02. Reason to live life

81 17 0
                                    

        Aku membuka satu per satu plester, lalu menempelkan-nya ditiap lenganku. Beberapa kali aku mendengar gongonga anjing dari rumah tentanggaku, nampaknya ada hal yang membuat nya tidak suka. Dan kali ini, aku mendengar langkah kaki melewati kamarku, batukan dan napas nya mewakili suara hangat Dad.

Aku berlari ke ruang Dad dan nampak sosok yang tengah menoleh datar padaku. "Dad!" jedaku tersenyum, "Hari ini Dad akan Tinggal ?

"Dad menghela napas, dan kembali membenarkan berkas-berkas kantor-nya. "Iya, jangan lupakan piknik Weekend keluarga kita." Aku mengganguk. Duduk manis di sofa kerja Dad, berniat mendengar penjelasan akan kejadian Kondom berserakan Lusa lalu.

"Jadi, 2 hari yang lalu Dad dirumah?" tanyaku membuka keheningan.

"Tidak."

Senyumku pudar. Muncul beribu pertanyaan tanpa jawaban datang dariku. Dad berniat bermain denganku atau bagaimana ? Lalu kejadian lusa, sang Jalang, dengan siapa dia melakukan-nya?!

"Sungguh ? Dad tidak pulang?"

Dad menatapku dingin, wajahnya nampak kesal. Namun, itu tidak menakutiku sedikitpun.
"Kau tidak percaya pada Dad-mu sendiri? Anak Durhaka."

Napasku sesak, kesal. Semakin ingin rasanya aku membasmi Jalang itu dari dunia ini. Wanita Kejam, Bajingan nan Jalang, berani Selingkuh dirumah Suami-nya sendiri ?! SHIT. Aku mendekap Dad, membuatnya mengernyitkan tubuhnya kaget. Namun dengan lamban mengelus kepalaku, memberikan kehangatan tersendiri.

"Ana, tidak mau piknik Dad," senduku, "Ana tidak akan Ikut. Ana tidak mau." Dad mendengus, lalu melepas pelukan-nya "Okay."

Aku menatap Dad tidak percaya. Ini seperti mustahil dikatakan oleh seorang Tommy, kepada anak sulung-nya yang membenci Ibu tirinya. "Dad akan mengantarmu ke-rumah Bibi Andin hari Jum'at untuk weekend disana," lanjut Dad, "dengan alasan, berjanji tidak katakan ini pada Elena."

"Aku janji."

"Bagaimana dengan James?" tanyaku, sebelum pintu ruang Dad dibuka dan ditutup kasar. "Aku akan Ikut Dad."

bibirku melengkung sedih, menatap James yang sedang asik memakan permen. Ingin bertanya, tapi..

"aku hanya tidak mau menghabiskan weekend ku dengan nya," ucapnya menunjuk-ku, "Dad, sabtu kita habiskan waktu kita bersama ya."

James ber-jalan ke-meja kerja Dad, dan menaruh kertas yang berisi hasil tes ulangan-nya disekolah. tersenyum pada Dad dan berlalu. Hanya berlalu, melewati-ku. Sudah berkali-kali ku rasakan perlakuan seperti ini, namun hatiku masih terus tersayat sakit.

Dad menghampiriku, tangan-nya mengait erat pada saku celana-nya. "Dad akan antarkan kau besok. Agar Elena tidak perlu tahu soal ini."

Dad membuka pintu, mempersilah-kan ku untuk pergi. Aku berjalan dan tersenyum kilat pada Dad. Aku keluar, dan Dad menutup pintu. Pikiranku kosong sejenak. Kupikir akan bagus menghabiskan hari libur di rumah Bibi, maksud-ku saat James juga disana.

Kenapa ? Dia tidak pernah mau habiskan waktu denganku.

aku mengelus lenganku, mengusap hidungku dan berlari menyusuri lorong. Kembali ke titik awal, lalu kembali berlari. Terus seperti itu. Aku mulai menjinjit-kan kakiku perlahan-lahan dan berputar-putar. Aku menari. Tanpa sebuah musik, seperti orang Gila. Mengikuti ritme tiap langkah kaki dan hitungan dari mulutku. Awal mula semua nampak seperti Ballet, namun mengalir dengan gerakan tanpa batas dan aturan, menciptakan gerakan sendiri.

Aku Benar-benar Gila.

Aku menghentikan kegiatanku, cengiran menghiasi wajahku. Tawa mulai mengema luas di lorong, semakin keras dan keras. Tanpa kendali, benar-benar tidak waras. Sungguh, aku benar-benar gila. Bahkan diriku tidak sedikit pun bisa menghentikan sikap Bipolar-ku. Nampak Aneh, tapi Fakta. Kalian pantas tahu, jika aku di-diagnosa Depresi itu wajar, namun aku 5 kali dikatakan sebagai orang Sakit Jiwa.

Aku tidak Sakit Jiwa! Aku Waras.

Aku menghentakan kaki-ku, berteriak seperti anak kecil. Menjatuhkan tubuh-ku dan memukul-mukul keras lantai. Lalu berhenti, dan kembali tertawa.

"Hentikan."

Pria kecil itu, menghentikan ke-gilaan ku. Napasku senada dengan bagaimana tatapan-nya padaku, dingin.

"Kenapa ? Bukan-nya seperti ini biasa saja," aku menyengir, mendekati James yang dibalas rasa gundrah yang di-ikuti langkah mundur kaki-nya. Aku mengangkat, dan mendekap-nya. Memeluk dan mengusap ubun kepala James. James bergeliat, berusaha keras melepas pelukanku.

Aku tersenyum. Menurunkan James, namun masih memeluknya. "Ayo ke-Pemakaman."

***


     Langit menunjuk-kan warna ke Orange-an, dengan beberapa warna ungu dan pink yang senada, daun pun berjatuhan semakin banyak. Aku berjalan dengan segengam penuh bunga, yang lebih didominasi dengan warna merah mawar. Mengepang beberapa rambutku kebelakang dan mengikat-nya dengan pita hitam.

James mendahului, dia tidak merubah penampilan-nya selain rompi donker yang menutupi ham nya. Berjalan dengan tangan kosong, tanpa apa-apa.

Aku memijak tanah disekitar kuburan Belahan jiwaku dan James. Kami menatap-nya beberapa saat, lalu duduk disamping kuburan. Aku mulai menata bunga disamping batu Nisan-nya. James hanya terus menghela napas, lagi dan lagi hingga matanya bereaksi lebih dulu.

James tersendu, menangis dan terus berusaha mengusap mata-nya yang semakin merah. Sudah lama aku tidak melihatnya seperti ini. Rasanya menyakitkan.

"Aku mengaku, aku bukan diriku yang dulu. Untuk apa mencari Kemungkinan Besar dalam Hidup," James berkata, "jika tidak ada dirimu disini Mom."

Aleysha Berto Janne

Kami bernapas dan Hidup, tanpa benar-benar ber-nyawa di diri kami sendiri. Kami melakukan-nya hanya untuk dia. Our Mother. And for our Daddy before he marry a Bi*ch.

•••


PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang