika ia datang bertandang

"Awalnya saya ingin mengembalikan nama baik keluara kita yang dulu sempat gemilang dimasa kakek buyut, kakeknya tante juga"

Tawaku menggema...

"Hanya itu? yang lainnya ?"

"Ya Beno ingin melihat perubahan pada negeri ini minimal dari lingkup wilayah terkecil dulu, kampung kita...pelan-pelan kalo diizinkan Allah Beno ingin memimpin negeri ini"

Ia terdiam lama menunggu reaksiku.

Sementara Aku menghela nafas berat....

"Masa datuk kita yang bergelar Pesirah, memang sudah berlalu, Ben..meski begitu, jika di era sekarang tidak ada lagi anak keturunannya yang menjabat sebagai pemimpin desa atau lebih dari itu, bukan berarti nama keluarga kita tenggelam.  Menjadi seorang pemimpin itu berat. Bukan sekedar popularitas keluarga yang dicari. Tapi, taruhannya akan menyeret manusia itu sendiri ke neraka atau syurga"

"Dalam Islam sebenarnya seorang Muslim tidak diperkenankan meminta jabatan atau amanah apapun pada orang lain. Namun ketika ia diserahi amanah, pantang baginya menolak perintah itu. Makanya tak heran para salafus shalih di zaman dahulu selalu menghindar dan merasa keberatan menjadi seorang pemimpin. Mereka merasa potensi yang dimiliki sangat jauh dari kriteria seorang pemimpin.

Para sahabat nabi dan orang-orang sholih terdahulu faham betul, bahwa amanah menjadi pemimpin tidaklah mudah karena  mereka akan dimintai pertanggungjawaban tentang semua hal menyangkut kepemimpinan, tentang keadaan seluruh rakyat dan apapun menyangkut skup wilayah kekuasaannya.

Bahkan dikisahkan Khalifah Umar Bin Khattab Ra pernah berkata, "seandainya seekor keledai terperosok di kota baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawaban, seraya ditanya mengapa tidak meratakan jalan untuknya?"

Sementara di kisah lain diriwayatkan Umar bin Abdul Aziz kepada sahabatnya yang saat itu tengah menjabat sebagai Khalifah berkata, bahwa janganlah berbangga dengan banyaknya rakyat yang engkau pimpin, karena mereka bisa saja menjadi musuhmu di akherat dan menuntut pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu"

Sangat ironis jika menengok fenomena sekarang dimana setiap orang saling berlomba ingin menjadi pemimpin, karena pemegang kekuasaan saat ini dipandang sebagai manusia yang dikelilingi kenikmatan dunia. Sehingga tak jarang berbagai cara ditempuh agar bisa menang dalam pencalonan. Mereka tak lagi segan mengucurkan dana miliaran rupiah untuk urusan kampanye. Di depan ribuan atau jutaan rakyat, mereka lantang menabur janji-janji murahan. Sedang ia sendiri lupa, bahwa dirinya tak punya modal akhlak dan ilmu yang bisa dipakai"

"Sebagai orangtua, tante harap kamu tidak termasuk dalam kategori pemimpin yang demikian"

Petuahku hari itu menganak sungai...

***

Karir Beno sebagai kepada daerah makin gemilang, perlahan namun pasti ia mampu membuktikan diri sebagai pemimpin muda yang memiliki segala talenta dan pemikiran brilian.

Namun sayangnya makin tinggi sayapnya mengepak, Beno yang  dulu begitu sederhana berubah menjadi pribadi yang hampir tak kukenal. Bergelimang harta, dan sangat dibatasi oleh aturan dan birokrasi!

Pemikiran-pemikirannya mulai berubah tak lagi mementingkan rakyat kecil, mudah dipengaruhi kepentingan kaum berduit, sehingga manuver-manuver politik mulai kerap menjadi keputusan kesehariannya.

Intensitas obrolan kami pun mulai jauh berkurang dan kehilangan ruh, gairah perubahan dan petuah berbalut kisah islami masa kepemimpinan rasulullah, khulafar rasyidin, khalifah, dan para tabiin lenyap tak berbekas bagai sekedar dongeng pengantar tidur...

Kebijakannya mulai kerap tak memihak kepentingan orang banyak.

Namun anehnya, kiprahnya terus menanjak berbanding terbalik dengan pendapat masyarakat dan sepak terjangnya sebagai kepala daerah...

Entah dimana letak ketidakberesannya....

Lama tak bersua atasnama kesibukan seorang pemimpin daerah, aku pun maklum siapalah diri...? sehingga tak pantas rasanya bila mentasbihkan diri sebagai penasehatnya.

Hanya mampu menyelipkan doa agar Allah senantiasa membimbingnya menjadi pemimpin yang adil dan amanah, karena bagaimanapun juga Beno tak ubahnya seperti anakku juga.

Namun sayang beribu sayang,

Karir politiknya berakhir ketika di televisi ramai memberitakan sosoknya mengenakan rompi orange bertuliskan ; tahanan KPK.

Aku jatuh tersungkur, dengan air mata menggenang di pelupuk mata,

Sebuah hadist terngiang-ngiang jelas ditelinga;

“Seseorang yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk memimpin rakyatnya, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyat, pasti Allah SWT mengharamkan surga bagi mereka” []

Batas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang