Bab VII : Kamar Sakha!

168 31 7
                                    

Suara langkah kaki terdengar riuh menghantam lantai seakan ia berlari dengan cepat, cukup mengganggu tapi tidak sampai membuatku tersadar apa lagi sampai membuka mata, rasa lelah dan kantukku mengalahkan suara yang mengganggu, sampai.. "Kak,, kakakk.. kakk" samar-samar kudengar suara Ray.

"Mmmmhhh" jawabku seadanya karena masih ingin tidur sedikit lebih lama. Sepertinya ia tidak tahan dengan sifat kakaknya yang susah sekali bangun saat sudah tertidur. Tapi, itu bukan salahku, coba salahkan takdir yang sering kali membuatku kehabisan tenaga, sehingga untuk bangun saja saat ini rasanya begitu sulit bagiku. Semakin tidak sabar Ray mengguncang-guncangkan tubuhku.

Ada benarnya juga untuk segera bangun karena saat ini posisi kami sebagai orang yang sedang menumpang. Terkesan tidak tahu diri rasanya jika aku masih asik tidur sedangkan yang lain mungkin sudah bangun. Jadi, aku segera membuka kedua mataku dengan sekuat tenaga, kudapati saat ini diriku yang sedang tertidur di lantai.

Sepertinya aku sangat rusuh ketika sedang tidur, sampai bisa-bisanya aku terjatuh ke lantai seperti saat ini. Aku memutuskan untuk mengisi kesadaranku di atas tempat tidur, namun tak ku dapati tempat tidur diruangan ini. Sehingga dengan sekejap ku lihat sekeliling dan ku pastikan bahwa ini bukanlah kamarku, tak ada Kasur maupun lemari disini, yang ada hanya sebuah selimut tebal yang menjadi alas dan juga sehelai selimut yang agak tipis untuk menyelimuti tubuhku, beserta beberapa koper yang berantakan disudut ruangan.

"Ini dimana?" tanyaku pada Ray dengan kesadaran penuh.

Dengan segera Ray menarikku untuk bangun lalu sesampainya didepan pintu kamar. "Itu kamar kakak" jelas Ray sambil menunjuk kesebuah pintu yang berada tepat disebelah ruangan dimana kami keluar.

"Jadi, ini kamar..." ucapku yang sejenak terhenti

Tanpa menjawab Ray hanya menganggukkan kepala yang seakan membenarkan pikiranku. Ada perasaan senang dan sedih datang melanda tepat di hatiku. Bagai mana bisa, Om dan Tante memberikan tempat yang begitu nyaman untuk kami beristirahat sedangkan anaknya sendiri tidur dilantai? Dan bagaimana bisa Sakha menerima hal itu tanpa rasa iri atau benci pada kami? Aku bersyukur ketika kudapati takdir tidak begitu kejam padaku kali ini dengan dihadirkannya orang-orang yang tulus berada disekelilingku sekarang.

Ku langkahkan kaki menuruni anak tangga, ku lihat tante sedang sibuk membangunkan Sakha yang masih tertidur diatas sofa ruang keluarga.

"Selamat pagi tante" sapaku.

"Selamat pagi sayang. Mau langsung sarapan atau mandi dulu?" tanya tante. "Kalau mau mandi, semua perlengkapan mandi kamu udah tante siapin di kamar mandi" sambungnya.

"Aku mandi dulu deh tante" jawabku yang segera bergegas kekamar mandi.

***

Selesai mandi aku masih sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf pada Sakha atas kejadian semalam.

"Sayang ayok sini sarapan" panggil tante.

Dengan langkah ragu-ragu, aku mendekat kearah meja makan, kudapati satu-satunya bangku yang kosong seakan sengaja disisakan untukku. "Pagi om, pagi Sakha" sapaku.

"Pagi sayang, gimana nyenyak tidurnya?" tanya om

"Nyenyaklah pah" sindir Sakha

"Justru mama khawatir jadinya gak nyenyak karena tidur dilantai" timpal tante membelaku.

Aku hanya diam seribu bahasa, dengan wajah penuh penyesalan.

"Kirain penjajah udah pergi dari Indonesia gak tahunya masih ketinggalan satu disini" keluh Sakha sambil tetap menyantap sarapannya.

Aku sudah memasang wajah merasa bersalah, apa belum cukup untuknya hingga harus menyamakan diriku dengan seorang "penjajah" aku rasa itu cukup kasar. Apalagi aku sangat suka tentang sejarah bangsa dan tahu benar apa makna dari kata-kata yang dia ucapkannya kepadaku.

"Sakha tuh suka 'lebay' kalau anak jaman sekarang bilang. Gak usah ditanggepin. Makannya kamu jangan stress dong sayang. Nih, obat stress" bisik tante sembari memberikanku hot chocolate.

Saat menerima Hot chocholate dari tante sejujurnya aku ingin menangis, menangis sejadi-jadinya karena kudapati serpihan-serpihan mama didalam diri tante. Ya, ini adalah kebiasaan mama jika mendapatiku yang mulai melakukan tidur berjalan, setiap pagi dan malam mama akan memberikan cokelat hangat untuk menenangkanku.

"Terimakasih tante" ucapku menahan air mata.

"Sama-sama" ucap tante sambil mengelus pipiku.

"Sakha tidurnya nyenyak?" usahaku memperbaiki hubungan dengan Sakha.

"Menurut lo?!" timpalnya.

Merasa kesal dangan sikapnya menanggapiku segera saja kubalas "Nyenyak lah, kan tidurnya di sofa, emmm-puk gak kayak kalau tidur dilantai" Seketika kulihat om dan tante menahan tawa melihat pertengkaran antara aku dan Sakha. Tak ada balasan dari Sakha ia tetap sibuk memakan sarapannya dan seakan malas meladeniku.

Selesai sarapan aku dan Ray membantu tante membereskan rumah, hemmm... maskudku bukan hanya aku dan Ray karena ternyata om dan Sakha juga mengosongkan jadwal hari ini untuk membantu tante membereskan rumah.

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang