Bab XXXI : Kali Kedua

346 30 37
                                    

Ketika tadi menaiki pesawat aku sempat berharap entah bagaimana caranya Sakha tiba-tiba duduk di sebelahku. Memberikanku sedikit kejutan yang tidak terfikir, seperti saat ia menabung dan memberikan uangnya kepada mamaku untuk sekedar memberikan sebuah hadiah. Mungkin rasanya akan sangat menyenangkan jika diperjalanana yang panjang ini kami bisa menyelesaikan segala kesalah fahaman yang ada diantara kami. Tapi ia tak juga datang dan duduk disebelahku, mungkin kali ini aku berharap terlalu tinggi.

Saat ini aku sedang transit Di Singapore. Aku sudah bertemu dengan kenalan om dan tante, dia wanita yang sangat lembut dan ramah, sekilas kulihat ia sangat mirip dengan Inaya. Ku perkirakan umurnya sekitar 26 tahun. Aku tidak banyak bicara padanya karena dari tadi kulihat ia sangat sibuk dengan beberapa kertas, buku dan laptopnya. Mungkin ia sedang mengerjakan tugas kuliahnya, karena setauku ia sedang melanjutkan S2 nya di Paris.

Aku tidak tahu kami mengarah kemana, yang aku tahu aku hanya tinggal mengikutinya saja dari belakang. Kalau aku kehilangan jejaknya habislah aku. Selain Bahasa inggrisku minus, kemampuanku membaca arah juga sama kurangnya. Jadi tak ku lepaskan pandanganku darinya walau sedetikpun.

Sekarang sudah jam 17.30 Sesampainya di dalam pesawat aku tidak duduk bersebelahan dengannya dan lagi-lagi aku duduk sendiri, tapi tempat duduk kami tidak begitu jauh, dari sini aku tetap bisa memantau keberadaannya. Ku lemparkan pandanganku kearah jendela pesawat yang tepat disebelahku sambil sesekali berfikir apakah Sakha tahu kalau aku akan kesana? Hmm, lagi pula Sakha di Italy dan aku menuju Paris, dia tahu atau tidak apa bedanya? Toh kita tidak akan bertemu. Tapi aku merindukannya, apakah ia merasakan perasaan yang sama denganku? Jika Iya, aku cukup salut padanya yang mampu bertahan dari serangan rindu. AAaarrggghhkkk tidakkah ia sangat menyebalkan?!

Dengan segera kuambil penutup mata yang tersedia untuk lalu berpura-pura tidur, karena takut jika nanti ada yang akan mengajakku bicara, bayangkan apa yang harus aku jawab jika ada yang menanyaiku? Sangat konyol jika aku harus membalasnya dengan bahasa tubuh.

Tiba-tiba kurasakan ada seseorang duduk disebelahku, aku sempat merasa kecewa karena diperjalanan panjang ini pasti aku akan diliputi rasa tidak nyaman karena bersebelahan dengan orang asing, namun beberapa saat kemudian ketika pesawat sedang take off tiba-tiba ia menggenggam tanganku. Sejujurnya ingin ku hiraukan saja karena aku kira mungkin ia takut dan sedang menggenggam tanganku untuk mengurangi rasa takutannya, namun pesawat sudah terbang dengan sewajarnya namun ia tak juga melepas genggaman tangannya dariku, dan tentu hal ini sangat menggangguku. Jadi, dengan segera kubuka penutup mataku untuk melihat siapa dan apa alasan orang ini berani beraninya menggenggam tanganku tanpa izin!

"Hai Dayana Senja" ucapnya

Melihatnya aku hampir saja menangis. Tak ada jawaban dariku.

"Udah mau tidur? Baru juga jam segini" Ucapnya sambil melihat kearah jam tangannya. Tak ada jawaban dariku, namun mataku tetap menatap dingin padanya.

"Kenapa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir karena aku melihatnya dengan tajam.

"Kenapa?" tanyaku kembali sambil menghelah nafas.

"Gua habis ambil beberapa berkas dan sample di Singapore, gak nyangka ya kita ketemu di sini" jawabnya mencoba mencairkan suasana.

"Iya, gak nyangka ya" ucapku sambil memperlihatkan tangannya yang sedang menggenggam tanganku, seolah mematahkan kata-katanya barusan atas ketidak sengajaan pertemuan kami.

"Oke, iya gua sengaja buat ngatur keberangkatan lo sama dengan jadwal kepulangan gua, biar kita satu pesawat dan bisa menyelesaikan kesalah pahaman kita" jelasnya. Aku suka ketika ia menjelaskan semua tanpa aku memintanya atau lebih tepatnya aku suka mendengarnya membicarakan banyak hal. Karena selama ini ia terlalu banyak memendam perasaannya sendiri dan itu mengesalkan.

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang