Rumah Tangga Jarak Jauh

38 1 0
                                    

Aku menghela nafas berat memandangi belasan kontainer besar berisi barang-barang pribadi keluarga kecil kami. Proses packing yang sudah dilakukan sejak beberapa hari yang lalu cukup menyita waktu dan tenaga.  Seharusnya ini sudah menjadi pemandangan biasa, karena proses mengepak barang bukan pertamakali kulakukan apalagi ini bukan kepindahan kami yang pertama.  Sebagai petinggi sebuah bank ternama sudah menjadi resiko pekerjaan, Bisma suamiku harus siap berpindah-pindah tugas ke kota-kota lain di nusantara. 

Manado adalah kota ketujuh yang kami tinggali sejak menikah.  Pasca lebaran ini surat tugas baru diterima dan ia ditunjuk untuk mengisi jabatan kepala cabang di kota Padang.  Entah kenapa lokasi penugasan Bisma kali ini tidak kusambut dengan antusias. Sebagai istri aku lelah, lelah setelah 10 tahun mendampinginya berpindah-pindah tugas keliling Indonesia. Sejak awal pernikahan sampai saat ini memiliki tiga orang anak, suka duka berumahtangga diperantauan kami lalui penuh warna hingga pada akhirnya sampailah aku dititik jenuh, jenuh dengan adaptasi lingkungan baru, bosan dengan rutinitas bolak baik mengurus surat pindah sekolah anak hampir setiap tahun, dan merasa seolah terasing karena jauh dari keluarga dan handaitaulan.

Kejenuhan ini menyisipkan suatu kerinduan ingin kembali kekota kelahiran, Bandar Lampung dan menghabiskan sisa waktu bersama keluarga disana.

“Bi, seandainya saja kali ini umi dan anak-anak kembali ke BandarLampung, dan Abi tetap bertugas ke padang sendirian, bagaimana?” tanyaku mencoba memberanikan diri membuka diskusi dengan Bisma yang tengah mengerjakan sesuatu di notebook pribadinya.

Kulihat airmukanya sedikit berubah. Pandangannya seketika bertuju padaku..

“Kenapa tiba-tiba umi berubah fikiran? bukankah sejak  awal menikah umi sudah tahu resiko pekerjaan abi yang mengharuskan kita sering berpindah-pindah tugas dimana saja sesuai surat tugas perusahaan...”, ucapnya dengan nada bicara yang tertahan seolah tengah menahan gejolak perasaaan.

Aku mencoba menata hati dan bicara, “Mungkin dulu ketika kita belum memiliki anak, semua berjalan baik-baik saja. Tanpa beban.  Namun setelah anak-anak lahir dan mereka tumbuh besar lalu masuk pada tahapan harus menimba ilmu, banyak hal yang umi pikir harus dikaji ulang....demi kebaikan mereka, bi”

“Lihatlah mereka yang tumbuh berpindah-pindah kota, terpaksa harus selalu beradaptasi dengan lingkungan baru, sekolah  dan tempat tinggal yang baru... umi kasian dengan psikis mereka, selain itu umi sendiri jenuh... rasanya ingin seperti rumahtangga lain yang menetap dan menghabiskan masa tua disuatu tempat tanpa harus mengalami kesibukan urusan pindah-pindah domisili, membiasakan diri menahan perasaan sedih ketika berpisah dengan para sahabat dan tetangga  baru yang belum lama dikenal, atau memandang haru ketika rumah dan perabotan ditemppat tinggal yang lama harus ditinggalkan...Aaah rasa yang benar-benar tak nyaman untuk terus saja terulang”, ujarku sendu.

Bisma tersenyum, “ ummi mungkin yang mulai baper”

“Maksudnya?”

“Ya, setiap rumah tangga ada tantangan dan ujiannya masing-masing, Mi. Saat ini kita tengah dihadapkan dengan situasi sekarang. Tinggal berdekatan, namun jauh dari keluarga. Sementara orang lain mungkin menghadapi masalah yang berbeda dalam rumah tangganya. Tugas kita hanya ikhtiar.  Banyak-banyak bersyukur saja dulu.  Jika kita kurang mensyukuri nikmatNya kita akan selalu melihat kehidupan orang lain lebih baik lebih ideal padahal kenyataannya mungkin saja karena mereka hanya pandai menyembunyikan masalah, ujung-ujungnya kita terjebak dalam kufur nikmat”

“Maksud abi, ummi ini gak qonaah dengan keadaan kita sekarang?!”, jawabku dengan nada yang mulai meninggi.

Bisma tersenyum...mencoba bersabar dengan emosiku yang akhir-akhir ini memang gampang berubah.

Batas CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang