Bab VIII : Hari Yang Merepotkan

185 34 19
                                    

Terdengar suara langkah kaki kesana kemari seakan mencari sesuatu yang mungkin tidak juga ditemukan oleh pemiliknya. "Ray, kamu ngapain sih grusah-grusuh kayak gitu?" tanyaku heran saat melihat Ray berlarian didalam rumah.

"Lagi siap-siap kak, hari ini aku kan harus ke sekolah kak, ada penyuluhan untuk siswa baru" ucap adikku mengingatkan.

"Owwhhh" balasku, namun sekarang mataku justru beralih kearah seorang pria yang sudah berpakaian rapih sambil mengikuti langkah kaki Ray, "Sakha mau kemana?" tanyaku heran melihatnya membawa-bawa kunci mobil.

"Nganterin Ray" singkatnya.

"Gak usah! gak usah. Ray tahu jalan kesekolah dan bisa pergi sendiri kok" balasku karena tidak mau merepotkan keluarga Sakha lebih dari ini.

"Disuruh nyokap! Lo berani ngelawan?" tanyanya tanpa ekspresi. "Kalau berani, lawan aja sendiri, gua gak tertarik dikutuk jadi batu!" tambahnya sehingga membuatku semakin tak berkutik.

"Ayok Ray, nanti kamu kesiangan" ucap Sakha yang langsung meninggalkanku begitu saja tanpa berpamitan.

"Aku berangkat ya kak" ucap Ray yang sembari mencium keningku.

Selang beberapa saat om dan tante keluar dari kamar, "Om, sama tante mau kemana?" tanyaku heran karena melihat om dan tante sudah rapih.

"Iya Om sama tante ada urusan dulu sebentar, Dayana gak apa-apa kan sendirian dirumah" ucap tante.

"Gak apa-apa kok tante"

"Kalau ada apa-apa hubungin tante ya" ucap tante sembari memeluk dan mencium keningku, begitupun dengan om.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ketika semua pergi, aku teringat pada bibi dan berfikir untuk mengembalikan uang yang waktu itu bibi berikan padaku sekaligus memberitahukan pada bibi bahwa aku baik-baik saja. Segera setelah selesai bersiap-siap dengan pakaian lengkap ala narapidana yang mencoba kabur dari penjara dan berhasil mengelabui polisi aku bergegas menuju kerumahku, sepanjang perjalanan aku berharap tidak bertemu dengan papi, kukenakan topi, syal dan kaca mata hitam agar tidak ada yang mengenaliku. Sembari perlahan-lahan aku memastikan keadaan sekitar, kulihat rumah tertutup rapat seakan tak ada penghuninya. Jangan-jangan setelah mengusir aku dan Ray keluar dari rumah, bibi dan pak Ujang juga di usir oleh papi. Seketika fikiranku kalut memikirkan keadaan bibi. Bukan hanya itu, aku takut jika bibi dan pak Ujang diperlakukan kasar oleh papi, mau bagai manapun bibi dan pak Ujang bukanlah orang lain bagi aku dan Ray, tidak terbayang jika harus berpisah dengan mereka tanpa salam yang terakhir.

"Non" terdengar suara seorang pria dari arah belakangku, seketika aku berbalik. Kudapati pak ujang dan bibi saat ini dihadapanku.

"Bibi, Pak ujang!" ucapku seraya memeluk mereka.

"Non, kemana aja? bibi sama pak Ujang nyariin non kemana-mana" ucap bibi dengan tangis yang tak lagi terbendung.

"Bi,, aku sama Ray baik-baik aja, bibi jangan nangis" jawabku sembari menghapus air mata diwajahnya.

"Sekarang non sama den Ray tinggal dimana?"

"Ke taman aja yuk bi, kita ngobrol disana nanti papi lihat lagi" usulku. Akhirnya aku dan bibi memutuskan ke taman sedangkan pak Ujang tetap dirumah karena khawatir nanti papi curiga saat mendapati rumah dalam keadaan kosong saat ia pergi.

Sesampainya di taman aku mulai menceritakan semuanya pada bibi, dimana aku dan Ray tinggal dan bagai mana kehidupan kami selama dua hari ini. Kulihat guratan kekhawatiran diwajahnya mulai berkurang seiring mengetahui bahwa keadaan kami baik-baik saja.

"Syukurlah, kalau non sama den Ray baik-baik saja. Kalau begitu bibi mau bilang kalau bibi sama pak Ujang mau pulang kekampung aja" pamitnya padaku. 

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang