15

1.6K 94 1
                                    

Numpang promosi.

Follow akun instagram gua. @nadia_aflachah, nanti di follback oke?

Aku duduk disalah satu kuris taman dibelakang rumah. Menatap bunga bunga yang mekar dipagi hari, kebiasaan dulu yang sering aku lakukan dimana semuanya baik baik saja.

"Halo Aditi." Mendengar itu membuat Aku menoleh dan mendapatkan kedua orang tuaku. Namun setelah itu aku kembali membuang pandangan ku kearah lain.

Mau apa mereka menghampiriku? Cih rasanya muak melihat mereka yang seakan peduli denganku padahal nyatanya nol besar. Simpan saja rasa peduli kalian itu, persetanan dengan kemunafikan yang mengontrol diri kalian. Aku tau kalau peduli kalian itu palsu.

"Lagi apa?" Pertanyaan lembut keluar dari mulut mama.

Aku tak menjawab pertanyaan mama, aku hanya diam menatap lurus kedepan. Aku yakin bahwa mereka baru saja habis pulang dari luar negri dan pasti karna alasan kerjaan. Ah aku sudah hafal itu.

"Lagi apa?" Kembali pertanyaan itu aku dengar.

Aku membuang nafas kasar. "Memikirkan sesuatu yang nggak pantas dipikirkan oleh remaja."

Bisa aku lihat dari sudut mataku kedua orang tuaku itu mengerutkan dahinya, tidak mengerti.

"Maksudnya?" Dan benar saja apa yang aku ucapkan Papa bertanya apa maksud ucapanku.

Aku tersenyum miring mendengar nya. "Iya, memikir kan kematian." Ucapku sambil memandang langit pagi yang mendung. Banyak awan hitam yang menutupi awan putih.

"Maksud kamu apaan? Kematian?" Aku terkekeh pelan mendengar ucapan dari sang Mama.

"Iya aku bahkan ragu saat aku mati nanti mungkin kalian akan sibuk bekerja." Aku menjauh dari mereka memilih untuk duduk dikuris yang lebih jauh dari mereka.

"Maaf." Ingin rasanya aku tertawa kencang ketika mendengar ucapan dari Mama. Tapi situasi yang membuat aku harus diam dengan wajah datar.

"Maaf tidak akan mengembalikan segalanya." Ucapku dengan nada dingin dan sama sekali tidak memandeng kearah mereka.

"Terus apa yang harus kami lakukan supaya kamu mau memaafkan kami?" Aku hanya diam mendengar ucapan mama, tanpa aku ucapkan pasti mereka tau.

"Without me saying you know." Ucapku dengan nada tegas, dan tatapan yang dingin

"Do we not even know what you   want."  Aku terkekeh sinis mendengar jawaban Papa, ah iya aku bahkan lupa dikeluarga ini tidak tau apa pun tentangku.

"Haha, cobalah menjadi aku sebentar saja, kalian bisa kuat? Bahkan sampai detik ini rasanya aku ingin meninggalkan dunia." Setelah berucapn aku berdiri ingin meninggalkan mereka.

Namun baru beberapa langkah pergelangan tanganku dicekal dan itu membuat aku menghentikan langkahku lalu menoleh kepalaku malas.

"Satu yang harus kamu tau kami selalu ada disamping kamu, dan kami menyayangimu." Aku terkekeh sinis mendengar ucapan itu. Ah disamping? Menyayangi? Dimana mereka disaat aku membutuhkan mereka? Bodoh.

"Terima kasih kata kata manis yang selalu berujung dengan pengkhianatan." Setelah itu aku melepas cekalan tangan itu, lalu  bergegas untuk pergi meninggalkan mereka yang diam mematung.

***

Saat tepat di pintu masuk, aku melihat Ayira dan siapa lelaki itu? Sepertinya aku mengenalnya? Ah iya dia Ryan lelaki yang sering selalu ada disampingku.

Aku melihat Ayira dan Ryan tertawa sesekali juga Ryan lelaki itu mengelus puncak kepala Ayira, ada sesuatu yang tersirat didadaku seperti sebuah rasa sesak.

Aku hanya melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun kepada mereka. Bahkan tatapanku menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong dan yang pastinya tanpa senyum.

"Aditi." Aku mengentikan langkahku bukan karna mendengar panggilan itu tapi tanganku yang dicekal oleh Ryan.

Aku menoleh dan membuang muka tanpa menoleh kearahnya sedikitpun.

"Gue mau ngajakin lo jalan, mau?" Aku menoleh sebentar kearah Ryan lalu menoleh kearah Ayira yang sepertinya dimata gadis itu ada tersirat api kecemburuan.

"Maaf, ada yang harus gue kerjain. Permisi." Setelah itu aku kembali berjalan namun aku berpasan dengan Al.

"Kenapa lo nolak?" Ah sial kenapa Al harus bertanya seperti itu.

Aku berusaha mengatur nafasku,lalu meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah katapun.

Disinilah aku, didalam kamar kembali kebalkon, menatap langit yang tadinya teduh namun sekarang terik matahari sudah membuat seluruh dunia menjadi terang.

Aku diam duduk dan menatap lurus kedepan.

Deg..

Dadaku seakan sesak melihat Ryan dan Ayira yang pergi dari halaman rumah dengan menggunakan motor sportnya, aku pastikan setelah aku menolek ajakan Ryan pasti lelaki itu mengajak Ayira. Ah aku tau itu.

"Kenapa lo nolak gitu aja ajakan dari Ryan?" Ucapan itu membuat aku menoleh dan mendapatkan Al yang sedang berjalan kearahku.

"Bukannya itu yang lo mau? Gue jauh dari Ryan lalu Ayira yang mendekat kearahnya? Gue udah ngelakuin apa yang selama ini diminta sama Ayira dan lo." Bisa aku dengar Al membuang nafasnya kasar.

"Tapi lo nggak harus ngobani perasaan lo gini." Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Al.

"Terus gue harus gimana? Gue bingung dengan jalan hidup gue sendiri." Aku menunduk menatap lantai, tak terasa air mata sialan ini kembali jatuh tapi aku dengan cepat menepis air mata itu.

"Ikutin kata hati lo sendiri."

"Kalau hati gue udah retak seribu, kata hati mana yang harus gue ikutin?" Ucapan ku membuat Al bungkam seketika.

"Gue capek." Ucapku dengan hembusan nafas kasar.

"Capek? Ya tidurlah gitu aja susah." Ucap Al dengan candaan didalamnya.

"Gue mau tidur, tapi tidur dengan nyenyak, tanpa adanya mimpi seram tanpa adanya yang menganggu tidur panjang gue."

"Maksud lo?"

"Ya tidur, istirahat untuk selamanya."

"Sumpah, omongan lo nggak lucu. Apaan sih, gue nggak suka lo ngomong kaya gitu. Gue sayang sama lo." Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Al.

"Tapi gue udah capek."

"Gue akan selalu ada buat lo. Gue belakalan ada untuk lo,"




***

Gue kembali. Ada yang kangen? Nggak dah wkwk.

Tinggalin jejak setelah baca.

Menderita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang