Jimat

54 3 0
                                    

Gemericik aliran sungai menyeruakkan ketenangan dipekatnya malam udara pedesaan.  Semilir angin yang membelai ranting-ranting pepohonan semakin menggelitik perasaan untuk larut bercengkrama di dalamnya.  Aku duduk terpejam meresapi suasana senyap yang tak biasa.  Sebuah kedamaian yang mungkin tak bisa kunikmati esok ataupun lusa.

"Sudah selesai beberesnya, Nduk?" Suara Si Mbok memecah keheningan yang tengah asik kunikmati.

Aku menjawab dengan anggukan.

Derit kursi kayu terdengar sumbang, seiring bokong si mbok yang luruh menduduki bangku di sisi kanan teras tempatku bersantai.

"Besok, rumah akan sepi lagi," desahnya pelan.

Aku membuka mata dan melontarkan senyum kecil padanya.  "Kasian kalau Mas Fath ditinggal lama-lama di Jakarta Mbok, kali ini aku pulang karena rindu.  Lagipula firasatku mengatakan setelah ini mungkin lama aku tak bisa kembali, dokter bilang kandunganku sudah masuk dua bulan"

Mata tuanya sempat berbinar, ada gurat-gurat harapan yang terpancar dari wajahnya yang termakan usia.  "Sebentar, Nduk." Ia beringsut ke dalam dan menghilang di balik pintu depan.

Mataku beralih lagi ketepian jalan, masih ditemani bunyi aliran air yang sayup-sayup terdengar di balik rimbunnya pepohonan. 

Langkah kaki si mbok kembali mendekat ."Ini Nduk, pakailah ini sebagai pelindung dimasa kehamilanmu" Ucapnya sambil menyodorkan bungkusan kecil kain hitam berdiameter sekitar dua senti lengkap dengan peniti yang sudah terjahit rapi.

"Apa ini, Mbok?!"

"Hanya gunting mini, bangle, dan selembar rajah yang akan melindungimu dari kejahatan makhluk pengincar janin dan bayi.  Pakailah kemanapun kamu pergi"

Keningku berkerenyit, kupikir ini tradisi usang dan Si Mbok tidak akan pernah mengingatnya lagi.  Kebiasaan memakai jimat penjaga kehamilan memang sudah  mengakar kuat dan turun menurun di tanah tempat kelahiranku.

"Tapi ini termasuk syirik, Mbok. Dosa besar karena mempercayai kekuatan lain selain Allah sebagai pelindung kehidupan"

"Ah, siapa bilang? Kata ustadz ini bagian dari syareat, semacam ikhtiar, Nduk"

Aku tergelak, "Ustadz mana yang bilang begitu, Mbok?"

Ia tergagap. "Ya,  mungkin kata ustadz-ustadz jaman dulu lah, Nduk, Mbok kan waktu itu juga menuruti perintah nenekmu," celoteh ibuku tanpa jawaban pasti.

Masih dengan derai tawa yang belum mereda,  kuraih jimat pemberian Si Mbok di atas meja. Bukan bermaksud mempercayai mitos, tapi sekedar menghormati jerih payahnya yang sudah menghadirkan jimat kecil itu untukku.  Bukankah menyenangkan orang tua juga berpahala?  Meski tidak terbersit untuk memakainya.

"Jangan dikantongi nduk, tapi digantung di balik pakaian dalammu," ujar Si Mbok sambil beringsut meminta jimat tadi, lalu menyematkannya di balik penutup dadaku. 

Aku terhenyak disergap risih yang menggelitik.

***

Gelap begitu lindap di penghujung malam yang panas, tak sesejuk desa kelahiranku.  Ada desakan alami yang meminta pelepasan di bagian bawah perutku.  Naluri normal seorang ibu hamil yang meminta segera mengosongkan kantung kemihnya, akibat tekanan rahim yang mengembang.  Kusibak tangan kokoh Fath yang masih terlelap melingkari tubuhku.

Kuselipkan kedua kaki ke dalam selop di bawah ranjang dan berjalan pelan menuju kamar mandi.  Masih setengah mengantuk, kutekan saklar lampu dapur untuk menerangi ruangan. 

Sekilas mataku menangkap bayangan hitam berpostur tinggi besar berkelebat naik ke lantai dua. 

Nafasku tercekat, seketika jantungku berdetak tak beraturan dengan lutut yang ikut bergetar.

Batas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang