Bab V : Terusir

181 30 12
                                    

Waktu berlalu dengan lambannya namun tak mengobati mereka yang dilanda duka, aku mulai heran dengan kinerja waktu, segera ia berlalu padahal masih ingin ku nikmati sedikit lebih lama, dan terkadang ia bergerak sangat lamban sedangkan kuingin semuanya segera berlalu.

Seminggu sudah terlewati semenjak kepergian mama, tak ada lagi kerabat maupun tetangga yang datang untuk menunjukkan bela sungkawanya. Seakan semua sudah kembali membaik padahal disini ada sepasang anak manusia yang harus saling menguatkan hanya untuk sekedar bertahan.

Sedangkan kali ini langit begitu senada dengan hati yang meronta. Dikumandangkannya petir sebagai tanda amarah langit pada seisi bumi, hingga memecah gemuruhnya terdengar oleh penghuni semesta. Dijadikannya badai sebagai pasukkan tak terlihat yang menyerang kesegala arah yang dengan sengaja diseretnya dedaunan tanpa tertuju, hanya untuk menunjukkan kepada siapa ia mengabdi. Sedangkan rintik gerimis datang sebagai pelengkap duka yang apik untuk dinikmati tanpa ada yang sudi melawan.

"Kak, kakak..." panggil adikku dari balik pintu menunggu jawabanku.

"Masuk aja Ray" sahutku dari dalam kamar.

setelah masuk kedalam kamar, ia lagsung melompat keatas tempat tidurku "Kak, kita pergi yuk?" ajak Ray.

"Pergi kemana?" tanyaku.

"Kan tiga hari lagi aku masuk SMA" Ingatnya.

Sontak saja aku merasa kaget dan sedih dalam waktu bersamaan. Bagaimana bisa aku menjadi seorang kakak yang lemah seperti ini. Aku terlalu sibuk menikmati lukaku sendiri, sampai lupa bahwa aku memiliki seorang adik yang harus ku obati lebih dulu lukanya.

Sekilas kusadari Ray jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan diriku. Saat mama sedang dalam kondisi yang parah, Ray menghadapi ujian nasional dan ia mampu melewatinya sendiri dengan hasil yang memuaskan. Aku merasa sedikit kecewa pada diriku karena tidak bisa memberi support yang berarti untuk Ray, karena saat itu aku sedang sibuk merawat mama.

Setelah selesai ujian Ray mengurus sendiri segala pendaftarannya tanpa didampingi oleh siapapun. Aku merasa cukup kaget saat dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah disekolah yang sama denganku.

"Oke, kakak siap-siap dulu" jawabku yang dengan segera beranjak dari tempat tidur dan naik ke ruang atas lewat jarring-jaring tambang yang ku jadikan sebagai tangga optional. "Kak, kalau mau olah raga tuh jogging keliling komplek, bukan gelantungan dijaring-jaring kayak gitu" celoteh Ray.

"Issh,, iyaaa" sahutku menyerah.

Setelah selesai mengganti pakaian aku segera keruang bawah, kulihat adikku masih duduk di samping tempat tidur untuk menungguku. "Ayok" ajakku pada Ray untuk bergegas keluar kamar yang tentu dengan segera diikuti olehnya.

"Bi, pak Ujang mana?" tanyaku pada bibi yang sedang menyapu ruang tamu.

"Ada non dibelakang, sebentar bibi panggilin" ucap bibi yang langsung bergegas mencari pak Ujang.

Setelah ku lihat pak Ujang berjalan menuju kearah kami "Pak tolong anterin aku sama Ray ke toko perlengkapan sekolah ya" pintaku. "Baik non" jawab pak Ujang yang segera memanaskan mesin mobil.

"Ayok" jawab Ray dengan penuh semangat, sambil merangkul lenganku. Sebenarnya tidak heran jika Ray bersikap seperti itu padaku, toh ia memang selalu seperti itu pada mama, tapi saat ini mama sudah tidak ada, yang ada hanya aku untuk melampiaskan kebiasaannya itu.

Sesampainya dimobil, pak Ujang langsung menjalankan mobil menuju ke tempat tujuan kami. Ketika dalam perjalanan aku baru mengingat kalau aku lupa membawa kartu atm, sedangkan di dompetku hanya ada uang Rp. 450.000,- sebenarnya aku ingin kembali kerumah untuk mengambil kartu atm, hanya saja aku sadar bahwa mulai sekarang aku juga harus berhemat untuk mengurus keuangan keluarga saat ini.

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang