19

2.5K 105 6
                                    

Ryan sedang duduk disalah satu sofa ruang keluarga dirimahnya. Pikiran nya melayang saat Aditi dengan terang terangan menoleknya.

Sakit? Sudah pasti.

Tapi dia bisa apa? Kalau itu sudah menjadi keputusan Aditi. Hanya satu yang ia bisa lakukan hanya menerima apa yang harus ia terima dan mungkin lebih baik seperti itu. Ya dengan begitu Ryan bisa kembali menjadi teman Aditi, yang lebih penting Ryan bisa dekat oleh Aditi.

"Anak bunda lagi ngelamun aja dari tadi bunda liatin?"

Suara itu membuat Ryan membuyarkan lamunan nya dan menoleh.

Seketika senyum Ryan terpancar ketika melihat Dian ibu Ryan hm, lebih tepatnya ibu tiri.

"Nggak kok, Ryan baik baik aja." Ucap Ryan menampakan senyum manisnya.

Dian mengambil duduk disamping Ryan dan mengusap bahu anak nya tersebut. "Sejak kapan putra kecil bunda belajar boong?" Mendengar ucapan Dian membuat Ryan mengerucutkan bibirnya.

"Bunda apaan sih? Ryan itu udah gede. Umur Ryan udah tujuh belas tahun, bunda masih aja manggil Ryan putra kecil. Ryan udah gede bunda, udah besar." Dian terkekeh mendengar ucapan Ryan.

"Haha, kamu itu tetap jadi putra kecil bunda, sampai kamu dapat pasangan hidup kamu. Yaudah sekarang kamu akan jadi putra kecil bunda oke? Nggak ada penolakan." Ucap Dian dengan santainya, namun berhasil membuat Ryan membuang nafas kasar.

"Yaudah, sesuka bunda aja." Dian terkekeh mendengar ucapan dari Ryan apalagi dengan wajah datarnya.

"Ayah kemana bun?" Tanya Ryan ketika melihat ayahnya Andi, tidak ada disini.

"Ayah tadi siang berangkat ke Jerman ada urusan kantor." Mendengar ucapan Dian membuat Ryan menoleh.

"Ayah ke Jerman? Ya ampun bunda, Ryan belum sempat minta oleh oleh sama ayah, nanti kalau ayah pulang terus nggak bawa oleh olehkan nggak asik bun."

Dian hanya menggeleng mendengar pelanturan yang diucapkan oleh Ryan. "Yang ada diotak kemu itu cuma oleh oleh ya? Dasar." Ryan hanya terkekeh mendengar ucapan Dian.

"Kamu tadi kenapa bengong? Bunda perhatiin dari tadi kamu bengong terus, cerita sama bundalah." Lanjut Dian.

Ryan tampak berfikir dan mungkin Dian adalah orang yang tepat untuk mendengar apa yang sebenarnya sedang Ryan pikirin.

"Jadi gini bun, Ryan itu lagi dekat sama gadis. Dia itu beda banget sama gadis lain, hm gimana ya? Dia itu cantik dan pintar tapi sayangnya dia terlalu tertutup, yang membuat Ryan heran lagi dia nggak kaya anak muda jaman sekarang. Dia lebih suka dengan keheningan dan kegelapan. Ryan nggak tau kenapa penyebabnya. Yang pasti Ryan pernah datang kerumah dia dengan saudaranya, Ryan kaget pas ngeliat dia kaya orang yang nggak waras gitu bun." Ucap Ryan sambil menerawang jauh dimana hari itu terjadi. Sedangkan sang bunda yang mendengar carita dari Ryan terteguh.

"Maksud kamu? Nggak waras gimananya?" Tanya Dian dengan dahi yang berkerut.

"Dia menangis sejadi jadinya, tapi abis itu ketawa sinis bun, dia juga melukai dirinya sendiri. Darah dan pecahan kaca ada dimana mana. Ryan cuma bisa diam pas ngeliat dia menangis. Ryan nggak tau apa penyebabnya." Ucapan Ryan diakhiri oleh hembusan nafas kasar.

"Apa dia ada cerita sesuatu tentang kehidupan dia sama kamu?" Ryan mengangguk membenarkan ucapan Dian. Memang benar Aditi pernah bercerita apa yang selama ini dia rasakan.

"Apa?" Desak Dian supaya Ryan menceritakan lebih dalam lagi apa yang sebenarnya Aditi rasakan.

"Dia itu gadis pintar bun, sejak umurnya yang masih kanak kanak, dia sudah bisa bersikap dewasa. Tapi kolega bisnis ayahnya yang menyimpan dendam, membuat Dia harus diculik selama bertahun tahun. Di usianya yang kecil dia harus disiksa, dicaci maki, dan mungkin dilecehkan. Sampai dia baru beberapa bulan ditemukan dan orangtuanya? Mereka masih sibuk kerja dan tidak memperdulikan keadaan dia." Dian diam ketika mendengar ucapan Ryan. Gadis hebat itu yang terlintas dari benak Dian ketika Ryan menceritakan semuanya tentang Aditi.

"Siapa namanya?"

"Aditi. Lebih tepatnya Aditi Putri Wijaya." Dian tampak diam mendengar nama panjang Aditi. Wijaya? Itu bukan kan nama panjang dari keluarga Wijaya?

"Iya, dia anak om Wijaya dan saudara dari Ayira." Ucap Ryan lagi ketika melihat Dian diam dengan penuh tanda tanya.

"Besok kamu bawa Aditi kesini ya?" Ryan diam sebentar ketika mendengar permintaan dari Dian, bukan nya Ryan ingin menolak permintaan Dian, hanya saja apakah Aditi mau ikut bersamanya kerumah? Apalagi setelah kejadian yang memalukan ini.

"Kok kamu diam aja." Ucapan Dian kembali membuat Ryan membuyarkan lamunan nya.

"Bukan nya Ryan nggak mau bawa Aditi kerumah. Kan Ryan udah pernah bilang, kalau Aditi gadis yang beda dari gadis lain, dia selalu nolak ajakan Ryan." Ucal Ryan mencoba memberi pengertian kepada Dian.

"Hm, terus soal Ayira gimana?" Ryan mengerutkan dahinya ketika mendengar ucapan Dian. Kenapa jadi lari ke Ayira? Pikir Ryan.

"Kok jadi Ayira sih bunda?"

"Ya karna selama ini yang bunda tau, kamu lagi dekat dengan Ayira dan juga selalu perhatian kepada Ayira. Wanita mana sih yang enggak akan baper kalau diperlakukan kaya begitu. Bunda juga liat kayanya Ayira suka sama kamu." Ryan yang mendengarkan ucapan Dian, sekarang memikirkan hal itu. Bagaimana jika semua yang dikatakan Dian benar?

"Bunda jangan sok tau deh, emang pernah Ayira bilang sama bunda. Ah bunda ngaco." Ryan berusaha menepis apa yang ada dipikiran nya kali ini.

"Dari tatapan dia ke kamu, bunda tau dia nyimpan sesuatu yang hanya ia ketahui sendiri." Ryan diam seribu bahasa, kali ini dia harus berbuat apa?

"Kuatkan hati kamu antara memilih Aditi dan Ayira. Jika dihadapkan dua pilihan kamu mau milih yang mana?"

"Ryan nggak tau, Ryan bingung sama hati Ryan. Satu sisi Ryan nggak mau lepasin Aditi tapi satu sisi Ryan nggak mau Ayira sakit." Ucap Ryan dengan menundukan kepalanya.

"Saran bunda besok kamu temui Ayira, bicara empat mata. Oke?" Ryan hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

***

Pagi harinya Ryan memasuki kelas, tampak kelas yang sudah ramai dan pandangan mata Ryan tertuju pada Aditi yang juga sedang menatap Ryan.

Tapi langkah kaki Ryan bukanlah kearah Aditi, dia malah berjalan menuju bangku yang diduduki Ayira. "Gue mau ngomong sama lo." Tanpa basa basi lagi Ryan menarik lembut tangan Ayira. Membawanya keluar dari kelas.

Disinilah Ryan dan Ayira, ditaman sekolah. Hanya ada keheningan diantara mereka. Mungkin saja Ryan masih mengatur kata kata untuk Ayira.

"Mau ngomong apa sih Ryan? Dari tadi diam aja." Ryan langsung menoleh dan memberi senyum tipis kepada Ayira.

"Apa lo suka sama gue?" Ayira diam ketika mendengar ucapan Ryan. Darimana Ryan tau soal perasaan nya? Itu yang ada dibenak Ayira kali ini.

"Jawab Ayira."

"Iya, gue suka sama lo. Apa itu salah? Semenjak Aditi datang. Lo berubah, lo bukan lagi Ryan yang gue kenal. Saat itu gue coba untuk menepis rasa cemburu ini, tapi lama lama rasa ini semakin menjadi jadi dalam hati gue." Air mata Ayira tumpah begitu saja, membuat Ryan jadi merasa bersalah.

Tangan Ryan terulur untuk menghapus air mata Ayira. "Lo nggak salah, yang salah disini gue. Gue udah bikin gadis baik seperti lo harus jatuhin air mata berharga milik lo."

"Tapi maaf, gue nggak bisa balas perasaan lo. Lebih baik lo kubur dalam dalam perasaan lo sama gue." Ucap Ryan yang membuat air mata Ayira kembali jatuh.

"Ini, jangan biarkan air mata itu jatuh lagi." Ucap Ryan sambil mengulurkan sapu tangan kepada Ayira lalu pergi.

"Bagaimana gue bisa lupain lo, kalau lo masih seperti ini sama gue?" Ucap Ayira dengan menatap sapu tangan milik Ryan.

****

Lama nggak update ini cerita jadi kangen ngetik cerita ini. yaudah jangan lupa vote and commen nya ya?

Menderita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang