14

1.7K 94 2
                                    

Suara tepukan tangan dari semua yang menyaksikan penampilanku dan juga Ayira menggema seluruh ruangan. Bahkan dari sini aku bisa melihat orang tuaku yang sedang tersenyum sambil bertepuk tangan.

Tanpa apapun Aku langsung turun dari pangung dan keluar dari aula tersebut. Namun belum sempat aku keluar dari aula tanganku dicekal oleh seseorang dan badanku terpental kedinding.

"Katanya lo nggak ikutan? Tapi sekarang apa?" Suara Ryan dan hembusan nafasnya terasa diwajahku. Sekarang aku sedang berada diantara Ryan dan tembok. Jarak aku dan Ryan juga berdekatan.

"Mendadak." Ya Tuhan kenapa seketika jantungku berdebar kencang seperti ini. Melihat wajah tanpan Ryan membuat pipiku memanas aku harap tidak ada warna merah sedikitpun dari pipiku.

"Yakali lo mendadak kaya gitu. Gue sudah membatalkan nait gue ikut tampil demi lo." Sungguh ucapan dramatis dari Ryan membuatku memutar bola mata malas. Namun jantungku masih berpacu cepat.

"Ih kenapa sih? Itu tadi gue cuma disuruh gantiin murid yang nggak masuk." Aku masih meyakini Ryan bahwa semua hanya sebuah kebetulan.

"Tapi gue nggak percaya." Sungguh Ryan mendekatkan badan nya lagi kebadan ku membuat nafasku terhenti. Jantung sudah seperti berdisco.

"Plis ngejauh sama gue." Aku berucap dengan mata yang tertutup. Ah jika aku memiliki trik sulap maka aku ingin menghilang saat ini juga.

"Kenapa?" Sekarang lebih parahnya Ryan mendekatkan kepalanya. Jarak wajah kami hanya beberapa centi, bahkan hidung mancung kami sudah mersentuh.

Sungguh plis bantu aku siapapun yang bisa menyelamatkan aku dari masalah ini. Aku akan berterima kasih. Namun sayang semua masih sibuk menyaksikan acara pentas seni didalam aula.

Huft.

Ryan meniup wajahku membuat wajahku yang tadinya menunduk sepontan terangkat. Dan disaat itu bibir kami tidak sengaja bersentuhan membuat pipiku seketika merona.

"Hm," ah akhirnya suara itu membuat adegan kami herhanti. Aku merapikan rambut dan pakaian ku.

"Maaf ganggu." Itu bukannya suara Ayira. Aku menoleh dan mendapatkan Ayira yang sudah berlari namun dihadapan ku masih ada Al yang menatapku.

"Kalian tadi lagi apaan?" Tanya Al yang sepertinya akan mengintrograsi kami. Aku diam malas jika sudah berhubungan dengan Al apa lagi kejadian didalam kelas tadi.

"Yaelah lo nggak tau? Kita lagi pacaran tadi. Iya nggak sayang?" Aku dengan cepat menoleh kearah Ryan yang sedang mengambangkan senyumnya. Ada rasa aneh ketika Ryan memanggilku dengan sebutan sayang entahlah aku tidak tau rasa apa itu.

"Aditi?" Sepertinya itu bukan sebuah panggilan namun itu seperti meminta penjelasan. Tanpa kata kata apapun aku pergi dan tak lupa menarik tangan Ryan untuk menjauh dari Al.

Aku membawa Ryan ketaman sekolah. Aku duduk disalah satu kursi taman dan disebelah ku terdapat Ryan yang juga sedang duduk.

"Kenapa lo bilang gitu sama Al?" Tanyaku to the point, saat Ryan bilang seperti tadi jujur wajah Al seketika menjadi datar tidak ada senyum apapun dan itu membuatku tau bawah Al sedang marah.

Marah? Tawaku mungkin bisa menjawabnya jika Al marah bearti dia membela Ayira. Oh aku tau, apalah dayaku yang hanya seorang saudara yang bahkan tidak dianggap.

"Nggak kenapa napa." Aku mengangguk mendengar ucapan Ryan.

"Lo tau ada yang tersakiti disini?" Ah mulut ini mengatakan itu dan aku juga lihat Ryan melihat dengan alis yang mengerut.

"Maksudnya?"

"Tidak. Suatu saat lo bakalan tau apa maksud dari gue." Ucapku sambil tersenyum. Itu senyum yang sering aku tampilkan jika bersama Ryan.

Menderita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang