Sesal

89 1 0
                                    

Aku membuka mata, seperti baru saja terjaga dari tidur panjang.  Aneh, tubuh ini kenapa begitu kaku?!... padahal rasa-rasanya mataku sudah terlalu lama terpejam,  tangan dan kaki ini...juga kenapa begitu berat untuk digerakkan....?

Pelan-pelan beranjak, berusaha berdiri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Aku Tersentak...

Disana...disana....?? ada tubuh dan wajah yang serupa denganku terbujur kaku menutup matanya di pembaringan.

Oya aku ingat..bukankah sebelumnya tadi dadaku begitu nyeri? Kemana hilangnya rasa ngilu yang berdentum-dentum itu...?

Ya Allah...mungkinkah aku sudah.....Maaa Tiiii....?!
Aku menepuk wajahku, tak ada rasa sakit....seketika ketakutan maha dahsyat menjalari sekujur tubuh....tanganku pun bergetar hebat.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun....Ibuuuu......" ucap seseorang memecah kesunyian....

Suara yang tak asing. Suara anak bungsuku, Dimas.

Isak tangis dan jeritan disebelahnya disusul dengan racauan tak jelas sempat membuat kepalaku kembali berat, itu suara anak-anak perempuanku.  Mira dan Lina.

Kemana yang lain?!, Hafidz dan Naufal...Putra sulung dan anak keduaku?

Ah... mungkin sedang sibuk, mereka kan putra-putra terhebatku, hasil didikanku.... Hafidz sudah menjadi pengusaha terkenal, sedang Naufal berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Swasta sekaligus menjabat sebagai anggota DPR.

Aku duduk terpekur disebelah tubuh yang kini hanya ditutupi selembar kain panjang. Entah menunggu apa.

Satu persatu kerabat, tetangga, teman semasa hidup datang melawat. Semakin keras tangisan mereka melihat jasadku makin kepalaku berat bagai dipukul palu gada. Kakiku pun seolah makin dihunjamkan ke dasar bumi.

Aah...kenapa lama sekali jenazahku dibiarkan di sana...?

.

Tak lama, satu per satu kulihat para pelayat banyak yang pulang.  Sebagian masih menunggu. Menantuku, istrinya Dimas yang sesekali melintas, menjawab telpon, hilir mudik menyiapkan benda-benda seperti gunting, kain putih panjang, kapur barus, sabun dan sebagainya.  Dimas sendiri tak pernah beranjak dari sisiku sambil berdzikir dan tak henti-hentinya menyelipkan namaku didalam doa-doanyanya.  Setiap munajatnya yang terlantun perlahan membuat tubuhku berangsur ringan.

.

"Kau lihat dia, anak yang paling tidak kau anggap semasa hidupmu"

Aku melihat ke sekeliling, mencari asal suara. Tidak ada siapapun.

"Justru dialah yang meringankan ruhmu dengan doa-doanya, dengan air mata yang mampu tertahan, meski kesedihannya atas kehilanganmu jelas terpancar dari matanya" suara itu kembali terdengar.

"Dialah satu-satunya anakmu yang kau anggap gagal dibandingkan ke empat kakak-kakaknya"

"Anak yang kau benci karena tak pernah menghadiahkan materi apapun sebagai balas jasamu melahirkannya ke dunia. Anak yang menurutmu paling tidak membanggakan karena hanya berprofesi sebagai guru TK dan mengajar mengaji di masjid.  Tidak seperti dua abang lelaki tertuanya yang membuatmu bangga setengah mati. Dan dua kakak perempuannya yang menjadi pengacara dan pejabat BUMN. Sementara sibungsu Dimas?! Jangankan menghadiahkan perjalanan keluar negeri, mobil, dan kesenangan dunia lainnya, hanya sekedar menjamumu dengan makanan mewahpun jarang sekali dilakukan...dia hanya bisa memijat kakimu, memapah tubuhmu ke kamar mandi, atau sekedar mendengar celoteh-celoteh harianmu yang sebetulnya menjemukan"

"Tapi tahukah kau?, bahwa selama ini justru doa-doanya yang menjadi perisaimu hingga kau senantiasa sehat, berlimpah rizki, diberi kemudahan hidup hingga akhir hayatmu...Anak yang kau anggap sebelah mata itulah yang doa-doanya tidak pernah absen selalu teruntai untukmu di setiap penutup sholatnya, disetiap sujud malamnya...."

Batas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang