Bab XXIV : Cinta Diantara Benci

150 27 8
                                    


Hari ini aku mendapat dua kabar bahagia sekali gus karena mengetahui bahwa besok pagi Om dan Ray sudah bisa pulang, jadi sore nanti aku dan Sakha akan pulang kerumah untuk membersihkan rumah. Saat keluar dari kamar Ray, aku melihat Khafa dan Inaya berjalan memasukki sebuah lorong yang berada tidak jauh dari ruang rawat inap Om dan Ray.

Ku ikuti mereka dengan hati-hati. Sampai kulihat Inaya dan Khafa memasuki sebuah ruang kamar yang sedikit terbuka. Sekilasku lihat Ayah mereka sudah memakai pakaian rapih, terlihat sudah sangat sehat namun ada perban yang menghiasai kepalanya. Sepertinya hari ini ayah mereka sudah bisa pulang.

"Papa gimana keadannya?" tanya Inaya, yang disambut ketus oleh ayahnya, "Kalian bisa lihatkan? Jauh lebih baik. Mungkin efek karena gak bertemu kalian beberapa hari ini"

"Aku seneng papa udah baikkan, maaf baru bisa jenguk" ucap Khafa.

"Bagus malah karena kalian gak ada dideket saya, jadi saya bisa pulih secepat ini" ucap ayah mereka yang sepertinya ingin bergegas keluar dari ruangan itu.

"Sini pah, Khafa bantu" ucap Khafa yang berusaha mengangkat koper ayahnya.

"Gak perlu" ucapnya yang bergegas keluar dari kamar meninggalkan mereka.

Secepat mungkin aku berlari menjauhi ruangan tersebut agar tidak ketahuan. Sebenarnya, aku merasa iba melihat mereka diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri. Tapi, itu bukan urusanku, dan aku juga tidak berniat mencampurinya.

Mungkin ada baiknya aku meluangkan waktu untuk memikirkan diriku sendiri. Jadi aku putuskan untuk membeli beberapa roti dan ice chocolat di caffe yang berada tak jauh dari rumah sakit. Saat duduk dan menyantap pesananku sambil mendengarkan headset, kulihat ternyata ayah Khafa sedang duduk didepanku, berjarak kira-kira dua meja dari mejaku saat ini. Aku mulai khawatir kalau Khafa dan Inaya juga berada disini, jadi dengan segera kucoba melihat sekeliling dan untungnya tak ku temukan keberadaan mereka.

Kali ini aku sedang ingin menikmati hari yang tenang, tanpa harus repot-repot melarikan diri dari tempat yang membuatku merasa nyaman saat ini. Tapi entah apa yang sedang dipikirkan oleh kakiku hingga tiba-tiba dengan sendirinya ia melangkah, tanpa mendapat  perintah dariku! Dan parahnya langkah kaki ini berhenti tepat dihadapan ayah Khafa. Membuat kami saling memandang beberapa saat sampai....

"Ada apa?"

"Ha?,, ah ee..ee gak ada apa-apa pak, maaf mengganggu" ucapku yang juga bingung.

Saat aku ingin berbalik dan meninggalkannya sendiri, langkahku mendadak berhenti dan justru kembali berbalik menghadapnya, kini ku tatap kedua matanya dengan dalam yang lalu membuatku mengingat kembali bagaimana Khafa yang kecelakaan karena begitu khawatir pada kondisi ayahnya yang berada dirumah sakit, bagaimana Inaya hanya bisa menangis dengan penuh rasa takut saat mengunggu kabar dari dokter tentang keadaan ayahnya dan bagaimana mereka berdua berupaya sangat keras untuk bisa menolong ayahnya.

"Maaf apa anda ayahnya Khafa dan Inaya?" tanyaku ragu dengan tindakkan yang ku lakukan sendiri.

Dia memandangku cukup lama, "Bukan, saya tidak kenal" jawabnya dengan santai sambil menyeruput secangkir kopi yang dari tadi ada di hadapannya, mendengar jawaban itu tentu saja mengagetkanku atau lebih tepatnya membuatku sangat kesal.

"Benarkah? Ini aneh" jawabku menahan amarah.

"Kenapa?"

"Kalau anda bukan ayahnya, kenapa saat mengetahui anda masuk rumah sakit Khafa sangat terburu-buru menuju ketempat anda dirawat? Ia bahkan mengalami kecelakaan motor yang cukup parah sampai terseret beberapa meter dari kendaraannya. Tapi, ia bangkit seolah tidak terjadi apa-apa hanya untuk bisa secepatnya sampai ketempat anda" jelasku, "Kalau anda bukan ayahnya, kenapa inaya menangis histeris karena rasa takut yang terlampau besar jika harus kehilangan anda?"

Tatapan matanya mulai berubah, ada guratan kekhawatiran terpancar dari kedua matanya, namun seketika lenyap, entah apa yang membuatnya secepat itu hilang.

"Dan jika anda bukan ayahnya, kenapa mereka mau mendonorkan darah ke orang yang tidak mereka kenal, seperti ketika anda mengalami pendarahan hebat sedangkan PMI kehabisan stok golongan darah yang anda butuhkan?" tanyaku yang kali ini dengan nada suara yang pasti.

"Donor darah?" tanyanya memastikan.

"Iya, mendonorkan darah" jawabku menegaskan. "Mungkin ada baiknya jika anda mengikuti anjuran Khafa untuk melakukan test DNA, tidakkah itu lebih baik? Sehingga anda punya alasan yang tepat untuk membenci mereka dan mereka memiliki alasan yang tepat untuk menerima perlakuan anda. Tapi apapun hasilnya, paling tidak saya bisa memastikan satu hal......" ucapku terpotong

"Apa?"

"Ayahnya atau bukan, bagi mereka tidak ada ayah yang lebih baik dari anda" ucapku, sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan ayahnya sendirian dengan tatapan mata penuh kegelisahan dan guratan penyesalan yang tersirat.

Akhirnya aku menyadari bahwa aku terjebak di dua perasaan yang bertolak belakang antara Cinta dan benci kepada mereka, jangan coba untuk dipertanyakan karena aku enggan mencari jawabannya.

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang