Bab XXVIII : Perpisahan

150 25 0
                                    


Akhirnya hari ini datang juga, hari dimana seorang kakak harus melepas adiknya untuk menjadi lebih menakjubkan dari apa yang bisa ia bayangkan. Aku, Raya, Khafa, Inaya, bibi dan pak Ujang mengantar keberangkatan om, tante dan Ray. Sebelum berangkat aku menarik Ray ke tempat yang agak sepi, tante dan om sekilas melihat kearahku seakan mengerti bahwa kini si kakak ingin mengungkapkan salam perpisahan dengan lebih intim.

"Hai adikku"

"Ya"

"Bagaimana ini" ucapku dengan mata yang kian sendu.

"Kenapa kak?" tanya adikku dengan ekspresi khawatir.

"Kamu belum pergi tapi kakak sudah rindu" keluhku.

Dengan lembut Ray memelukku "Apa sebaiknya aku bilang ke om sama tante kalau aku gak jadi ikut?"

"Bodoh! Kakak bercanda!"

"Habis gimana aku gak tega ngebayangin kakak kangen setengah mati sama aku" ucapnya percaya diri yang langsung membuatku tersenyum.

"Ray" panggilku,

"Ya?"

"Taukah kamu, kamu mendapatkan seluruh hati dan fikiran kakak secara bersamaan. Jadi, jangan pernah ngerasa kalau kamu sendirian. Paham!"

"Paham!" ucap Ray.

"Dan kalau kamu lagi sedih, kamu harus hubungin kakak. Jangan coba untuk dipendam sendiri. Kasih kode SOS lewat email atau apapun. Nanti kakak langsung kesana" ucapku menghiburnya.

"Bener ya kak" ucap adikku.

"Iya" ucapku yang lalu memeluknya dengan erat, sebelum ia benar-benar pergi.

Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi pada nyatanya tepat setelah mereka menghilang dari pandanganku air mata ini jatuh begitu saja tanpa mendengar komando dari pemiliknya.

Dengan lembut Inaya merangkulku, "Nanti juga Ray langsung hubungin kamu kalau udah sampai" hiburnya. Bersamaan dengan itu Raya pun merangkulku, "Udah sekarang lo fokus sama Pendidikan lo, biar cepet bisa nyusul Ray" tambahnya.

                                                                                                  ***

"Day lo jangan murung gitu dong" ucap Khafa memecah keheningan perjalanan kami dalam mobil.

"Iya, coba sebutun apa yang bisa membuat lo kembali bersemangat?" tanya Raya.

"Gak ada!" seruku kesal.

"Yakin? meskipun cerita tentang Sakha?" tanya Inaya yang langsung membuat menoleh kebelakang dimana ia duduk.

"Maksudnya?"

"Duhh,, jangan aku yang cerita biar Khafa aja deh yang nyeritain" ucap Inaya.

segera kulemparkan pandangan pada Khafa yang sedang mengemudi mobil "Cerita apaan?" tanyaku penasaran.

"Gak tau, cerita apaan sih?" tanya Khafa kembali yang membuatku semakin penasaran.

"Itu lho Khaf, yang waktu kita bertiga mau jengukin Dayana pas dia Koma dirumah sakit" tambah Raya.

"Ohhhh,, itu" ucapnya seakan menandakan bahwa ia mengingat kembali semuanya dengan baik.

"Cerita apa sih Khaf?" tanyaku mulai seperti merengek.

"Gua ceritain, tapi sebelumnya lo harus jawab pertanyaan gua" ucap Khafa.

"Oke, pertanyaan apa?"

"Lo suka sama Sakha?" tanyanya to the point.

"Hah? masa lo nanya begituan sih Khaf?!"

"Yaudah gua gak bakal cerita kalau lo gak jawab pertanyaan gua dengan jujur"

"Iya gua jawab, tapi janji ya jangan kasih tau siapa-siapa?" ucapku meminta persetujuan mereka.

"Emang mau kasih tau kesiapa sih Day?" timpal Inaya, mendengar jawaban Khafa akupun segera mengakui perasaanku.

"Iya, gua suka, sayang dan sekarang kangen sama Sakha" keluhku.

"Kalau jawabannya begini sih gak perlu di kasih tau kesiapa-siapa, toh semua orang juga udah tau" sambar Raya.

"Issshhhh... sok tau, emang lo tau darimana?!" gerutuku, yang hanya dibalas dengan tawa  oleh mereka.

"Lo jawab sepolos itu, emang gak khawatir kalau patah hati Day?" tanya Khafa dengan intonasi nada suara yang dibuat seserius mungkin.

"Enggak! lLagi pula kalaupun lo patah hati gua yakin kalau Raya bisa menyatukan kembali hati lo yang patah" timpalku yang sontak membuat mereka berdua salah tingkah. "UDah! cepetan ceritain apa  yang terjadi saat gua koma" paksaku.

"Iya, iyaaa.... Jadi waktu gua, inaya sama Raya mau jenguk lo di rumah sakit kita bertiga lihat Sakha yang dengan mesranya mencium kening lo" jelas Khafa.

"Apa!!! nyium gua?! Lo serius?!" tanyaku nyaris menjerit tidak percaya dengan apa yang ia katakan.

"Iya serius!! Matanya saat dia mau mencium lo tuh kayak penuh harap kalau putri tidurnya akan terbangun saat dia mencium lo" timpal Raya dengan ekspresi seorang ratu drama.

Mendengar hal itu aku tidak mengerti bagaimana menjabarkan perasaanku sendiri. Sebagian dari diriku merasa tidak percaya tapi sebagiannya lagi memaksaku untuk percaya. Tapi kenapa ia securang itu, berani-beraninya ia menciumku saat aku sedang tidak sadarkan diri.Apa ia sepengecut itu?!

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang