Bab XXI : Datang Sebagai Pencuri

137 26 7
                                    


Sesampainya di rumah sakit ku percepat langkahku untuk bisa mengetahui keadaan Ray, segera ku hubungi kembali ponsel adikku agar warga yang membawa ponsel Ray bisa segera menemuiku di lobi rumah sakit. Entah apa yang direncanakan takdir kali ini, akan kah ia benar-benar akan membinasakanku? Saat aku ingin menanyakan kamar adikku kepada perawat, seseorang memanggilku dari arah belakang.

"Dayana?"

"Sakha?"

"Ngapain?" tanyanya yang terlihat heran.

"Rayy,, Rayy.." ucapku sambil menangis.

Seketika seorang paruh baya datang menghampiriku. "Mba Dayana?" tanyanya memastikan.

"Iya pak" ucapku. "Ini mba" ucapnya sambil memberikan ponsel adikku.

"Adik saya sekarang dimana pak?" tanyaku, yang segera dijawab dengan tindakkan untuk menuntunku ketempat Ray berada. Ternyata adikku masih mendapat penanganan di unit gawat darurat. Betapa kagetnya aku saat melihat Ray berbalut darah dan kini sedang dikelilingi para dokter serta perawat. Seketika rasanya jantungku ingin berhenti, tak mampu kubayangkan jika terjadi sesuatu yang buruk padanya.

"Anda keluarganya?" tanya seorang suster.

"Iya sus saya kakaknya" ucapku.

"Bisa telephone orang tua kamu karena banyak yang harus diurus untuk administrasinya" ucap suster padaku.

"Saya walinya, orang tua saya udah gak ada" jelasku.

"Kamu, sudah punya KTP?" tanya suster itu kembali.

"Belum"

"Bisa tolong minta om atau tante kamu kerumah sakit, untuk jadi walinya. Karena pihak rumah sakit akan melakukan beberapa tindakkan dan untuk itu dibutuhkan persetujuan dari wali" jelas suseter.

"Saya udah bilang saya gak punya siapa-siapa apa itu jadi alasan pihak rumah sakit untuk gak akan ngelakuin tindakan apapun dan biarin sesuatu yang buruk terjadi sama dia!" bentakku kesal. Melihat keadaanku yang mulai panik dan dibalut emosi, Sakha yang dari tadi mengikutiku langsung menarik suster tersebut berusaha mengendalikan keadaan.

Selang beberapa waktu, Sakha menghampiri diriku. "Gua pergi dulu sebentar, untuk ngurus administrasi, lo kabarin gua kalau sampai ada apa-apa" ucapnya sambil membawa selembar kertas dari rumah sakit. Dengan segera aku mengambil kertas tersebut, lalu bergegas ke atm untuk membayar semua administrasinya. Total biaya rumah sakit adikku saat ini cukup mencengangkan. Sekitar 8 juta rupiah, karena nanti akan dilakukan banyak pemeriksaan organ dalam dan lain sebagainya.

Saat kembali ke unit gawat darurat, ku lihat Sakha sedang berbicara dengan salah seorang dokter. "Ada apa?" tanyaku.

"Ray kehabisan banyak darah, dia udah ngabisin 3 kantong darah dan pendarahannya masih belum berhenti" jelasnya padaku.

Tak ada kata yang ku ucapkan saat mendengar penjelasan Sakha, yang aku tahu setengah jiwaku seakan lenyap begitu saja.

"Lo baik-baik aja?"

"Sakha"

"Ya?"

"Kasihan tante sendiri, Sakha bisa pergi sekarang" ucapku padanya.

"Oke, kalau ada apa-apa kabarin gua. Bokap lagi diruang ICU di lantai 3, jadi kalau lo gak bisa hubungin gua, kemungkinan gua ada di lantai 3" ucapnya.

"Iya. Oh iya, jangan kasih tahu tante soal kondisi Ray" ucapku. Ia tak mengatakan apapun, dan lalu pergi.

***

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang