Saat kaki Aditi meninjak rumah yang bak istana ini, satu yang ada dipikiran Aditi. Sepi tapi itu hanya terlintas sekali saja setelah itu Aditi mengangkat bahunya acuh. Sudah bisa rumah ini sepi bagai rumah yang tidak berpenghuni.
"Baru pulang?" Pertanyaan itu berhasil membuat langkah kaki Aditi berhenti lalu menoleh.
"Iya."
"Dari mana aja sampai baru pulang begini."
Aditi memutar bola matanya malas ketika mendengar ucapan dari Al.
"Paling juga dari kencan sama pacar baru nya kali."
Bukan itu bukan suara Aditi, melainkan suara Ayira yang memilih menjatuhkan bokongnya di samping Al.
Aditi memandang Ayira dengan tatapan yang sulit diartikan. Ternyata benar, Cinta sudah merusak jalan pikiran Ayira. Lihat saja Ayira sama sekali tidak peduli padahal dulu dia selalu tersenyun hangat kearah Aditi walaupun kenyataan Aditi selalu membalas dengan wajah datarnya.
"Gue sama sekali nggak ada kencan sama siapapun."
Setelah mengatakan itu Aditi langsung berlalu masuk kedalam kamarnya, tidak lagi memperdulikan panggilan dari Al.
Sesampainya Aditi didalam kamar, gadis cantik itu langsung menghempaskan tubuh mungilnya diatas ranjang empuk miliknya.
Tatapan nya tertuju pada langit langit kamar, pandangan nya kosong. Banyak pikiran yang membuat Aditi bingung. Perasaan nya atau saudaranya? Aditi sama sekali tidak bisa memilih keduanya, bagi Aditi keduanya penting untuk hidupnya. Namun ternyata rasa cinta bisa membuat semuanya berantakan, ancur. Apalagi dengan hadirnya orang dimasa lalu, Aditi yang amatlah benci dengan kebahagiaan Aditi. Tunggu, kebahagiaan? Padahal Aditi sama sekali tidak merasakan itu, dia malas semakin sesak berada ditengah tengah keluarga yang mungkin saja tidak pernah mau akan kehadiran Aditi.
"Apa segitu susah tuhan memberi kebahagiaan sama gue? Padahal gue cuma minta itu aja tidak lebih." Seiring Aditi mengatakan kalimat itu, air matanya juga ikut menetes.
"Bukan tuhan yang nggak mau ngasih lo kebahagiaan, tapi lo yang ngejauh dari kebahagiaan lo sendiri." Aditi yang mendengar suara itu langsung menoleh.
Al, ternyata Pria itu menghampiri Aditi dan tidak sengaja mendengar ucapan Aditi.
"Gue tau lo juga cinta sama Ryan, tapi kenapa lo nolak Ryan? Sekarang liat? Lo akhirnya nangis lagi."
Ya asal kalian tau saja. Aditi sama sekali tidak menerima Ryan. Dengan alasan yang cukup simple sebenarnya --kalau pacaran setelah itu putus bakalan jadi musuh-- Aditi juga berkata --cinta nggak harus memiliki, karna cinta sejati tau letak kembalinya--
"Lo nggak bisa rasain ada diposisi gue."
"Gue tau apa yang lo rasain Aditi Wijaya."
"Bullshit! Lo nggak akan pernah tau rasanya diposisi gue saat ini, sebelum lo ada diposisi seperti gue!"
Al diam. Benar apa yang dikatakan Aditi, Al tidak akan pernah tau rasanya jadi Aditi sebelum Al merasakan dulu berada diposisi seperti Aditi.
"Dan satu lagi. Stop mengatakan kalau lo tau apa yang gue rasain. Semua itu bullsiht."
Aditi duduk dan menyandarkan badannya kepada kepala ranjang. Pikiran nya kembali dimana Ryan menyatakan cintanya.
"Terus kenapa lo nggak nerima cinta Ryan? Gue tau kok, lo juga suka bahkan cinta sama dia. Tapi kenapa lo nolak dia?" Ucap Al mendesak supaya Aditi memberi tau alasan kenapa dia menolak Ryan.
"Gue nggak bisa, karna gue lebih mau perasaan gue yang sakit daripada mengorbankan perasaan yang lain." Al menatap Aditi. Dia tak mengira kalau Aditi bisa sedewasa ini. Tapi Al tidak memungkiri itu karna memang dari balita Aditi lah yang tampak lebih berfikir kedepan.
Moto hidup Aditi adalah Hidup bukan hari ini saja, ada hari esok lusa dan seterusnya. Jadi jangan pernah memikirkan hari ini saja, pikirkan esok dan seterusnya.
Al sangat bangga kepada Aditi, namun dengan sikap Aditi seringkali Al tidak mengontrol emosinya jika berbicara dengan Aditi dan alhasil mereka akan beradu mulut, walaupun Al tau yang akan menang adalah Aditi.
"Perasaan siapa yang lo jaga?"
"Tanpa gue sebut juga lo tau." Al menggeleng mendengat perkataan Aditi.
"Jangan katakan kalau lo sedang jaga perasaan Ayira?"
Aditi diam ketika mendengar ucapan Al, sedetik setelah itu Aditi menoleh kearah Al dan tersenyum.
"Gue nggak mau putri di keluarga ini nangis cuma gara gara cinta. Mendingan gue yang nangis, karna apa? Setiap kali gue jatuhin air mata ini, nggak ada siapapun yang akan peduli. Sedangkan Ayira? Semua akan panik dan berusaha membujuk Ayira dengan seribu satu cara."
Al lagi lagi hanya diam mendengar ucapan Aditi. Al juga tidak bisa mempungkiri bahwa ucapan Aditi benar seratus persen.
Al juga tidak bisa menyangkalnya,karna percuma disaat Aditi terpuruk, Al menyaksikan kedua orangtua nya masih sibuk bekerja tanpa memikirkan nasib Aditi.
"Dengan lo selalu menjaga perasaan seseorang. Gue bakalan yakin lo nggak akan merasakan yang namanya kebahagiaa." Ucap Al sambil menatap manik mata Aditi.
Mata yang indah dengan hazel eyes, namun sayang mata itu sering kali mengeluarkan air mata.
"Hidup ini keras Aditi. Lo harus siap kalau mau jalani hidup. Kadang seseorang juga harus sedikit licik buat mendapatkan apa yang dia mau." Setelah mengatakan itu Al tidak lagi menatap Aditi melainkan menatap figuran foto ketiga balita yang tersenyum penuh kebahagiaan.
"Tapi dengan begitu gue tau rasanya pengorbanan walaupun nggak dihargai pengorbanan gue. Karna apa? Suatu saat gue akan merasakan kebahagiaan yang kekal walaupun nggak didunia."
Pandangan Aditi juga tertuju kepada figuran foto tersebut. Dimana dia dan saudaranya Al bersama Ayira sedang tersenyum penuh kebahagiaan.
"Gue salut sama lo. Gue yakin suatu saat lo bakalan mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya." Aditi hanya mengangguk dan memberi senyum tipis kepada Al.
****
Sedangkan disini lain.
Cinta, gadis itu sedang berada didalam kamarnya. Rumah yang besar harus dihuni oleh dirinya. Tidak ada yang namanya asisten rumah tangga disini. Catat hanya dirinya.
Tatapan nya tertuju pada figuran foto yang terpampang jelas dikamarnya. Tatapan tajamnya menjadi tatapan layu.
"Kenapa kalian harus pergi ninggalin Cinta sendirian disini?" Gumat Cinta pasa dirinya sendiri.
"Tapi kalian tenang saja, aku akan melakukan apapun yang harus aku lakukan. Aku akan membalas dendam kepada keluarga Wijaya tentang kematian kalian dan tentang rasa sakit ini."
Tatapan yang layu berubah menjadi tatapan yang tajam. Dapat dilihat dari matanya. Bahwa terdapat banyak kebencian yang kini sudah berubah menjadi sebuah rasa dendam.
Dendam? Itu adalah penyakit manusia yang disebabkan oleh kebencian dan berakhir dengan sebuah dendam yang akan bersarang didiri seseorang sebelum dendam itu terbalaskan.
Pandangan Cinta kembali tertuju pada foto yang mengantung didinding kamarnya. Disana didalam foto tersebut, dimana foto keluarga Wijaya yang tersenyum bahagia walaupun disana tidak ada Aditi.
Tatapan kebencian yang penuh dengan dendam terpancar dari mata biru nya.
"Tunggu kehancuran dari keluarga kalian."
Bruk.
Pecah sudah kaca figuran foto tersebut. Melihat foto itu jatuh, hancur. Senyum devil terpancar diri wajah cantik milik Cinta.
"Aku akan menghancurkan kalian seperti aku menghancurkan figuran foto ini. Hahaha." Ucapan Cinta diakhiri oleh tawa jahatnya.
***
Vote nya jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
Menderita?
Short StoryGadis cantik harus hidup menderita bukan karna orang tuanya yang membencinya, tapi dia harus hidup dengan penuh tekanan. Bagaimana tidak diculik selama lima tahun oleh kolega bisnis ayahnya dan ia menghabiskan masa anak anaknya dengan disiksa. Sedan...