Bab III: Mulai saat ini aku ingin berada didalam mimpi saja

274 39 17
                                    

Dimana ini?? Aku tak tahu saat ini aku sedang berada dimana, tapi yang aku ketahui disini sangat indah. Hamparan bunga dengan bermacam-maca warna ada disini, bukan hanya itu ada banyak sekali kupu-kupu berterbangan dengan sayap yang seindah pelangi. Tapi hanya ada satu sudut yang menarik perhatianku, disana ada sebuah bangunan kecil berwarna putih diantara beraneka ragam bunga yang berwarna senada.

Ku lewati jalan setapak itu, ku nikmati pula udara yang membasuh lembut wajahku dengan aroma wewangian yang dirampas dari seluruh mereka yang hidup di taman ini. Sesampainya aku di sebuah bangunan kecil seperti gazebo berwarna putih itu, aku melihat bayangan seorang wanita rambutnya terurai indah menutupi setengah punggungnya, ada kelopak-kelopk mawar putih yang sangat kecil tertata rapih menyebar diseluruh rambutnya, sangat serasi dengan warna pakaian yang ia kenakan. Ku beranikan diri untuk mendekatinya yang terlihat sedang asik menikmati pemandangan, sambil bermain dengan kupu kupu yang berterbangan disekelilingnya.

"Sudah datang rupanya" ucapnya memecah desir angin yang berhembus lalu berbalik kearahku. Seketika jantung ini ingin berhenti, kupandang matanya lekat-lekat guna meyakinkanku bahwa aku tidak salah melihat, "Sayang" panggilnya padaku.

"Ma,,,ma" jawabku dengan ekspresi tidak percaya.

"Ini baru sebentar, tapi mama sangat rindu. Bagaimana ini?" ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya menunggu aku mendekat kedalam dekapannya. Tanpa ragu kulangkahkan kaki secepat mungkin untuk mendapatkan pelukkan hangatnya. Bagaimana mungkin ku sia-siakan hal ini?

Ku peluk dengan erat tubuh mama, kuhirup aroma tubuhnya seakan tak ingin terlewat, tanpa ku sadari air mataku mengalir deras. "Jangan menangis, sangat memalukan jika Ray sampai melihatnya" ucap mama mencoba menenangkanku.

Dengan perlahan mama membasuh wajahku, dihapusnya air mata yang membasahi wajahku. "Dulu kamu pernah cerita sama mama kalau kamu akan tumbuh menjadi wanita yang tangguh, saat ini kamu harus menunjukkannya kepada mama" pinta mama padaku.

"Aku tidak perlu dan tidak mau menjadi tangguh! Bukan masalah jika aku harus tumbuh lemah dan cengeng. Selama ada mama disisih aku, aku rasa itu udah cukup." Bantahku, "Aku mau disini aja sama mama, selamanya, dipelukkan mama seperti sekarang" tambahku dengan airmata yang terus berurai karena tidak sedikitpun aku mencoba membuat pertahan.

"Lalu Ray?" tanya mama. Tak ada jawaban dariku, seakan mama mencoba menyadarkan dan memperlihatkan bagaimana egoisnya diriku saat ini.

"Dengarkan mama" ucapnya meminta perhatian penuh dariku, "mulai saat ini akan ada banyak hal yang terjadi. Tidak semuanya buruk, tapi kamu membutuhkan tenaga ekstra untuk bertahan. Saat kamu ingin menyerah berusahalah untuk bertahan, bertahanlah sebagai seorang kakak dan bertahanlah sebagai anak perempuan yang bisa mama andalkan!" tegas mama.

"Tapi kali ini aku ingin menyerah" lirihku.

"Bertahanlah" tegasnya dengan tatapan mata memohon, "Tidak perlu terburu-buru atau memaksakan diri untuk melewatinya dengan segera, tidak juga perlu untuk membohongi diri sendiri. Saat kamu ingin menangis. Maka, menangislah. Cari sebuah sudut sepi dan menangislah sejadi-jadinya disana, dan saat kamu sedang tidak mampu menemukan alasan untuk tertawa maka tidak perlu memaksakan diri untuk tertawa" jelas mama.

Ku lihat tatapan mata mama, tersirat sangat jelas bagaimana ia sendiri merasa sangat khawatir akan keadaan anak-anaknya. Aku tahu mama sangat menyayangi kami, tapi bukankah aku hanya akan berdusta jika saat ini mengatakan bahwa aku baik-baik saja?

"Adik kamu....." ucap mama yang sesaat terhenti.

"Ada apa ma?" tanyaku.

"Dia akan sangat membutuhkan kakaknya, maukah mengambil alih tugas mama yang belum terselesaikan?"

Sesaat kebingungan melanda hingga akhirnya,,, ya seketika aku mengingat dengan sangat baik saat-saat hancurnya seisi hati ini ketika mendengar tangis Ray pecah memenuhi seluruh ruang kamar mama. Tak ada yang bisa ku katakan selain anggukan sebagai tanda menyetujuinya.

"Maaf, sudah membebani kamu untuk sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawab kamu sayang" ucap mama sambil memelukku dengan lembut.

"Oh iya, kamu sudah bertemu dengannya? Bagaimana?" tanya mama dengan ekspresi pensaran.

"Bertemu dengannya? Siapa?" tanyaku memastikan. Tapi tak ada jawaban dari mama, kini yang dapat kurasakan tubuh mama seakan menjauh kini yang bisa kulihat hanyalah senyumannya sebelum ia benar-benar hilang dari pandanganku.

***

Samar-samar kudengar suara langkah kaki, tapi sungguh aku masih sangat enggan tersadar, kembali pada kenyataan yang tak sudi untuk aku lewati. Dengan susah payah aku kembali melelepkan diriku kembali namun itu hanya menjadi perjuangan yang tak berarti, karena pada akhirnya aku membuka kedua mataku dengan perlahan.

"Udah bangun?" tanyanya memastikan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba memastikan siapa yang sedang berada dihadapanku. "Sakha!" teriakku tanpa aku sadari.

"Ya. Itu nama gua" sahutnya santai. "Dan gak perlu teriak karena gua ga budek!" tambahnya.

"So-sorry,." jawabku, sampai aku mulai menyadari sesuatu, "Tunggu sepertinya Sakha deh yang seharusnya minta maaf. Saya rasa meskipun anda adalah anak dari sahabat mama saya, anda tidak seharusnya berada disini. Bukankah terkesan sangat lancang ketika seorang laki-laki berada dikamar seorang wanita terlebih lagi saat wanita itu sedang tertidur?!" Tegasku penuh penekanan.

"Udah puas ceramahnya?" tanyanya menunggu jawabanku, tapi aku tidak berniat memberikan jawaban, karena yang aku inginkan adalah penjelasan darinya.

"Sekitar jam 5 pagi gua ngerasa haus, jadi gua putuskan untuk cari minum di dapur. Saat gua mau balik kekamar gua melihat sosok wanita dengan rambut urak-urakkan, mata tertutup, menangis sambil berjalan dideket tangga, sekuat mungkin gua memberanikan diri untuk mendekati wanita tersebut, dan tebak siapa wanita itu?" Suara yang dibuat sedemikian menyeramkannya itu bertanya dan kini menunggu jawabanku.

Hanya diam, tak ada jawaban dariku sekarang rasa penasaran terhadap kelanjutan cerita Sakha membuatku benar-benar ingin tahu siapa wanita yang ditemuinya. Apakah mungkin itu hantu? sehingga Sakha melarikan diri sampai kekamarku? Sungguh aku ingin ia segera melanjutkan ceritanya!

"Wanita itu adalah anda Dayana Senja!" Lanjutnya yang sontak membuatku mengeritkan kening karena semakin bingung. "Lo tahu gimana mengerikannya wajah lo saat itu, gua nyaris jerit karena gua kira gua ngeliat penampakkan di hari pertama gua Di Indonesia!" tambahnya.

"Kapan? Aku gak inget dann,, ya,, ya walaupun gitu, kenapa jadi Sakha bisa ada disini? Kayaknya tetap gak ada alasan yang pas deh untuk membenarkan keberadaan anda disini?" bantahku tidak mau kalah. Tapi, diam-diam sejenak aku mengingat kalau mama pernah mengatakan bahwa beberapa kali aku tertangkap tidur sambil berjalan, tapi aku kira mama sedang mengada-ada saat itu, mungkinkah itu benar?.

"Tadinya gua memang ingin meninggalkan lo begitu saja, tapi apa daya karena tiba-tiba lo jatuh tergeletak tepat dihadapan gua, dan seketika gua inget kalau dulu gua pernah baca surat dari nyokap lo yang mengatakan bahwa lo memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk tidur berjalan saat merasa stress. Jadilah gua bopong tubuh lo yang gak ringan itu, gua bawa kekamar ini dan gua pastikan bahwa lo tetap tidur di tempat yang seharusnya" jelasnya kembali, "Puas dengan penjelasannya?" tanya Sakha memastikan. 

Saat ini aku benar-benar menyesal karena meminta penjelasan darinya. Karena kini penjelasannya justru semakin menyudutkanku, "Kalau gua berniat kurang ajar sama lo, ngapain gua buka pintu kamar lo selebar-lebarnya kayak gitu" tambahnya sambil menunjuk kearah pintu.

"Pantesan banyak nyamuk!" gerutuku tetap menyalahkan.

Sambil menghelah nafas panjang karena kehabisan akal menghadapiku, Sakha justru membalas ucapanku "Oke, lain kali akan gua tutup pintunya dan sekalian gua kunci!" tegasnya dengan wajah jengkel yang menjurus kearah "nakal". Segera kutarik selimut untuk melindungi tubuhku dari fikiran apapun yang ada didalam otak Sakha saat ini.

"Dari luar!" lanjut Sakha mencoba menyudahi pikiran burukku tentangnya sembari berlalu dari hadapanku seolah mencoba membuatku merasa lebih aman tanpa keberadaannya di dalam kamar ini.

Oranye Di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang