00. (Prolog)

193 20 0
                                    

Kupikir aku terus melakukannya,
Tidak hentin-hentinya.
Tidak melihat keadaan.
Tanpa sebuah penyesalan.
Tanpa sebuah keberanian untuk berhenti.
Dan setiap detik, tiada hari tanpa sebuah goresan.

***

        Beberapa jam sebelum nyawaku benar-benar kembali ketubuhku, aku mendengar lenguhan dan teriakan keras dari luar kamarku. Aku yang masih sangat mengantuk, saat itu tidak peduli. Namun sepertinya aku salah karena mengabaikannya.

"Sialan, apa yang terjadi dengan rumah ini ?"

Kulihat lorong yang begitu kotor, dan berbagai pecahan beling dimana-mana. Dan yang membuat rumah ini nampak sangat menjijikan adalah plastik Kondom, yang berserakan begitu saja.

"Sialan. Tidak tau malu mereka." Aku memunguti plastik itu. Dengan kasar mulutku terus memaki mereka. Mereka siapa ? Orang tuaku yang sialan tentu saja. Lebih tepatnya, Jalang yang harus aku panggil 'Mom'. Tentu saja aku jijik. Tapi mana mungkin aku membiarkan adik ku yang masih lugu, melihat ini. Dia bahkan bisa saja menyentuhnya.

"Kau sedang apa ?" Bulu romaku berdiri setegak tiang. Bersamaan dengan tubuhku yang menatap arah suara. Suara polosnya membuatku terkejut, baru saja dibicarakan. "Kau sendiri sedang apa?"


"..."

"Aku hanya berdiri, Disini."

Jawabannya selalu bisa membuatku terkekeh. Entah tujuannya melucu atau dia memang se-Bodoh itu ? tunggu dia tidak bodoh. IQ nya tiga kali lipat lebih besar dariku.

"Bagaimana les mu?"

"Aku tidak pergi les." Matanya tidak lepas dari tanganku yang meremas dan berusaha menyembunyikan benda Menjijik-kan itu. Matanya beralih pada lantai yang dia pijak sekarang.

"Aku tau apa yang terjadi..."

"...Jika tidak ingin dapat masalah, jangan bilang aku tidak pergi les," ucapnya. Anak itu, sifat dewasa-nya muncul lebih cepat dibanding anak kebanyakan. Dia mengancam atau apa ? Apa dia tau hal yang terjadi sebelum aku bangun ?

"Hei. Memangnya kau kemana ?" Dia urungkan niatnya untuk pergi ke kamar Dia menoleh cepat, membuat rambutnya bergeser beberapa inci. "Aku tau kau akan bilang pada Dad! Jadi kumohon sekali ini saja--"

"Kau tidak tahu apa yang ada ditanganku ?! Atau apa yang terjadi pada pagi ini ?" Aku lihat pertanyaanku membuatnya menaikkan alisnya. Bingung, resah, menyebalkan, yang mana satu ?

"Itu kan hanya sarung tangan Latex.
Kau lupa ya, selama ini aku dirumah Bibi Andin." Aku menghela napas lega, untuk saat ini ke Polosanan-nya sangat berguna. Aku tidak ingin apa yang dilakukan orang tuaku, merusak pikiran polos adik ku.

"James.."

"kakak mu merindukan mu."

James membuka pintu kamar, menatap ku, lalu menutupnya. Tidak terlontar sepatah katapun dari mulutnya. Aku tau dia membenci ku.
Aku bahkan tidak pernah sekalipun melihatnya tersenyum, sejak 19 Oktober lalu. Aku tidak memaksanya, aku juga tidak melarangnya. "Sial."

"Seorang Luciana tidak boleh menangis." Aku mengusap mataku yang basah megalir, tanpa benar-benar tau apa penyebabnya. Terjongkok dan kembali memunguti sampah di lorong.

* * *

     Aku merebahkan tubuhku di bathtub, membiarkan darah segar mengalir mengikuti arus air. Menciptakan pepaduan warna antara merah dan biru, membuatnya seakan lebih menyerupai semangkuk Sup. Menciptakan ketenangan tersendiri. Bergumang tidak jelas, seakan benar-benar sudah gila. Tidak merasakan sakitnya tubuh yang mulai mengerut kedinginan dan nyeri akibat luka yang kubuat sendiri.

Masih membayangkan kejadian tadi pagi. Mereka memuaskan nafsu, lalu berkelahi, meninggalkan rumah besar dan dua anak nya seperti gembel. semakin lama, mereka berdua seperti hewan. Terutama Dad. Sosok yang selama ini lembut, kemana perginya ?
Sekarang satu lagi kaum adam dijadikan tumbal batu dari sang Jalang.

"Mati mungkin enak ya."

•••

---haeeee

so, thank you kalian yang nyisihkan waktu kalian, for this (Amatir) Story.

Really thank you guys.

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang